Radikalisme dan Hiruk-Pikuk Politik

Radikalisme dan Hiruk-Pikuk Politik

- in Narasi
4853
0
Radikalisme dan Hiruk-Pikuk Politik

Sejak 2014 radikalisme di Indonesia seperti sudah terpola. Dan pola ini sebenarnya senantiasa berulang. Momen-momen politik menjadi ruang dimana radikalisme, yang sebermulanya laiknya potongan peristiwa yang berserak, menemukan bentuk tegasnya. Taruhlah menjelang pilkada Jakarta dimana isu-isu agama menjadi santapan sehari-hari di Indonesia, mulai dari kasus penodaan agama, mobilisasi massa yang berlatar isu identitas, gerakan-gerakan keagamaan yang bersifat histeris dan neurosis, begitu momen politik tiba semua potongan peristiwa itu seperti menyatu dan berubah menjadi basis massa kandidat tertentu.

Atas dasar hal inilah saya kira momen-momen politik menjadi penting untuk diwaspadai, bukan karena peristiwa politiknya, tapi momen dimana gerakan-gerakan yang secara sekilas sudah mengarah pada peyimpangan undang-undang yang selama ini bersifat laten menemukan kegamblangannya. Para pemerhati, aktivis dan pihak-pihak yang berwenang dalam masalah ini saya kira tak harus takut atau terjebak pada dugaan dukungan pada kandidat tertentu. Sebab, radikalisme tak sekedar berwajah agama saja, melainkan juga paham ataupun gerakan yang sama sekali tak ada kaitannya dengan agama (Parasit dan “Nasionalisme Masturbasif”, Heru Harjo Hutomo, https://www.harakatuna.comdan “Bertolak dari yang Ada”, Heru Harjo Hutomo, https://jalandamai.net). Untuk itulah saya pun pernah mencatat sebuah analisis bahwa radikalisme dan terorisme kontemporer di Indonesia, bahkan pun yang secara sekilas tampak berwajah agama, menggunakan logika dan bentuk terorisme purba: premanisme (Mengakrabkan Diskursus Kontra Radikalisme-Terorisme Pada Anak-anak, Heru Harjo Hutomo, https://jurnalfaktual.id).

Saya mencatat bahwa sejak 2017, atau bahkan sebelumnya, secara kultural dan sosiologis bangsa Indonesia mengalami berbagai tumpang-tindih informasi, tumpang-tindih kepentingan, berjalin-kelindannya isu nasional dan lokal (pun transnasional dan nasional), membanjirnya hoaks dan ujaran-ujaran kebencian, persilangan dan bahkan pertukaran karakter serta pola kebiasaan antara satu wilayah dengan wilayah lainnya demi melenyapkan prinsip autochthony yang mengakibatkan disorientasi, gerakan-gerakan keagamaan dan spiritualitas semu, gerakan-gerakan asing di lingkungan masing-masing, dan ketika momen-momen politik praktis tiba semua itu menjelma laiknya gambar besar yang lengkap dengan arah ataupun agendanya. Sehingga, dengan kondisi membanjirnya informasi seperti di hari ini laku para manusia seperti halnya gabah den interi (Gabah Den Interi: Antara yang Sampah dan yang Bertuah, Heru Harjo Hutomo, https://jurnalfaktual.id).

Baca Juga : Melihat Ulang Jejak Ikhwanul Muslimin di Indonesia

Tak tertutup kemungkinan, aksi-aksi terorisme—dengan membiarkan keadaan penuh ketegangan khas menjelang perhelatan politik di Indonesia dengan gorengan gaya cacian dan perendahan—dapat pula terjadi seperti peristiwa Kampung Melayu menjelang pilkada Jakarta ataupun upaya letupan bom bunuh diri di Kartasura lebih dari setahun yang lalu yang terkenal dengan “lontaran-lontaran verbal” pelakunya: “Mati, kowe! Mati, kowe!.” Di sinilah saya kira pihak-pihak terkait mesti sigap dalam menyikapi keadaan. Siapa pun yang nantinya menjadi pihak pemenang dalam perhelatan politik semacam ini, seandainya sejak sekarang keadaan-keadaan yang sudah dalam taraf melanggar undang-undang tak gegas tertangani, ia pun akan menjadi penguasa yang “masturbasif” karena meninggalkan luka yang sewaktu-waktu siap menganga pada rakyatnya. Satu hal yang pasti, penggorengan dengan cara cacian, perendahan dan pembunuhan karakter, bukanlah penggorengan yang efektif. Dari sudut pandang logika dan etika agama, sangat terang dijelaskan, seandainya ia adalah temanmu tanpa kau jelaskan pun ia akan percaya, tapi seandainya ia musuhmu, kau jelaskan panjang-lebar pun ia tetap tak akan percaya.

Facebook Comments