Politics of Fear dan Tantangan Perdamaian di Dunia Maya

Politics of Fear dan Tantangan Perdamaian di Dunia Maya

- in Narasi
1288
0

Mark Zuckerberg geleng-geleng kepala sambil menggaruk-garuk rambutnya. Perasaannya galau luar biasa. Dia tidak habis pikir, facebook ciptaannya, yang ditujukan untuk makin mempererat pertemanan dan menambah persahabatan, kini berubah 180 derajat menjadi lahan untuk bermusuhan dan menyebarkan kebencian. Setiap detik, postingan dan share berisi hasutan dan provokasi berseliweran tanpa henti. Beragam level hujatan menghiasi wall kita tanpa henti. Facebook pun kini menjadi salah satu surga di dunia maya untuk menumpahkan beragam ajakan untuk membenci pihak lain. Parahnya lagi, yang menjadi sasaran tidak hanya individu saja, melainkan juga kelompok. Maka Zuckerberg pun sudah sering mewanti-wanti terhadap fenomena ini. Dalam suatu kesempatan di Jerman, Zuckerberg bahkan mengatakan bahwa pesan-pesan kebencian tidak memiliki tempat di facebook dan komunitas mereka.

Tentu saja, Zuckerberg tidak bisa disalahkan begitu saja. Dia sekedar menyediakan sarana berkomunikasi saja. Yang patut dijadikan sasaran tembak tentu saja pihak-pihak yang memanfaatkan facebook untuk membangkitkan libido permusuhan di masyarakat. Facebook memang salah satu contoh kecil tempat yang dimanfaatkan secara salah oleh para promotor kebencian. Banyak tempat lain yang juga bisa didompleng untuk menyuburkan benih-benih permusuhan. Seperti di twitter, whatsapp, blog, dan bahkan pada situs berbayar sekalipun. Dalam konteks Indonesia, merebaknya individu/kelompok provokatif tentu harus diberi garis merah. Sebab negara ini memiliki tingkat pluralitas yang sangat tinggi. Sehingga kesolidan perbedaan bangsa yang terbingkai indah dalam slogan Bhinneka Tunggal Ika wajib dipertahankan. Artinya jika para penebar hasutan dibiarkan begitu saja, maka berpotensi untuk mencabik-cabik kedamaian bangsa yang telah susah payah diusahakan.

Sayangnya, banyak masyarakat yang tidak/belum sadar dengan bahaya tersebut. Lihat saja, bagaimana teman dan kenalan kita –bahkan orang dekat- yang gemar dengan informasi dengan unsur provokasi. Mereka memang bukan pihak yang memproduksi informasi tersebut, akan tetapi sebagai pihak yang mereproduksi ulang dengan cara menyebarkannya. Seolah-olah dengan menyebarkan berita tersebut, mereka telah berkontribusi untuk kebaikan masyarakat. Padahal pada kenyataannya, sentuhan beberapa detik di ponsel untuk share informasi hasutan, justru mengakibatkan keresahan di sekitar. Jadi yang dilakukan bukan menyebarkan perdamaian, tetapi justru menanam permusuhan.

Merebaknya benih-benih permusuhan di masyarakat pastinya menjadi salah satu goal yang diinginkan para pembuat hasutan. Dan untuk memuluskan tujuannya, biasanya strategi yang dilakukan adalah menakut-nakuti masyarakat. Frank Furedi, dikutip Imamah (2014: 13), pernah membuat karya berjudul The Politics of Fear. Dia menjelaskan politik ketakutan digunakan untuk memanipulasi kesadaran masyarakat demi tujuan politik. Politik ketakutan juga ditujukan untuk melumpuhkan perbedaan pendapat publik.

Jadi, ketakutan dijadikan kayu kering untuk membakar emosi dan permusuhan. Sebab ketakutan bisa menggerakan seseorang/kelompok untuk melakukan pertahanan sekaligus menyerang balik pihak lain. Mari kita ambil salah satu contoh kasus. Di salah satu daerah dengan mayoritas Muslim, akan diadakan pemilihan kepala daerah. Ternyata ada dua pasangan calon yang mendaftar. Yang pertama calon yang beragama Islam dan yang kedua calon yang beragama non-Islam. Strategi politics of fear dilakukan dengan cara menakut-nakuti masyarakat tentang bahaya calon non-Muslim terhadap kehidupan mereka. Seperti isu masyarakat mayoritas akan disingkirkan, kegiatan keIslaman akan diperketat, akan dilakukan pembangunan rumah ibadah agama lain, dan sebagainya. Akibatnya masyarakat menjadi takut dan timbul kebencian terhadap calon non-Muslim. Dan saat itu terjadi, berarti masyarakat telah terjebak dalam perangkap para penghasut. Tentu saja, politics of fear tidak hanya bisa memakan korban kelompok mayoritas, melainkan juga kaum minoritas. Artinya kaum minoritas pun bisa diselubungi ketakutan berlebihan ketika yang terpilih adalah calon yang beragama Islam (seperti khawatir tempat ibadah mereka akan ditutup).

Maka untuk mengatasi ini, masyarakat melek teknologi harus meningkatkan kesadaran mereka saat berinteraksi dengan dunia maya. Meningkatnya kesadaran literasi masyarakat, melalui kecanggihan teknologi, adalah hal yang baik. Tetapi tidak cukup dengan membaca. Perlu dibekali dengan kemampuan analisis dan daya kritis yang memadai. Saat mendapatkan informasi, sebisa mungkin lakukan perbandingan dengan sumber-sumber lain. Selain itu, selektif dengan sumber-sumber berita. Dengan begitu, tidak setiap informasi ditelan tanpa dikunyah. Hal lain yang bisa dilakukan adalah meminimalisasi informasi yang bernuansa politics of fear. Sebab akan menimbulkan horor di masyarakat. Sebaliknya, tulis dan share informasi yang berisi politics of peace. Yaitu segala hal yang bisa menimbulkan rasa aman dan damai di masyarakat.

Facebook Comments