Salah satu aspek terpenting ajaran Islam yang sering ditelantarkan sepanjang sejarah oleh umatnya adalah kepedulian sosial terhadap mereka yang kurang beruntung. Padahal, ini adalah bagian dari prinsip keadilan, yang merupakan sisi lain dari mata uang yang sama dari doktrin monoteisme (tauhid) (Maarif, 2012). Orang terlalu sibuk melaksanakan ibadah kepada Tuhan dengan salat, zikir, puasa, dan haji tapi lupa untuk berbuat adil dengan peduli terhadap sesama.
Puasa Ramadan yang dilaksanakan selama satu bulan, yang datang sekali dalam setahun, dalam perspektif ini adalah lonceng peringatan keras bagi orang beriman agar masalah keadilan dan kepedulian sosial jangan sekali-kali diabaikan. Ini karena tujuan dilaksanakan ibadah puasa bukan hanya untuk menahan jiwa dari syahwat, menundukkan kekuatan nafsu, dan menahan rasa lapar serta dahaga.
Puasa menurut Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah juga bertujuan untuk meniti jalan kebahagiaan, kenikmatan, kesucian hati (kesehatan hati), dan bisa mengingatkan umat Islam terhadap keadaan orang-orang miskin yang akrab dengan kekurangan dan rasa lapar. Singkatnya, umat Islam diwajibkan berpuasa untuk bisa membersihkan hati dari berbagai hal-hal buruk dan juga bisa menumbuhkan rasa solidaritas kepada sesama umat manusia (Hamzah, 2018).
Puasa yang produktif akan mengantarkan umat Islam pada sikap takwa dan bersyukur pada Allah (la’allakum tattaqun dan la’allakum tasykurun). Sikap takwa ini bisa dilihat dalam perilaku lahiriahdan ketulusan bathiniah dalam menjalankan kehendak Allah secara umum. Sedangkan sikap syukur di sini mendapat penekanan yang khusus, karena ibadah puasa harus dimanifestasikan dengan mengulurkan tangan kepada sesama manusia yang membutuhkan. Nabi telah memberi contoh kepada kita bahwa sifat kemurahan hati dan kedermawanannya sangat menonjol pada bulan puasa (Alwi Shihab, 1999: 279).
Pandemi dan Keniscayaan untuk Peduli
Perlu dipahami, persebaran virus Covid-19 yang terjadi di Republik Indonesia telah menyebabkan terhadinya krisis di berbagai sektor kehidupan seperti maraknya PHK, matinya UMKM, meningkatnya angka kriminalitas, dan lain-lain. Dalam konteks ini, kepedulian sosial seharusnya bukan lagi menjadi ajaran agama Islam yang layak disepelekan. Justru kepedulian sosial harus menjadi keniscayaan untuk dilakukan bersama.
Baca Juga : Puasa, Pandemi dan Akselerasi Filantropi
Apalagi momentum krisis akibat persebaran virus Covid-19 bertepatan dengan puasa Ramadan, yang sarat dengan makna kepedulian sosial. Sehingga, Ramadan menjadi momentum tepat menyebarkan virus positif filantropisme, yakni semangat atau kesadaran mendekati Sang Pencipta dengan jalan memberi, mencintai kaum papa, dan membantu sesama. Ajaran berpuasa dapat berhubungan kuat dengan pesan moral untuk berbahagia dalam membantu sesama atau happy to help others. Ramadhan adalah kawah candradimuka untuk meningkatkan rasa yang berkaitan dengan kata giving, loving, and caring; memberi, mencintai, dan peduli (Parawangsa, 2017).
Maka itu, jangan sampai dibiarkan ada satupun tetangga dan saudara-saudara di sekitar kita yang mengalami kesulitan memenuhi kebutuhan pangan karena krisis yang melanda sekarang. Semua harus saling bahu-membahu dan saling bantu-membantu. Ini penting untuk saling menguatkan agar kita segera lepas dari krisis ini.
Kita semua melihat, bagaimana gerakan empati yang ada di Wuhan, tempat asal persebaran wabah Corona, yang saling menunjukkan empati satu sama lain dari balkon dan jendela apartemen membuat mereka bisa bertahan dan bahkan krisis wabah telah terhenti disana. Mereka saling menyapa tetangga kiri-kanan dengan bertepuk tangan. Itu simbol solidaritas sekaligus saling memberi semangat untuk sabar dan bertahan. Walaupun jarak fisik terpisah jauh, mereka berupaya menunjukkan kedekatan emosional dengan upaya saling mendukung.
Di Indonesia, upaya saling mendukung tentunya tidak harus diwujudkan dengan hal tersebut. Ini karena selain konteks budaya kita yang berbeda dengan China serta tidak menerapkan karantina wilayah, korban krisis wabah Covid-19 tanpa terpapar virus juga jauh lebih banyak daripada yang positif terinfeksi virus. Maka itu, upaya saling mendukung yang penting diwujudkan adalah bagaimana bisa saling bertahan dan tetap sehat sehingga bisa sama-sama lolos dari ujian pandemi yang mengerikan ini dalam keadaan selamat.
Ini dapat dilakukan dengan memberikan kebutuhan pangan kepada kalangan yang benar-benar membutuhkan yang berada di sekitar kita. Tidak perlu menunggu ulur tangan pemerintah. Sebab, jika terlambat, korban akan semakin banyak berjatuhan. Bukan karena virus, justru karena kasus kelaparan yang sampai merenggut nyawa.
Lebih lanjut, upaya saling peduli ini juga menjadi langkah kita meningkatkan kualitas ibadah puasa. Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ ‘ulumuddin mengklasifikasi puasa menjadi tiga tingkatan. Pertama, puasa awam atau umum. Hanya menahan lapar,dahaga dan syahwat. Kedua, puasakhawash (khusus). Tercegahnya pendengaran, penglihatan, lidah, tangan, kaki, dan organ tubuh lainnya dari perbuatan dosa. Ketiga,puasa khawashul khawash (sangat khusus). Puasanya hati dari keinginan rendah, memikirkan duniawi, dan tercegah dari selain Allah secara universal. Jadi, jika kita sudah tidak memikirkan aspek harta benda atau keduniawian kita dengan terus membantu sesama, maka jalan mudah bagi kita naik tingkat ke tingkatan tertinggi. Lagipula, Nabi Muhammad Saw. juga telah bersabda, “sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya” (HR. Ahmad). Dalam hadis lain juga disebutkan, kita diharuskan mencintai saudara-saudara kita sebagaimana mencintai diri sendiri. Lalu, kenapa harus enggan untuk meringankan beban sesama dalam menghadapi pandemi Covid-19? Wallahu a’lam bish-shawaab.