Puasa kok Misuh?

Puasa kok Misuh?

- in Narasi
1049
0

Terkadang, kita mampu menahan mulut kita untuk tidak makan dan minum ketika sedang berpuasa. Tetapi terasa begitu sulit untuk menahan mulut kita agar tidak misuh atau memaki-maki terhadap orang lain. Pun, begitu terasa sulit agar kita tidak menggerakkan jari-jemari untuk tidak menyebarkan hoax, kebencian dan provokasi pemecah-belah di dunia maya.

Persepsi kita selalu menyatakan bahwa, dengan tidak makan dan minum, sebetulnya syariat puasa telah terbayar dengan tuntas. Apakah benar begitu? Lalu dengan mudahnya kita menyombongkan diri dan merasa paling baik dengan apa yang telah kita capai. Sehingga, dengan mudahnya memaki-maki dan melakukan ujaran kebencian kepada mereka yang tidak melaksanakan puasa, misalnya.

Padahal, larangan untuk tidak makan-minum saat puasa sebetulnya “hanya” syarat sah dalam puasa. Bukan inti dari substansi puasa itu sendiri. Karena, ketika kita mampu menahan diri untuk tidak memaki-maki (misuh) terhadap orang lain, tidak menggerakkan jari-jemari menyebarkan hoax dan kebencian di dunia maya serta menahan diri agar tidak terbawa arus dari perbuatan buruk, niscaya itu merupakan inti atau “Final destination” (sublimasi) puasa secara subtansial bagi diri kita sendiri.

Maka, jangan sampai memiliki cara pandang bahwa melaksanakan ibadah puasa itu “intinya” kita hanya sebatas menahan diri agar mulut kita tidak makan-minum. Sedangkan dalam hal lain, seperti memaki-maki, menyebar kebencian, kebohongan dan provokasi pemecah-belah, sangat lancar dilakukan. Lalu, tindakan buruk yang semacam itu dianggap tidak membatalkan puasa.

Padahal, inti dari puasa itu sejatinya menjadi semacam latihan diri agar bisa menahan, menjauhi dan alergi terhadap keburukan. Bukan justru menganggap bahwa sesuatu yang di luar syarat sah puasa itu boleh dilakukan. Layaknya aktivitas memaki-maki (misuh), menyebar kebencian, hoax atau menyebar provokasi pemecah-belah.

Praktik keburukan di atas memang bukan sebagai bagian dari syarat sah dalam puasa. Tetapi, tindakan yang semacam itu sejatinya telah melumpuhkan inti puasa bagi kita. Kita memang mampu melaksanakan ibadah puasa sesuai dengan syarat-syarat yang telah ditetapkan. Tetapi kita sebetulnya telah kehilangan inti dari puasa itu sendiri. Sama hal-nya ketika kita menggali tanah untuk mencari harta karun layaknya emas. Kita hanya berfokus pada proses penggalian-nya, bukan fokus pada apa yang kita cari.

Sehingga, kita hanya bersusah-payah menahan diri untuk tidak makan dan minum. Tetapi kehilangan makna atau tujuan dari menahan makan dan minum itu sendiri. Tidak ada efek samping yang memengaruhi cara ber-sosial kita, cara berpikir kita, serta cara bertindak kita. Semua puasa kita, hanya bersifat “gerakan” atau hanya lolos dalam hal syarat sah saja. Sedangkan medali atau tujuan akhir dari puasa tersebut kita tidak mendapatkannya.

Hal ini diakibatkan oleh persepsi kita yang kadang selalu menjadikan syarat sah puasa sebagai tujuan akhir. Bukan sebagai “proses” dari apa yang dimaksud dengan tujuan akhir tersebut. Kita hanya sibuk untuk menahan diri agar tidak makan dan minum. Tetapi dalam hal relasi sosial, kita sering-kali memaki-maki atau misuh, doyan menyebarkan hoax, ujaran kebencian dan provokasi pemecah belah. Padahal, inti dari puasa agar kita tidak melakukan tindakan yang semacam itu.

Maka, melihat dari dinamika yang semacam ini, sangat penting untuk mengubah paradigma puasa kita. Yaitu dengan menjadikan syarat sah puasa bukan sebagai tujuan akhir. Karena dengan tidak makan-minum, niscaya akan melatih kita dalam proses menahan segala sesuatu yang berkaitan dengan hasrat hawa nafsu, pikiran kotor serta tindakan yang buruk.

Maka, dengan cara seperti ini, kita akan menyadari, bahwa perbuatan buruk layaknya misuh atau memaki-maki, pada hakikatnya merupakan “biang kerok” dari rapuhnya, luntur-nya serta hancurkan puasa yang kita lakukan selama ini.

Facebook Comments