Radikalisme Arab

Radikalisme Arab

- in Peradaban
18119
1

Islam lahir di jazirah Arab sekitar 1400 tahun yang lalu. Di masa itu, jazirah Arab merupakan padang pasir kering nan tandus dan sangat terbelakang bila dibanding dengan daerah-daerah lain di sekitarnya. Mekkah sebagai tempat turunnya risalah Islam, lebih banyak dihuni oleh orang-orang Arab Badwi yang hidup dalam suasana kesukuan, keterbelakangan, dan gaya hidup yang sangat primitif.

Setelah Islam diterima secara luas sebagai sebuah agama dan pegangan hidup bermasyarakat di negeri itu, dalam tempo kurang dari 30 tahun Arab menjadi bangsa yang disegani oleh bangsa-bangsa disekitarnya. Bangsa Arab kemudian menjadi ancaman semua kekuatan yang ada saat itu. Bangsa-bangsa lain memandang konsep hidup baru yang dianut oleh putra padang pasir kini tidak semata mengandung nilai-nilai kemanusiaan yang sangat tinggi, melainkan memuat nilai budaya dan ketuhanan yang jauh lebih maju dari konsep yang pernah ada sebelumnya.

Islam tersebar ke segala penjuru dan menelan budaya dan peradaban di sekitarnya. Islampun menjadi sebuah konsep dan gaya hidup berpolitik, berekonomi, dan bersosial. Bersama Islam bangsa Arab berubah dari kegelapan menuju cahaya dan menjadi pusat peradaban dunia selama berabad setelahnya, minazzulumaat ilaannuur. Meski pula tak bisa dipungkiri dalam sejarah peradaban Islam awal sudah terjadi penyimpangan nilai-nilai Islam akibat pemahaman teks Alquran dan Hadist secara Al Gulwu Wa At Tatharruf (ekstrim).

Beberapa abad setelahnya terlebih setelah revolusi Perancis (abad 17) kejayaan peradaban dan pengetahuan yang telah dicapai bangsa Arab dan umat Islam secara umum luluh lantak oleh kekuatan barat yang siap menggantikan peradaban dunia. Fakta sejarah mengungkapkan kekuatan-kekuatan baru di belahan Barat bukan saja sekedar mencaplok wilayah-wilayah Islam tetapi juga meruntuhkan peradaban dan konsep hidup kaum muslimin. Era ini dikenal dengan era kolonialisme alias penjajahan di belahan dunia timur, termasuk di wilayah Arab-Islam.

Konsep hidup bangsa Arab mulai menghadapi tantangan dengan ditandai munculnya paham dan konsep baru bawaan penjajah barat. Kolonialisme berkepanjangan pada gilirannya membawa ‘angin segar’ bagi bangsa-bangsa lain yang ingin hidup mandiri dan independen. Gagasan nasionalisme menjadi salah satu alternatif bagi negeri-negeri Timur Arab untuk bisa mengatur diri dalam menghadapi paham-paham yang bermunculan. Islampun sebagai salah satu konsep hidup yang pernah menguasai bangsa-bangsa disekitar kawasan tersebut mulai memudar akibat perbedaan pendapat diantara kaum muslimin. Mereka berbeda sikap antara ingin mempertahankan Islam sebagai konsep hidup dan mereka yang ingin nuansa baru dalam gaya hidup. Pelaksanaan Islampun mulai terbatas hanya pada ritual-ritual wajib saja.

Di tengah kondisi seperti ini, sebuah duri baru yang ditanam kaum imperialis muncul ditengah mereka yang telah dan akan selalu menjadi ancaman. Israel Raya lahir, pertikaian pun mulai muncul antara bangsa Arab dan bangsa baru tersebut dan pertikaian ini terus berlangsung hingga saat ini. Pertikaian yang tidak menampakkan ujung inilah yang menjadi sumber radikalisme di dunia Arab Islam.

Tak terelakkan radikalisme atas nama agama mulai lahir di kawasan itu. Perlawanan terhadap paham-paham baru mulai marak. Pro kontra mengenai mekanisme mengadapi paham-paham itu pun menguat. Jihad melawan Israel mulai mengemuka baik secara terorganisir maupun bergerilya. Tak hanya terbatas pada konsep melawan Israel, jihad dikembangkan dalam menghadapi barat secara umum.

Atas nama perlawanan atas ketidakadilan bangsa barat, sel-sel teroris mulai subur dan bermunculan. Teks-teks Alquran dan Hadits Nabi dipilah untuk kepentingan tertentu dan memanipulasi teks yang mengarah pada penggunaan fisik dan kekuatan secara membabi buta. Dakwah Islam yang sebelumnya dikenal dengan gaya bil hikmah wal mau’idzhatil hasanah (baik dan santun) berganti pola dengan gaya kekerasan. Gaya dan retorika Nabi Muhammad saw ketika memulai dakwahnya di tengah-tengah kaum jahiliyah mulai dilupakan, padahal gaya dan retorika itulah yang telah membuat mereka berkembang dan berhasil menjadi bangsa yang disegani. Wal hasil hingga kini bangsa Arab masih dalam suasana terpecah belah dan mudah diadu domba. Mereka nampaknya tak mampu mengakumulasi suasana kebatinan bangsanya sehingga kini mereka kembali menngedepankan ‘ashobiyyah atau kesukuan di antara mereka.

Bangsa Indonesia sepatutnya bersyukur kepada Allah Swt atas jasa para pemimpin yang telah mempersatukan kita dalam sebuah bingkai kesatuan nasional dan dalam sebuah negara yang didasarkan pada prinsip kebangsaan dan kebhinnekaan. Lebih jauh dari itu, pemimpin-pemimpin kita telah membangun negara ini dengan dasar-dasar kemanusiaan dan intisari ajaran Islam yang sangat terbuka dengan agama dan budaya lain. Dengan demikian, tidak ada alasan bagi bangsa Indonesia terpengaruh dengan idealisme yang muncul di kawasan timur tengah apalagi menjadi radikal melawan bangsa dan negara sendiri.

Facebook Comments