Jean-Francoise Lyotard, pada dekade 70an, menerbitkan sebuah hasil kajian yang konon dianggap sebagai tonggak akhir peradaban modern dan lahirnya peradaban postmodern secara filosofis dan kebudayaan. Secara politis, kondisi postmodern ditandai oleh beberapa fenomena semisal kematian ideologi yang dikategorikannya sebagai sebentuk metanaratif, atau narasi agung yang terbukti sama sekali tak menjawab kebutuhan kongkrit manusia. Kematian ideologi sebagai metanaratif ini kemudian melahirkan aspirasi-aspirasi sosial-politik yang dirasa lebih menjawab persoalan daripada aspirasi-aspirasi yang terpaksa direduksi pada semata aspirasi para buruh dan para pemilik modal atau pemilik modal kecil dan para pemilik modal besar. Maka, lahirlah aspirasi-aspirasi kecil namun dirasa kongkrit semisal aspirasi kaum gay dan lesbian di dunia Barat, kaum pribumi (indigenous), kaum agama, dst.
Persoalan utama modernitas yang digugat, pada titik ini, adalah persoalan tentang universalitas yang secara otomatis membabat apa yang dikenal sebagai problem identitas. Jelas tak akan terwakili, seumpamanya, kepentingan kaum pribumi yang selama ini memperjuangkan identitasnya dengan kepentingan para buruh ataupun para pemilik modal. Di sinilah seorang sosiolog asal polandia, Zigmunt Bauman, pernah menahbiskan pembangkangan gerakan Zapatista di Meksiko sebagai gerakan “marxisme postmodern” karena sudah tak dapat dikategorikan dengan logika pergerakan Marxian klasik.
Sejarah politik identitas ini, yang otomatis ikut disuburkan oleh postmodernitas sebagai kondisi zaman yang tak mungkin terelakkan, kemudian memicu terjadinya—pada lapangan agama—fenomena radikalisme yang secara habitual ikut mendorong pula terjadinya terorisme pada lapangan agama dan membidani terjadinya problem eksklusifitas pada ranah sekular. Orang pun kemudian berbondong-bondong rindu pada kondisi zaman beserta dengan segala figurnya yang dirasa mampu mengolah perbedaan yang eksklusif tersebut.
Di Indonesia, kerinduan akan kondisi zaman yang dirasa mampu mengolah perbedaan yang tanpa mengeksklusikan satu sama lain tersebut, atau tanpa politik identitas, dapat terwakili oleh ekspresi-ekspresi yang menjumput figur dan kiprah Presiden Soeharto, misalnya. Ekspresi-ekspresi semacam ini, saya kira, bukanlah sebentuk ekspresi iseng belaka. Ekspresi akan kesilaman ini adalah sebuah petanda bahwa orang tengah mengalami “krisis postmodernitas.”
Dalam ranah pemikiran, krisis postmodernitas ini kentara ketika, memang benar bahwa dibanding modernitas dengan modernismenya, postmodernitas dengan postmodernismenya lebih dapat mengakomodasi perbedaan, corak lokalitas, dan kesetaraan. Namun, pada aspek lainnya postmodernitas dengan postmodernismenya gagal dalam menjembatani perbedaan itu. Jadi, perbedaan yang dihasilkan dan tumbuh dalam postmodernitas adalah perbedaan yang saling mengisolasikan satu sama lain yang secara otomatis membuka ruang bagi adanya radikalitas (Communi[cati]on: Sebuah Momen Penyingkapan Eksklusifitas Pluralisme, Heru Harjo Hutomo, www.idenera.com). Maka tak salah ketika kebanyakan para pemikir postmodern pada akhirnya nyaris tak mau menyajikan sebuah alternatif.
Pada dasarnya, secara historis, politik identitas adalah konsekuensi dari kegagalan modernitas dengan modernismenya (krisi modernitas). Sama halnya ketika di Indonesia peristiwa reformasi, yang mampu menumbangkan otoritarianisme Orde Baru, tak urung juga melahirkan problem identitas yang kini dirasakan tak hanya kuat namun juga sudah mencekik—yang jelas-jelas saja tak pernah disadari oleh para penggagas dan pelakunya dahulu. Otoritarianisme Orde Baru memang tumbang, tapi Indonesia kemudian dihadapkan oleh konsekuensi kelam dari reformasi: politik identitas, radikalisme, dan bahkan terorisme.
Kebudayaan Jawa, dengan logika bahwa Jawa—sebagaimana Sunda, Madura, dst.—untuk Indonesia, mewariskan kearifan tentang pentingnya sebuah identitas yang dilambangkannya dengan sandhangan, ageman atau pakaian yang jelas-jelas tanpanya oran tak mungkin dapat hidup jangkep atau lengkap sebagai manusia dengan segala kemanusiannya (Tradisi Nyandhang: Laku Moderasi dalam Serat Wedhatama, Heru Harjo Hutomo, https://jalandamai.org).
Namun ibarat pakaian, identitas itu mestilah dikenakan secara patut, elok atau sesuai dengan kondisi tubuh dan ruang yang dihidupi oleh seseorang. Artinya, identitas itu tak harus sampai melekat dengan menghilangkan apa yang tengah disandangnya. Sebagai misal, kelompok-kelompok Islam yang sudah barang tentu menganut juga nilai-nilai islami yang tak sekedar berlaku dan diberlakukan pada semata orang-orang Islam. Atau juga kelompok-kelompok non-agama yang sudah barang tentu menganut nilai-nilai kemanusiaan yang berlaku dan diberlakukan pada orang-orang agama. Dengan demikian jelas bahwa yang tertolak di sini adalah politik identitas yang mana identitasnya itu sudah membelit dan menggerus apa yang disandangnya yang bahkan jauh lebih penting dari sekedar identitasnya tersebut.