Refleksi Maulid Nabi; Teladan Kebhinekaan Nabi di Madinah

Refleksi Maulid Nabi; Teladan Kebhinekaan Nabi di Madinah

- in Narasi
612
0
Refleksi Maulid Nabi; Teladan Kebhinekaan Nabi di Madinah

Merayakan Maulid hakikatnya adalah ekspresi cinta dan kegembiraan atas dilahirkannya Rasulullah yang menjadi rahmat dan syafaat. Salah satu bentuk kecintaannya adalah menjalankan ajaran dan meneladani perilaku Nabi. Salah satu yang sangat penting adalah bagaimana pola Rasulullah dalam membangun Madinah.

Madinah yang dulunya bernama Yatsrib merupakan daerah yang subur di Jazirah Arab pada masa itu. Sebelum Islam datang, penduduk Madinah dihuni oleh orang-orang dari bangsa Yahudi dan suku-suku Arab.

Ada tiga suku besar Yahudi di Madinah waktu itu, yakni Bani Nadhir, Bani Quraizhah dan Bani Qainuqa’. Selain tiga suku tersebut masih ada suku-suku kecil Yahudi yang tinggal di Madinah. Keberadaan mereka ditengarai sebagai migran dari tempat asal mereka, Yahudi. Namun sebagian ahli sejarah berpendapat mereka adalah orang-orang dari suku Arab yang berpindah agama Yahudi.

Sementara orang-orang Arab yang menjadi penduduk Madinah, diantaranya adalah suku Azd yang berasal dari Yaman. Ada dua suku besar di dalam suku Azd ini, yakni suku Aus dan suku Khazraj.

3 Teladan Nabi di Madinah

Setelah Nabi dan para sahabatnya hijrah dari Makkah ke Madinah, pelan namun pasti Islam mulai mewarnai kehidupan Madinah dengan ajaran-ajarannya yang universal atau rahmatan lil ‘alamin. Ada beberapa tahapan yang dilakukan oleh Nabi dalam membangun Madinah sebagai kawah candradimuka peradaban dunia.

Pertama, mempersaudarakan (muakhah) antara umat Islam yang dari Makkah (Muhajirin) dengan muslim lokal (Anshar). Persaudaraan internal umat Islam ini dalam upaya meringankan beban ekonomi kelompok Muhajirin yang datang ke Madinah tanpa membawa harta benda.

Kedua, membangun pondasi cinta sesama muslim. Melalui pondasi cinta dan persatuan umat Islam, pelan-pelan Madinah dibangun menjadi sebuah negara yang kuat, dan bahkan mampu menyatukan seluruh negeri Arab. Pondasi cinta, saling kasih dan tolong menolong menjadi relasi perekat yang menguatkan persatuan umat Islam.

Ketiga, membangun kesepakatan lintas suku dan iman melalui Piagam Madinah. Sebuah piagam yang berisi kesepakatan bersama seluruh penduduk Madinah. Perbedaan agama, suku, ras maupun kelompok dipersatukan dalam satu payung hukum negara yang kemudian populer dengan sebutan Piagam Madinah. Mereka sepakat bahwa Madinah adalah milik semua kelompok dan harus dipertahankan secara bersama-sama sebagai wujud kecintaan kepada tanah air.

Piagam Madinah adalah kesepakatan bersama yang kemudian menjadi undang-undang resmi negara yang dipimpin oleh Rasulullah. Kemajemukan masyarakat Madinah, baik dari pluralitas budaya, agama, suku, etnis dan golongan diikat dengan kesepakatan bersama yang bernama Piagam Madinah.

Rasulullah tidak memakai al Qur’an sebagai undang-undang negara, namun nilai-nilai yang ada dalam kitab suci itu dituangkan dalam peraturan bersama untuk ditaati bersam pula. Siapa saja dan dari kelompok manapun yang mengkhianati perjanjian tersebut akan diberikan hukuman tegas sesuai dengan yang tertera di Piagam Madinah. Pengkhianat konstitusi adalah pemberontak dan akan ditindak dan dihukum secara tegas. Piagam Madinah mengatur relasi antar manusia secara adil dengan nilai-nilai kemanusiaan sebagai titik tumpu.

Prinsip Piagam Madinah : Teladan dalam Bernegara

Di antara pernyataan yang tertulis dalam Piagam Madinah adalah prinsip melindungi yang teraniaya, tanpa melihat perbedaan agama, suku, ras dan golongan. Semua penduduk memiliki hak dan kewajiban yang sama. Kebhinekaan di Madinah berhasil direkatkan secara baik oleh Rasulullah tanpa menciderai kemanusiaan. Agama Islam diperkenalkan dengan menyampaikan kebenaran ajarannya dengan akhlak terpuji sebagaimana ajaran Islam itu sendiri.

Hal utama yang dibangun oleh Rasulullah tegaknya prinsip-prinsip keadilan bagi semua masyarakat Madinah. Keadilan bagi seluruh rakyat Madinah menjadi fokus utama dalam membangun negara Madinah. Kepiawaian beliau dalam hal ini pada akhirnya mampu menjadikan negara Madinah sebagai negara super power dan sebagai sumber peradaban manusia yang paling baik, sampai saat ini.

Prinsip kebebasan beragama juga menjadi fokus perhatian Rasulullah. Sekalipun beliau sebagai Rasul, namun tidak pernah sekalipun melakukan pemaksaan agama terhadap penduduk Madinah yang memeluk agama lain. Praktek relasi antar beragama tertuang dalam Piagam Madinah pasal 37 menjelaskan: “Orang-orang muslim dan orang-orang Yahudi perlu bekerja sama dan saling menolong dalam menghadapi pihak musuh”.

Kebhinekaan di Madinah menjadi Tunggal Ika di bawah Piagam Madinah. Sebuah tata kelola negara yang baik berdasarkan prinsip kesepakatan bersama. Perbedaan mampu direkatkan secara baik menjadi persaudaraan kemanusiaan. Negara Madinah menjadi cerminan toleransi tingkat tinggi, menjadi teladan Baginda Nabi untuk umat Islam.

Rasulullah dalam kapasitasnya sebagai pemimpin negara tidak hanya membela kepentingan umat Islam semata, melainkan kepentingan rakyat secara keseluruhan. Hal ini melahirkan kedamaian dalam sendi-sendi umat beragama di Madinah. Islam adalah agama yang membawa manusia pada kedamaian. Islam adalah satu-satunya kebenaran yang hadir untuk diperkenalkan kepada semua manusia. Akan tetapi, kebenaran itu bukan untuk dipaksakan terhadap seseorang, sebab Rasulullah hanya penyampai, finalisasinya tetap menjadi hak prerogatif Allah.

Begitulah teladan dari Baginda Nabi dalam menyikapi kebhinekaan yang ada di Madinah. Mengelola kebhinekaan tersebut secara baik sehingga melahirkan kedamaian, persaudaraan, persatuan, dan bukan perpecahan. Beliau tidak pernah menjadikan agama sebagai alasan untuk membenci orang atau kelompok lain, memusuhi mereka yang berbeda, apalagi melakukan aksi-aksi kekerasan atas nama agama.

Facebook Comments