Ramadhan dan Jiwa-Jiwa yang Toleran

Ramadhan dan Jiwa-Jiwa yang Toleran

- in Narasi
607
0
Ramadhan dan Jiwa-Jiwa yang Toleran

Bulan Ramadhan pada dasarnya adalah sebuah kondisi dimana, konon, orang mengaji dan mengkaji kembali agama Islam dari ranting, dahan, batang, akar, dan bahkan bijinya. Tentu, metafora kayon ini lebih tepat dikenakan pada wilayah keimanan atau keyakinan yang konon lebih tinggi derajatnya daripada wilayah keislaman dalam hierarki Islam-Iman-Ihsan. Dalam literatur sufisme, lambang dan istilah kayon atau gunungan dikenal sebagai sajaratul yaqin atau bahkan sajaratul ma’rifat.

Ketika Islam dikaji kembali dengan kacamata kayon itu, maka ungkapan bahwa semakin mendalam keislaman seseorang akan semakin toleran pula orang yang bersangkutan dapat dipahami. Itulah kenapa lazim ketika Ramadhan tiba terdapat banyak pengajian kasepuhan dengan kitab-kitab yang tergolong sepuh sebagaimana al-Hikam, dst.

Dari sistem kedirian yang pernah disebutkan oleh al-Qur’an setidaknya ibadah puasa Ramadhan berupaya menghidupkan diri muthmainnah, yang dalam surat al-Fajr, dikabarkan sebagai sesesap suasana yang konon diperkenankan untuk pulang dengan riang gembira. Apalagi ketika di Jawa bulan Ramadhan itu diawali dengan tradisi Ruwahan yang lazimnya diisi dengan berziarah ke makam-makam orangtua, leluhur, dan orang-orang yang dianggap saleh, lalu diakhiri dengan prosesi Idul Fitri dengan ideal orang yang seakan dilahirkan kembali.

Meskipun ibadah puasa adalah salah satu rukun Islam, dengan metafora kayon yang berarti sekedar ranting, namun ketika orang tak lagi berhenti pada ranting yang umumnya berstruktur ruwet ia akan menginjak pada dahan yang masih bercabang, batang yang satu, dan kemudian biji yang dari strukturnya tak lagi ada keruwetan dan bahkan kesatupaduan.

Taruhlah mulai perintah puasa yang konon hanya untuk orang yang beriman, dan bukannya orang yang melulu Islam, sangat terang bahwa ibadah puasa tak memiliki sifat yang eksklusif. Dan bukankah wilayah keimanan pada dasarnya adalah sebuah wilayah yang tak dapat dikotak-kotakkan? Dan bukankah konon ibadah puasa sudah dikenal sebelum Islam terbentuk?

Tentang wilayah iman yang sesungguhnya tak dapat dikotak-kotakkan orang dapat belajar pada Nabi Muhammad yang ternyata tak melulu dimonopoli oleh orang Islam. Sebab, pada banyak kalangan yang notabene dikenal sebagai kalangan penghayat kepercayaan, Nabi Muhammad dengan segala manifestasinya ternyata juga menjadi bagian dari keimanan mereka.

Dalam Paguyuban Sumarah, untuk menyebut satu di antara beberapa aliran penghayat kepercayaan yang berbasiskan budaya Jawa, Nabi Muhammad ternyata juga menjadi model dari apa yang disebut mereka sebagai “mukminkhas” (Kumpulan Wewarah, R.Ng. Soekinohartono).

Mung pasrah jiwa raga mring Gusti

Sumarah iku warising Nabi

Ngawula Allah aja ngawula Nabi

Manuta wulanganing Nabinira supaya ngadhep ing Gusti

Sabar sujud kalawan eling ing Pangeranira

Iku marga ingkang nyata

(Sekedar pasrah jiwa-raga pada Tuhan

Sumarah itu warisannya Nabi

Mengabdi pada Tuhan, dan bukannya pada Nabi

Menurutlah pada ajaran Nabimu supaya dapat menghadap Tuhan

Sabar sujud serta eling pada Tuhanmu

Itulah jalan yang nyata).

Maka, oleh orang-orang Sumarah, Nabi Muhammad tak diletakkan sebagai model orang Islam dan orang yang berislam, namun sebagai model orang beriman dan bahkan orang yang beriman secara khusus. Logika bahwa ibadah puasa tak melulu bersangkutan dengan orang Islam pun mendapatkan kegamblangannya. Lewat ibadah puasa Ramadhan, orang dikondisikan untuk tak lagi berislam atau hidup dalam struktur ranting, namun ia juga mesti melangkah pada struktur batang iman yang ternyata menopang beribu ranting.

Bulan Ramadhan, ketika pemerintah ikut pula memberi ruang dimana barangkali orang-orang non-muslim dapat merasakan segala efeknya, merupakan suasana dimana orang Islam tak semata berkutat dengan wilayah syari’at atau Islam yang jelas-jelas dapat dipilah atau dipisahkan, seumpamanya dengan agama-agama lainnya. Dengan suasana bulan Ramadhan, orang-orang Islam diarahkan pula dengan cara-cara islami untuk lebih jauh lagi menjangkau wilayah keimanan yang ternyata bersifat lintas-batas. Al-hasil, ideal yang dapat dicapai, karena suasana bulan Ramadhan memang mengkondisikan wilayah iman, sikap hidup toleranlah yang akan dikedepankan. Siapakah yang berani membantah bahwa Nabi Muhammad adalah tak melulu model orang Islam dan orang yang berislam, namun juga model orang yang beriman?

Facebook Comments