Rahmat Kebhinnekaan

Rahmat Kebhinnekaan

- in Narasi
1383
0

Allah Ta’ala berfirman:

“Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan (syir’ah) dan jalan yang terang (minhaj). Sekiranya Allah menghendaki, niscaya Ia menjadikan kamu sekalian satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap karunia-Nya kepadamu. Maka, berlomba-lombalah berbuat kebajikan”

(QS. Al-Maidah, ayat 48)

PADA akhir musim panas di tahun 1683, John Locke Jr, seorang lulusan dan pengajar Universitas Oxford yang dinyatakan buron oleh pemerintah Inggris gara-gara pemikirannya -tentang pentingnya memiliki sikap toleransi kepada kelompok yang berbeda keyakinan- dianggap telah menghasut rakyat, mengirimkan surat kepada sahabat karibnya, Phillip Limborch.

Dengan hati yang merintih, melalui diskusi antar surat tersebut, gagasan-gagasan tentang toleransi mengalir deras hingga mewujud sebuah buku, a Letter on Toleration, terbit pertama kali dalam bahasa Latin. Gagasan Locke inilah yang menjadi wacana mula yang mendedah teori toleransi dalam system social modern, khususnya pada toleransi antar agama.

Toleransi akan kebhinnekaan, demikian kata Locke, bukan sekedar kelapangan hati menerima perbedaan dengan orang lain, tetapi bagian dari kewajiban hukum. Perbedaan adalah sifat alamiah masyarakat. Sehingga, ketika mereka berada dalam dan sebagai masyarakat, maka toleransi menjadi kemutlakan logis.

Locke seolah ingin menyampaikan pesan, bahwa siapa pun yang mengingkari perbedaan atau bahkan memaksakan keseragaman dalam kehidupan bermasyarakat serta bernegara, maka ia sebetulnya sedang melawan kodrat alamiah dari struktur masyarakat itu sendiri.

Teori Locke, kendatipun pada waktu-waktu berikutnya dianggap terlalu sederhana, boleh jadi ada benarnya. Bukankah sejarah dunia mencatat kebijakan-kebijakan politik suatu pemerintahan yang “ngotot” melakukan penyeragaman, lalu tumbang seiring waktu oleh masyarakat itu sendiri? Raja Louis XIV di Perancis memaksa seluruh warga Prancis memeluk Katolik. Dalam beberapa saat, cukup berhasil, tapi tak bertahan lama. Belum lagi tentang aksi militer Hitler yang membumihanguskan warga keturunan Yahudi di Jerman, toh gagal juga pada akhirnya. Pendeknya, setiap kali pemimpin bangsa membuat kebijakan penyeragaman masyarakat, intoleran dan menolak kebhinnekaan, lambat laun masyarakat akan mencari keseimbangannya sendiri. Inilah yang dimaksud kodrat kebhinnekaan.

Tanpa spirit toleransi, yang mengemuka adalah kecurigaan, merasa benar sendiri, dan akhirnya memantik sikap kebencian dan terorisme. Jamak diketahui, pelaku terorisme adalah orang-orang yang hidup secara eksklusif, tertutup, tak mau membaur dengan masyarakat lainnya. Menutup diri dari masyarakat karena menganggap perilaku keagamaan masyarakat di luar kelompoknya salah, bahkan sesat. Berawal dari hilangnya toleransi inilah, radikalisasi muncul. Dari kebencian yang membuncah karena menuduh ‘yang lain’ sesat, mendorong aksi kekerasan dan terorisme.

Islam adalah agama Samhah (السمحة) yang berarti toleransi, yaitu agama yang mengajarkan pemeluknya untuk memiliki sikap Tasamuh (التسامح) yang berarti toleran. Toleransi bukan hanya kepada perbedaan di internal umat Islam, tetapi juga toleransi kepada pemeluk keyakinan dan umat agama yang lain, selama umat agama tersebut juga mengembangkan sikap yang serupa.

Piagam Madinah yang diprakarsai oleh Rasulullah SAW mengikat kehidupan bermasyarakat dalam tata pemerintahan baru di Madinah untuk saling menghargai antara kaum muslimin, non muslim, dan suku-suku Arab di sekitaran Madinah. Bisa disebut, Piagam Madinah merangkul seluruh komponen masyarakat dan merupakan konsep undang-undang pertama dalam sejarah politik dunia Arab. Di bawah payung Piagam Madinah, kelompok Muhajirin, kaum Anshor, orang-orang Yahudi, dan kabilah-kabilah di Madinah melebur, saling bertoleransi dalam ikatan kebangsaan. Piagam Madinah juga menjelaskan secara rinci mengenai sumber-sumber kekuasaan dan pembagian kedaulatan yang mewujud pada Tasyri’iyyah (legislatif), Qadhaiyyah (yudikatif), dan Tanfidziyyah (eksekutif).

Selain Piagam Madinah, Rasulullah SAW juga mengatur hubungan penuh toleransi dengan komunitas non muslim, di antaranya komunitas Yahudi yang berada di dekat Madinah. Rasulullah SAW memberikan kebebasan mutlak kepada mereka dalam hal agama, harta, dan tidak ada sama sekali siasat untuk pengusiran dan permusuhan. Ibnu Hisyam dalam kitab Al-Sirah Al-Nabawiyah menyebutkan, bahwa klausul-klausul diakhiri dengan kalimat “perjanjian antar umat itu tidak boleh dilanggar kecuali oleh orang yang memang dhalim atau jahat”. Artinya, bahwa bila pun di waktu berikutnya ada agresi kepada komunitas yahudi, hal itu lebih dikarenakan perbuatan mengkhianati perjanjian yang telah disepakati bersama.

Komitmen kebhinnekaan atas dasar kemanusiaan tersebut tidak hanya ditunjukkan dalam bentuk perjanjian. Nabi SAW juga menerapkan dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam tataran pemerintahan maupun hubungan sosial. Jauh-jauh hari, sebelum Hijrah Madinah, tepatnya pada pertengahan tahun ke-5 kenabian, beliau memiliki kepercayaan yang tinggi kepada penganut Nasrani di Habasyah atau Abisinia untuk tidak mendhalimi umat Islam. Di saat kaum muslimin awal mendapat terror dan tekanan dari Quraisy beliau menghijrahkan sebagian kaum muslimin ke sana guna mendapatkan suaka dalam beberapa waktu di Habasyah.

Habasyah atau Abisinia adalah sebuah negeri di Afrika yang dipimpin oleh Ashimah An-Najasyi, seorang nasrani yang adil. Penduduk Habasyah juga mayoritas memeluk Nasrani. Namun demikian, tidak seorang pun yang didhalimi atas dasar keyakinan dan agamanya. Justru, pelayanan yang dilakukan oleh masyarakat Habasyah kepada rombongan imigran muslim awal tersebut cukup baik. (Sunan al-Kubra)

Bahkan, suatu ketika Rasulullah berdiri ketika menjumpai iring-iringan jenazah Yahudi yang hendak melakukan proses pemakaman demi memberikan penghormatan. Mula-mula muncul pertanyaan dari para sahabat, “Ya Rasulullah, itu adalah jenazah orang Yahudi.” Tapi, dengan bijak Rasulullah SAW memberikan pertanyaan balik, “Bukankah dia juga manusia?.”

Kimia Kebhinnekaan

Bangsa Indonesia memahami bahwa terbentuknya bangsa ini dan tercapainya kemerdekaan bukan ada dengan sendirinya, tetapi terdapat campur tangan Tuhan. Hal itu menjadi kesadaran bersama warga bangsa ini dengan dicantumkannya secara eksplisit dalam pembukaan UUD 1945, “atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorong oleh keinginan luhur supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekannya.”

Kebangsaan dibangun atas dasar kemajemukan warga Negara. Kemajemukan yang diikat oleh komitmen bersama untuk mewujudkan bangsa dan negara yang merdeka, toleransi antar agama, kemanusiaan yang berkeadilan, terlepas dari kebodohan, dan keinginan luhur untuk tampil menjadi bangsa bersatu yang berdiri tegak di hadapan bangsa-bangsa yang lain. Komitmen kebangsaan itu terpatri erat dalam spirit Pancasila dan dilambangkan melalui Sang Garuda yang mencengkeram erat pita selempang yang bertuliskan Bhinneka Tunggal Ika.

Kesemuanya adalah formulasi kimiawi kebangsaan yang merajut segala kebhinnekaan menjadi kesatuan. Sudah semestinya, kimia kebhinnekaan itu dirajut dalam unsur toleransi dan damai bagi segenap masyarakat. Setiap perjumpaan, komunikasi, dan hubungan sosial di antara masyarakat yang didasarkan pada semangat toleransi dan kasih semoga mewujudkan kehidupan berbangsa yang penuh damai.

Mengutip pernyataan Panglima TNI, Jenderal Gatot Nurmantyo, dalam sebuah talk show di televisi, “Indonesia tanpa umat Islam, bukanlah Indonesia. Indonesia tanpa umat Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghuchu, tidak bisa disebut Indonesia.” Indonesia kita ini adalah kebhinnekaan yang menyatu dalam kebangsaan.

Indah bukan?

Facebook Comments