Ramadan, Membumikan Pancasila sebagai Etos Bernegara

Ramadan, Membumikan Pancasila sebagai Etos Bernegara

- in Narasi
1090
0

Bulan ramadan merupakan momentum istimewa untuk membumikan nilai-nilai Pancasila sebagai etos bernegara. Keseharian ramadan adalah keutamaan yang mengantarkan umat Islam sebagai individu yang berkomitmen menegakkan Pancasila. Momen sejarah sudah mengabarkan bahwa komitmen menegakkan Pancasila digaungkan dalam Proklamasi Kemerdekaan, 17 Agustus 1945, yang juga terjadi di bulan ramadan. 18 Agustus 1945, Pancasila disahkan sebagai dasar negara, juga dalam momentum ramadan.

Atas prakarsa Bung Karno tradisi halal bi halal atau syawalan dimulai sejak tahun 1948. Untuk memulai itu, Bung Karno meminta saran kepada KH A. Wahab Chasbullah, Rais Amm NU saat itu. Itu juga terjadi di bulan ramadan. Membumikan nilai-nilai Pancasila di bulan ramadan terjabarkan sangat nyata dalam gerak sejarah Indonesia. Momentum ramadan yang penuh berkah dijadikan para tokoh bangsa untuk menguatkan proses pribumisasi Pancasila dalam berbangsa dan bernegara.

Pancasila lahir dari nilai luhur bangsa dan sangat besar perannya dalam membangun masyarakat yang sadar dan peduli dengan demokrasi. Jangan sampai politik uang merusak demokrasi, karena akan melahirkan pemimpin gadungan yang menghancurkan bangsa ini.

Disinilah, etos bernegara dalam ajaran Pancasila sangat dibutuhkan negara ini. Krisis moral politik yang terjadi akhir-akhir ini menjadi bukti nyata bahwa nilai-nilai Pancasila harus segera “turun gunung” memberikan pencerahan kepada bangsa ini. Krisis moral politik membuat negara menjadi “rebutan” kaum elite yang hanya sibuk mengurusi jabatan. Kursi dan kekuasaan hanya dimaknai sebagai “benda/materi”, bukan amanah membangun kesejahteraan dan kemakmuran.

Etos Bernegara

“Tidak ada jabatan di dunia ini yang harus dipertahankan mati-matian.” Pernyataan lantang ini disuarakan oleh Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Ketua Umum PBNU 1984-1999 dan Presiden RI ke-4. Sebelum menjadi Presiden RI, Gus Dur sudah menyandang banyak jabatan bergengsi, mulai Ketua Forum Demokrasi (Fordem), Ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), dan lainnya. Ketika ia harus “turun paksa” dari kursi kepresidenan, bukan keangkuhan yang diwartakan, melainkan yang hadir justru “celana pendek” yang menyiratkan jabatan Presiden sekalipun siap dilepasnya. Tak ada gaduh dan keributan, walaupun pengikut fanatiknya siap “mati”.

Apa yang dilakukan Gus Dur ini sudah dilakukan kakeknya, yakni KH Hasyim Asy’ari, pendiri NU. Kiai Hasyim lebih memilih sibuk mengajar dan mengaji di pesantren, bukan sibuk dengan jabatan walaupun mendapatkan tawaran yang sangat banyak, termasuk dari Jepang. Kiai Hasyim tetap menyandang jabatan dalam bernegara, tetapi semua dilakukan tanpa pamrih, tanpa permintaan, apalagi sampai merebut jabatan.

Keteladanan Gus Dur dan Kiai Hasyim Asy’ari ini merupakan wujud nyata pelaksanaan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Inilah wujud nyata kepemimpinan bangsa ini harus didasarkan kepada hikmah kebijaksanaan, bukan nafsu kekuasaan. Menjadi pemimpin bukan dalam rangka kursi kekuasaan, tetapi karena semata untuk menegakkan kemaslahatan dan kesejahteraan rakyat.

Teladan berbangsa dan bernegara dengan nilai Pancasila ini sangat penting. Sayangnya, kini banyak elite yang takut kehilangan jabatan. Jabatan seolah segala-galanya, apapun dilakukan untuk mempertahankannya. Mengapa demikian? A. Mustofa Bisri (2014) sering menyatakan bahwa manusia Indonesia sangat lama mengenyam ilmu dan pendidikan dari orde baru. Sepanjang 32 tahun, manusia Indonesia belajar tentang korupsi, menghalalkan segala cara meraih jabatan, hidup dengan kemewahan, takut miskin, dan melanggengkan kekuasaan. Semua itu dipelajari dengan khusyu’ dan khidmat, sampai merasuk dalam sungsum terdalam manusia. Anehnya, manusia Indonesia tidak belajar keluar dari penyakit itu, justru makin menikmatinya.

Manusia Indonesia sekarang ini mestinya belajar dengan Bung Hatta. Sang Proklamator ini sosok pejabat yang tidak silau dengan kursi kekuasaan. Tanpa marah, apalagi sampai menyandera satu dengan yang lain, Bung Hatta dengan tulus dan damai melepaskan jabatannya sebagai Wakil Presiden pada tahun 1956. Walaupun jasanya sangat besar dalam memperjuangkan kemerdekaan dan mempertahankan kemerdekaan, semua orang saat itu juga mengakui kontribusinya, tetapi Bung Hatta mundur harus terjadi anarkhi.

Dengan melepaskan jabatannya, justru banyak orang yang mengapresiasi dan belajar kepada Bung Hatta. Ia menjadi cermin bagi para pejabat saat itu. Ketika kegaduhan terjadi pasca-mundurnya Bung Hatta dari Wakil Presiden, sikapnya yang tulus dalam mengabdi kepada negeri tercinta dijadikan sebagai penyemangat dan motivasi para penyelenggara negara untuk memperbaiki bangsa. Itulah Bung Hatta, sosok pejabat asketis yang tidak mampu membeli sepatu Bally. Jabatan dijalaninya dengan tulus, diletakkan sebagai tanggungjawab, bukan sebagai kenikmatan. Kalaupun merasakan kenikmaran, itu semata karena ia dengan tulus menjalankan tanggungjawabnya dengan penuh kesungguhan.

Ramadan harus menjelma saripati umat Islam dalam mengimplementasikan nilai keimanan dan nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam konteks keagamaan, kebangsaan, dan kenegaraan.

Facebook Comments