Refleksi Tahun Baru Islam 1447 Hijriah; Meneladani Cara Nabi Muhamad Membangun Kota Madinah yang Majemuk

Refleksi Tahun Baru Islam 1447 Hijriah; Meneladani Cara Nabi Muhamad Membangun Kota Madinah yang Majemuk

- in Narasi
3
0
Refleksi Tahun Baru Islam 1447 Hijriah; Meneladani Cara Nabi Muhamad Membangun Kota Madinah yang Majemuk

Tahun Baru Islam 1447 Hijriah menjadi momen penting untuk merenungkan kembali makna hijrah dalam kehidupan umat Islam, bukan hanya sebagai peristiwa historis yang monumental, tetapi sebagai spirit transformatif yang akan arat nilai-nilai universal.

Salah satu aspek penting dari peristiwa hijrah adalah bagaimana Nabi Muhammad SAW, setibanya di Madinah, membangun sebuah tatanan masyarakat yang damai, inklusif, dan adil di tengah masyarakat yang sangat majemuk—baik dari sisi agama, suku, maupun latar belakang sosial. Di tengah dunia modern yang masih dirundung konflik, intoleransi, dan krisis identitas, meneladani cara Nabi membangun perdamaian di Madinah menjadi sangat relevan.

Madinah pada saat Nabi hijrah bukanlah sebuah kota yang homogen. Masyarakatnya terdiri dari berbagai kelompok suku dan agama, seperti kaum Aus dan Khazraj dari kalangan Arab, serta tiga kelompok besar Yahudi, yakni Bani Quraizhah, Bani Nadhir, dan Bani Qainuqa. Sebelum kedatangan Nabi, kota ini sering dilanda konflik antar suku yang berkepanjangan. Permusuhan dan dendam antarsuku telah menjadi bagian dari kehidupan sosial mereka. Dalam konteks seperti inilah, Nabi Muhammad SAW hadir membawa misi damai dan menjadi pemersatu dari berbagai kelompok yang bertentangan di Madinah.

Langkah pertama yang dilakukan Nabi Muhammad SAW adalah membangun solidaritas internal di antara kaum Muslimin, khususnya antara Muhajirin (kaum pendatang dari Mekkah) dan Anshar (penduduk Madinah). Dengan prinsip persaudaraan (ukhuwah Islamiyah), Nabi mempersaudarakan mereka dalam ikatan sosial, ekonomi, dan spiritual. Ikatan ini tidak hanya menghilangkan sekat-sekat primordial, tetapi juga menjadi fondasi bagi solidaritas sosial yang kuat di tengah tantangan hidup baru pasca hijrah.

Namun, yang lebih monumental dari itu adalah langkah Nabi dalam merumuskan Piagam Madinah (Mitsaq al-Madinah). Dokumen ini sering dianggap sebagai konstitusi tertulis pertama dalam sejarah umat manusia yang secara eksplisit mengatur relasi antar komunitas dalam satu entitas negara-kota. Piagam ini bukan hanya mengikat kaum Muslimin, tetapi juga kelompok-kelompok non-Muslim, khususnya Yahudi, sebagai bagian dari “umat” yang setara dalam hal hak dan kewajiban. Prinsip dasarnya adalah bahwa seluruh komunitas di Madinah adalah satu umat (ummah wahidah), meskipun di dalamnya terdapat perbedaan keyakinan.

Melalui Piagam Madinah, Nabi menetapkan prinsip-prinsip dasar kehidupan bermasyarakat yang sangat visioner: jaminan kebebasan beragama, keadilan tanpa diskriminasi, komitmen untuk menjaga perdamaian, serta hak untuk membela diri jika diserang. Dalam dokumen ini, tidak ditemukan dominasi satu kelompok atas kelompok lainnya. Semua warga dianggap sebagai mitra dalam membangun kehidupan yang damai. Inilah wujud nyata dari Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil ‘alamin), yang dalam praktiknya menghargai keberagaman dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.

Di era modern yang diwarnai oleh konflik identitas, fanatisme sempit, dan kebencian, meneladani cara Nabi membangun Madinah menjadi semakin penting. Banyak negara dan komunitas global, termasuk Indonesia, menghadapi tantangan dalam menjaga persatuan di tengah perbedaan. Polarisasi sosial sering kali diperparah oleh narasi-narasi keagamaan yang disalahgunakan untuk memecah belah. Dalam konteks ini, umat Islam dituntut untuk kembali ke nilai-nilai asli yang diajarkan Nabi: dialog, kompromi, keadilan, dan toleransi.

Indonesia sebagai negara yang sangat majemuk sejatinya bisa belajar banyak dari konsep masyarakat Madinah yang dibangun Nabi. Dalam konteks kebangsaan, Pancasila sesungguhnya memiliki nilai-nilai yang sejalan dengan Piagam Madinah. Ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah, dan keadilan sosial merupakan prinsip-prinsip dasar yang juga dijunjung tinggi oleh Nabi dalam menyusun tata sosial Madinah. Sayangnya, nilai-nilai ini kadang tergerus oleh kepentingan kelompok yang lebih memilih narasi eksklusif.

Karena itu, masyarakat Muslim tidak boleh larut dalam wacana-wacana permusuhan yang menyulut konflik, baik secara lokal maupun global. Umat harus menjadi agen perdamaian, bukan pelaku kekerasan. Dalam konteks konflik global seperti perang antara Israel dan Palestina, konflik Israel-Iran, atau krisis kemanusiaan di Yaman dan Suriah, umat Islam perlu mengambil peran sebagai penengah dan penyambung suara keadilan.

Tahun Baru Islam bukan hanya ajang ritual dan seremoni, tetapi juga ruang untuk melakukan introspeksi diri dan perbaikan kolektif. Meneladani cara Nabi membangun perdamaian di kota Madinah yang majemuk adalah bagian dari proses hijrah spiritual dan sosial kita hari ini. Ini adalah panggilan untuk berhijrah dari kebencian menuju kasih sayang, dari fanatisme menuju toleransi, dari konflik menuju rekonsiliasi yang berkelanjutan.

Facebook Comments