Pancasila telah disepakati sebagai ideologi bangsa dan negara Indonesia. Kesaktian Pancasila pun telah dibuktikan di masa pemerintahan orde lama yaitu dengan adanya peristiwa Gerakan 30 September atau disebut dengan G30SPKI. Fenomena kemenagan ideologi bangsa dan negara tersebut sering diperingati setiap 1 Oktober oleh seluruh bangsa Indonesia. Fenomena tersebut terus berkembang seiring dengan munculnya ormas tertentu yang ingin mengganti NKRI dengan sistem khilafah. Salah satunya adalah oleh HTI yang mulai masuk Indonesia tahun 1983.
Kegiatan yang dilakukan adalah pengajian lewat mahasiswa di beberapa kampus kemudian berkembang menjadi gerakan. Namun, sosok HTI sebenarnya jauh berkembang di Palestina oleh Taqiyuddin al-Nabhani. Ide tersebut di Indonesia sudah ada sebelumnya yakni DI/TII oleh Kartosuwiryo dan belakangan juga muncul dengan nama NII (negara Islam Indonesia). Dua kelompok tersebut berbeda dengan HTI yang tidak secara spesifik mengganti sistem pemerintahan secara radikal.
Kajian atas ajaran Islam dan Pancasila khususnya atas Alquran ditemukan. Hal tersebut seperti banyaknya kajian buku yang mengkajinya antara lain Jihad fil Pancasila, Muhammad Azizul Ghaffar (Yogyakarta: Garudhawaca, 2016), Falsafah Pancasila Epistemologi Keislaman Kebangsaan, Fokky Fuad Wasitaatmadja (Depok: Prenamdia, 2018), Islam, ancasila dan Deradikalisasi Meneguhkan Nilai Keindonesiaan Sdyaiful Arif (Jakarta: Gramedia, 2018), Islam dan Muslim di Negara Pancasila oleh M. Fuad Nasar (Yogyakarta: Gre Publishing, ).
Ke semuanya mengkaji Pancasila dan Alquran. Demikian juga kajian tentang merajut kerukunan dalam keragaman agama di Indonesia dalam perspektif Alquran oleh Abdul Kholiq Hassan (Profetika, 2016). Ragam kajian tersebut, belum nampak penelitian tentang Pancasila dan Hadis.
Alquran merupakan bagian yang terpenting dalam ajaran Islam yang aplikasi dan penjelasannya dilakukan melalui Hadis. Hal tersebut dapat dilihat dalam banyak ayat yang menjelaskan ketaatan kepada Allah swt. dan RasulNya Muhammad saw. Q.S. al-Nisa (4): 59 memberikan kewajiban ummat Islam untuk mentaati Alquran dan Rasulnya. Ayat lain dalam Q.S. al-Nisa (4): 80 memperjelas bahwa ketaatan kepada Rasulullah saw. merupakan bagian dari ketaatan kepada Allah swt. Dengan demikian, seorang yang bergama Islam harus mentaati apa yang ada dalam kalam langit dan hadis yang merupakan bagian wahyu.
Alquran yang diturunkan kepada Muhammad saw. banyak dijelaskan melalui sosok utusanNya yakni Muhammad saw.. Kenyataan tersebut menjadikan hadis sangat penting sebagai model penafsiran awal dalam kehidupan ummat Islam sejak zaman awal Islam maupun sekarang. Q.S. al-Nahl (16): 44 memberikan amanat itu kepada utusan Rasulullah saw.. Sehingga hadis juga menjadi penting dalam penafsiran Alquran dan sekaligus menjadi acuan tersendiri jika dalam Alquran belum ditemukan. Banyak Hadis yang digunakan oleh mufassir dalam menafsirkan ayat Alquran dan dapat ditemukan dalam beragam literatur dan secara keilmuan fenomena tersebut menjadi bagian bentuk penafsiran awal Islam.
Sebagai Mufassir pertama, Muhammad juga memberikan tauladan dalam kehidupan keseharian. Hal tersebut dapat dilihat Q.S. al-Ahzab (59): 21, dan sekaligus dalam kehidupan keseharian selama menjadi utusan Tuhan hampir 23 tahun lamanya. Fenomena tersebut kemudian dijadikan bagian dari kebiasaan generasi sesudahnya dan dijadikan sebagai landasan pemahaman hukum di kitab-kitab fiqih. Hal tersebut juga dilakukan oleh Imam Malik salah satu ulama empat yang terkenal yang menjadikan amal ahl madinah sebagai bagian dari pendapat fiqihnya.
Hadist sebagai Tafsir
Pancasila dan Hadis merupakan turunan dari Alquran. Sehingga keduanya tidak dapat dipertentangkan. Iman dan berbuat baik adalah inti dari ajaran Islam. Hal tersebut dapat terlihat jelas atas kedua misi dalam ayat-ayat Alquran maupun hadis. Keyakinan kepada Tuhan Yang Maha Esa tidak dapat diakui begitu saja kalau tidak seorang yang mengaku mampu membuktikan melalui perbuatan yang baik.
Bahkan secara eksplisit mereka yang beragama dianggap sebagai mendustakan agama jika tidak mampu berbuat baik. Artinya beragama namun mendustakan agama itu sendiri. Mereka itu adalah orang yang tidak mampu berbuat baik kepada anak yatim dan memberi makan orang miskin. Fenomena tersebut dapat dilihat dari QS. Al-Ma’un (107): 1-3. Dengan demikian, beragama Islam harus ada buktinya sekalin ibadah juga dimensi sosial.
Aplikasi kehidupan keberagaman dan keberimanan dengan kebaikan merupakan sebuah paket ketundukan yang harus sejalan dan tidak bisa dipilih-pilih (sepaket). Hal tersebut merupakan bagian dari ciri seorang muslim yang baik. Setidaknya dalam sebuah hadis di nomor 9 dan 10 dalam Sahih Bukhari. Informasi tentang ciri dari orang muslim yaitu menjaga tangan dan lisannya. Dalam tubuh manusia dua hal tersebut menjadi penting dalam kehidupan sosial.
Banyak kata-kata atau sekarang provokasi baik dengan ungkapan perkataan maupun tulisan lewat media sosial yang menjadilan hubungan persaudaraan sesama manusia menjadi hilang, bahkan melahirkan permusuhan sesama bangsa. Setidaknya peristiwa kerusuhan di Papua sebagai contoh terkini tentang akibat fatal dari kurang terkontrolnya lidah dan tangan. Atas hal ini juga terdapat hadis, ciri orang Islam yang baik adalah berkata baik atau diam. Sehingga seseorang dan orang lainnya berlaku baik dan di masyarakat akan damai.
Lebih jauh dalam hadis lain, Rasulullah saw. juga memberikan petuah yang mampu menggalang persaudaraan. Hal tersebut terlihat pada hadis ke 12 dalam Sahih Bukhari yang menyebutkan tidak imam seseorang sampai mencintai orang lain dari pada dirinya sendiri. Kecintaan kepada orang lain pun dapat berbentuk peduli bagi yang kekurangan harta dan anak yang membutuhkan sepergti anak yatim dan sebagainya.
Sebagaimana spirit keagamaan yang digaungkan oleh Islam. Bahkan Nabi saw. menjelaskan kedekatan seseorang dengan anak yatim tergambar dekat sebagaimana telunjuk tangan beliau di surga. Hal tersebut menunjukkan betapa mulianya perbuatan baik tersebut dan sebaliknya yang menghardik anak yatim.
Bukti lain kecintaan kepada Rasulullah saw. adalah menebar salam dan perdamaian kepada semua orang baik yang dikenalnya maupun tidak. Demikian juga dengan memberikan makanan akan menjadi bagian kecintaan dan keimanan kepada Rasulullah saw. Dengan demikian, sosok muslim yang beriman dan baik adalah terlihat dalam perilaku sosial di masyarakatnya bukan saja hanya lewat rutinitas peribadatannya.
Penjelasan di atas sejalan dengan Pancasila sebagai dasar Negara Indonesia. Kepercayaan kepada Tuhan yang Maha Esa sebagaimna sila kesatu mencerminkan dengan rukun Islam pertama dan sekaligus manifestasi rukun keimanan kepada Allah swt. dan Rasulullah saw. Demikian juga sila kedua dan ketiga diwujudkan dalam kehidupan kebersamaan di antara manusia dengan saling menyebar kebaikan dan sekaligus mampu bersatu. Sila yang ke keempat dan ke lima dalam Pancasila juga memiliki semangat sipirit hablum minannas. Seiring perkembangan zaman, kehidupan berbangsa dan bernegara berkembang sehingga yang tertuang dalam Pancasila adalah merupakan kesepakatan dan hal yang penting dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Sila-sila dalam Pancasila sama sekali tidak bertentangan dengan agama. Sila-sila itu menjadi tafsir dari agama dalam menerjemahkan nilai keagamaan dan kebaikan di bumi nusantara.