Refleksi Akhir Tahun : Tantangan Ideologi Kekerasan dan Radikalisme di Era Digital

Refleksi Akhir Tahun : Tantangan Ideologi Kekerasan dan Radikalisme di Era Digital

- in Narasi
14
0
Refleksi Akhir Tahun : Tantangan Ideologi Kekerasan dan Radikalisme di Era Digital

Tahun 2024 menorehkan berbagai peristiwa yang menuntut refleksi mendalam, khususnya terkait dengan harmoni antarumat beragama. Dunia, termasuk Indonesia, menghadapi tantangan signifikan berupa penyebaran ideologi kekerasan yang memanfaatkan teknologi, terutama media sosial. Kejatuhan Bashar Al-Assad di Suriah oleh kelompok Hay’at Tahrir al-Sham (HTS) pada Desember 2024 menjadi katalis gejolak baru yang merembet ke banyak negara, termasuk Indonesia. Dengan dalih “jihad di bumi Syam,” kelompok-kelompok radikal teroris memanfaatkan situasi ini untuk menyebarluaskan narasi ekstremisme.

Media sosial terus menjadi alat yang ampuh bagi kelompok radikal untuk merekrut anggota dan menyebarkan propaganda. Menurut studi dari Brookings Institution, lebih dari 90% kelompok ekstremis global menggunakan platform digital untuk membangun jaringan dan menggalang dukungan internasional. Di Indonesia, narasi radikal seperti “jihad di bumi Syam” sering kali dirancang untuk menarik simpati masyarakat dengan menyalahgunakan konsep keagamaan.

Ketegangan antarumat beragama kerap dipicu oleh penyalahgunaan isu-isu agama untuk kepentingan politik. Menurut laporan Setara Institute, pada tahun 2024 terdapat peningkatan 15% insiden intoleransi dibandingkan tahun sebelumnya. Hal ini menunjukkan perlunya upaya lebih serius dalam meredam potensi konflik berbasis agama.

Harmonisasi antarumat beragama yang kaffah (menyeluruh) memerlukan pendekatan yang sistematis, melibatkan semua pemangku kepentingan, termasuk pemerintah, tokoh agama, lembaga pendidikan, dan masyarakat umum. Ada beberapa strategi yang dapat diterapkan;

Pertama, peningkatan literasi keagamaan. Literasi keagamaan tidak sekadar mengenal ajaran agama tertentu, tetapi juga memahami nilai-nilai universal yang ada di setiap agama. Kurikulum pendidikan harus memasukkan materi yang mendorong siswa untuk berpikir kritis dan inklusif terhadap keberagaman. Pendekatan multikulturalisme di sekolah perlu menekankan pentingnya nilai-nilai seperti keadilan, kasih sayang, dan kerja sama.

Selain di institusi formal, literasi keagamaan juga harus diperkenalkan di ruang-ruang informal seperti komunitas masyarakat, majelis taklim, dan diskusi lintas agama. Inisiatif seperti pelatihan bagi guru pendidikan agama dapat menjadi langkah awal. Guru perlu diberdayakan dengan wawasan tentang bagaimana mengajarkan agama secara inklusif, tanpa terjebak dalam eksklusivisme yang bisa memicu segregasi sosial.

Studi dari UNESCO (2022) menunjukkan bahwa pendidikan yang mengintegrasikan nilai-nilai pluralisme efektif dalam menurunkan tingkat intoleransi di komunitas multietnis hingga 30%. Indonesia, dengan keberagamannya, memiliki potensi besar untuk menjadikan literasi keagamaan sebagai alat pemersatu.

Kedua, penguatan peran pemimpin agama. Pemimpin agama memiliki tanggung jawab besar untuk menyebarkan pesan damai dan toleransi. Mereka harus mampu menjadi agen perubahan dengan memberikan contoh konkret dalam kehidupan sehari-hari. Menurut penelitian dari Pew Research Center, masyarakat cenderung lebih menerima pesan damai jika datang dari tokoh yang mereka percayai. Di Indonesia, penguatan kapasitas pemimpin agama bisa dilakukan melalui pelatihan interfaith, yang bertujuan untuk membekali mereka dengan keterampilan dialog lintas budaya dan agama. Pendekatan ini telah sukses diterapkan di negara seperti India, di mana pemimpin Hindu dan Muslim bekerja sama dalam program pembangunan masyarakat.

Ketiga, pengendalian narasi di media sosial. Media sosial tidak hanya menjadi ruang komunikasi, tetapi juga medan perang narasi. Kelompok radikal sering memanfaatkan celah algoritma platform untuk menyebarkan propaganda. Untuk melawan propaganda tersebut, pemerintah dan masyarakat perlu mengedepankan strategi yang terkoordinasi.

Salah satunya dengan mengedukasi masyarakat tentang literasi digital. Kampanye seperti “Think Before You Share” dapat membantu masyarakat mengenali konten berbahaya dan menolak menyebarkannya. Selanjutnya, pemerintah harus mampu menggandeng perusahaan teknologi untuk memperketat algoritma pendeteksi konten radikal. Facebook, misalnya, telah menerapkan sistem AI untuk mendeteksi konten yang melanggar kebijakan mereka terkait ujaran kebencian.

Keempat, penguatan hukum dan penegakan keadilan. Hukum yang tegas dan adil adalah elemen penting dalam menjaga harmoni masyarakat. Undang-Undang No. 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme sudah memberikan kerangka hukum yang solid, tetapi implementasinya harus lebih tajam. Misalnya, penegak hukum perlu dilatih untuk memahami dinamika konflik berbasis agama agar dapat mengambil tindakan yang tepat tanpa memprovokasi ketegangan lebih lanjut.

Selain itu, pendekatan yang lebih humanis harus diterapkan dalam rehabilitasi individu yang terlibat dalam aktivitas radikal. Contohnya adalah program deradikalisasi berbasis komunitas yang diterapkan di Malaysia, di mana mantan ekstremis dilibatkan dalam kegiatan sosial dan keagamaan untuk membantu mereka kembali ke masyarakat.

Kelima, promosi dialog Antaragama. Dialog antaragama harus terus digalakkan untuk menciptakan ruang berbagi yang aman dan saling memahami. di Kanada, komunitas lintas agama menjalankan program “Faithful Neighbours,” di mana mereka bekerja sama dalam proyek sosial seperti mendirikan pusat kesehatan bagi masyarakat kurang mampu.

Di Indonesia, dialog antaragama harus didorong untuk mencakup isu-isu praktis yang relevan, seperti kemiskinan, pendidikan, dan lingkungan. Pendekatan ini tidak hanya membangun solidaritas, tetapi juga memberikan manfaat langsung kepada masyarakat. Platform dialog juga harus memanfaatkan teknologi untuk memperluas jangkauan. Webinar dan diskusi online dapat menjadi alat untuk menjangkau generasi muda yang lebih akrab dengan teknologi.

Peristiwa sepanjang tahun 2024 memberikan kita pelajaran berharga tentang pentingnya membangun hubungan antarumat beragama yang kuat dan berkelanjutan. Harmonisasi bukan sekadar tujuan, tetapi proses yang membutuhkan komitmen bersama untuk terus belajar dan bertumbuh.

Seperti yang diungkapkan oleh Gus Dur, “Agama tidak pernah bertujuan untuk menciptakan konflik, tetapi untuk membangun peradaban.” Pesan ini relevan untuk mendorong setiap elemen masyarakat berperan aktif dalam menciptakan perdamaian. Selain itu, kerjasama lintas sektor dan lintas agama harus menjadi prioritas untuk mengatasi tantangan global dan lokal.

Menuju harmonisasi antarumat beragama yang kaffah adalah tugas bersama yang melibatkan pendekatan komprehensif. Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi contoh harmoni di tengah keberagaman, asalkan semua pihak bersedia melangkah bersama dengan semangat inklusivitas dan kebersamaan. Tantangan yang muncul sepanjang tahun 2024 harus dijadikan momentum untuk introspeksi dan perbaikan demi masa depan yang lebih damai dan berkeadilan.

Facebook Comments