Rebranding FPI dan HTI; Dari Gerilya Digital ke Budaya Populer

Rebranding FPI dan HTI; Dari Gerilya Digital ke Budaya Populer

- in Narasi
17
0
Rebranding FPI dan HTI; Dari Gerilya Digital ke Budaya Populer

Sebagai sebuah ideologi dan gerakan, FPI dan HTI harus diakui memang punya tingkat resiliensi yang kuat. Meski telah diberangus melalui jalur hukum, FPI dan HTI tidak pernah benar-benar musnah hingga ke akar.

Sebagai organisasi, FPI dan HTI memang telah bangkrut Namun, eksponen dan simpatisannya tidak pernah tiarap, alih-alih bermetamorfosis. HTI dan FPI masih tetap setia dengan agenda menerapkan syariah secara formal dan mendirikan daulah atau kekhalifahan Islam di Indonesia. Hanya saja, perjuangan mereka kali ini lebih banyak dilakukan secara bergerilya.

Gerilya HTI dan FPI ini dapat diidentifikasi ke dalam setidaknya tiga cara. Pertama gerilya sosial, yakni menyusup ke berbagai lembaga, institusi, atau organisasi keaagamaan dan kemasyarakatan. Seperti kita lihat, kian banyak mantan petinggi FPI dan HTI menyeberang dan menyusup ke sejumlah ormas keagamaan.

Kedua, gerilya politik, yakni menunggangi isu-isu politik untuk menarik simpati umat. Sudah bukan rahasia lagi jika para eksponen dan simpatisan FPI dan HTI kerap berselancar di atas isu-isu politik yang tengah menjadi perbincangan publik. Hal ini dimaksudkan untuk memvalidasi keberadaan mereka sekaligus mendelegitimasi pemerintah yang dianggap sebagai musuh.

Ketiga, gerilya digital di media sosial. Seperti kita lihat, belakangan ini kian banyak tokoh FPI dan HTI yang merambah dunia digital dengan memproduksi beragam konten. Antara lain, konten siniar (podcast) yang berkolaborasi dengan para pesohor, mulai dari aktor, penyayi, sampai komika. Hal ini tentu dimaksudkan untuk menggaet simpati dari generasi Z.

Gerilya Digital sebagai Strategi Rebranding

Gerilya digital itu dilakukan dalam rangka rebranding alias mengemas ulang citra FPI dan HTI. Rebranding ini dilakukan untuk mengubah citra negatif yang selama ini kadung menempel. Tujuannya agar generasi Z yang polos dan buta peta gerakan keagaman itu bersimpati pada FPI dan HTI.

Selain gerilya digital, rebranding HTI dan FPI juga dilakukan dengan pendekatan lain. Yakni mengadaptasi budaya populer seperti film, musik, dan stand up comedy ke dalam gerakan mereka. Hal ini tentu bukan sebuah kebetulan. Seperti kita tahu, budaya populer merupakan bagian tidak terpisahkan dari generasi milenial dan Z. Padahal, sasaran utama propaganda kaum radikal saat ini adalah dua kelompok tersebut.

Mengadaptasi budaya populer adalah celah yang diciptakan kelompok radikal untuk masuk ke kalangan milenial dan generasi Z tanpa adanya resistensi. Maka, seperti kita lihat belakangan ini, acara-acara yang digelar oleh HTI dan FPI menampilkan unsur budaya populer; mulai dari musik, film, dan stand up comedy.

Kita tentu ingat acara bertajuk “Metamorphosis: It’s Time to One Ummah” yang sempat heboh beberapa saat lalu. Acara itu menggabungkan antara propaganda Islam ortodoks dan budaya populer dengan target utama adalah kaum milenial dan generasi Z. Acara itu terbilang sukses karena dihadiri oleh ratusan anak muda.

Belakangan, kita juga dihebohkan dengan acara bertajuk Temu Muda Muslimah 2024. Acara itu mengusung tema yang sangat ambisius, yakni “The Next Level Activism: We Aspire, We Engage, & We Stand for Islam Kaffah”. Acara yang diadakan pada Minggu, 27 Oktober 2024 ini diadakan secara hybrid di Palembang.

Menghadirkan narasumber dari dalam dan luar negeri dan diklaim diikuti oleh 300 peserta yang hadir secara langsung dan17 ribu peserta daring dan luring dari sejumlah negara. Antara lain, Indonesia, Malaysia, Australia dan sejumlah negara lainnya.

Membendung Kebangkitan HTI dan FPI

Tidak berselang lama setelah acara di Palembang tersebut, muncul demonstrasi massa yang mengatasnamakan Reuni Aksi 411. Bertempat di depan Istana Negara, demonstrasi itu menyuarakan tuntutan untuk mengadili mantan presiden Joko Widodo. Memang belum jelas benar apakah ada kaitan antara kegiatan Temu Muda Muslimah 2024 di Palembang dan demo 411 di Jakarta.

Namun, secara sosio-politis sulit untuk tidak menganggap dua peristiwa itu sebuah hal yang diskenariokan. Ada semacam upaya untuk membangkitkan kembali gerakan radikal-ekstrem yang sempat matisuri di era pemerintahan Jokowi. Para eksponen organisasi terlarang seperti FPI dan HTI mencoba bangkit dengan memanfaatkan momentum transisi kepemimpinan.

Mereka seolah sedang mengecek ombak dan menunggu respons pemerintahan baru; apakah akan tegas seperti pemerintahan sebelumnya, atau lebih lunak dan permisif? Jika dua peristiwa ini, yakni demo 411 dan acara Temu Muda Muslimah disikapi permisif oleh negara, besar kemungkinan mereka akan mengonsolidasikan kekuatan untuk bangkit dengan kekuatan lebih besar.

Di titik ini, pemerintahan yang baru tentu tidak boleh bersikap lunak atau permisif. Sikap tegas dalam memberangus kebangkitan HTI dan FPI diperlukan untuk mengirim pesan ke kelompok radikal bahwa negara tidak akan kalah melawan radikalisme-ekstremisme. Keputusan pembubaran dan pelarangan HTI-FPI adalah harga mati. Siapa pun pemerintahan yang berkuasa, keputusan itu kiranya tidak bisa ditawar lagi.

Facebook Comments