Pancasila Sebagai Jalan Tengah Umat Beragama

Pancasila Sebagai Jalan Tengah Umat Beragama

- in Narasi
1895
0
Pancasila Sebagai Jalan Tengah Umat Beragama

Debat tentang relasi agama dan Pancasila kembali mencuat di media sosial pasca munculnya pernyataan Kepala BPIP, Yudian Wahyudi. “Musuh terbesar Pancasila itu ya agama, bukan kesukuan.” Kira-kira itulah statemen Yudian. Tak pelak, pernyataan ini disambut reaksi beragama oleh publik dan memancing debat yang berkepanjangan.

Relasi agama dan Pancasila dalam perjalanan sejarah bangsa ini sejatinya sudah selesai. Adanya penolakan yang dilakukan oleh sebagian kelompok hanyalah riak-riak kecil di tengah arus penerimaan anak bangsa terhadap Pancasila.

Semua agama dan organisasi keagamaan sudah sejak dulu menerima Pancasila sebagai dasar negara. NU dan Muhammadiyah bahkan lebih maju mengatakan Pancasila sebagai ijma’ (konsensus nasional) bangsa ini. Sebab, sila-sila Pancasila adalah nilai-nilai substantif yang mempunyai dukungan dari agama.

Penerimaan ini merupakan pembelajaran dari sejarah yang direfleksikan oleh para pendahulu kita. Dulu pas awal-awal sebelum kemerdekaan bangsa ini terjadi debat, apakah dasar negara ini nanti? Bentuk negara seperti apa yang akan dirumuskan?

Dua Golongan

Dalam menjawab pertanyaan itu melahirkan dua kubu ekstrem: kanan, yang menginginkan Islam sebagai dasar negara; dan kiri, yang ingin agar agama tidak dimasukkan dalam bangunan negara. Kedua kubu masih tetap kekeh dengan argumennya masing-masing.

Baca Juga : Pancasila dalam Perspektif Islam Nusantara

Pancasila sebagai dasar negara tidak langsung mendapat persetujuan dari semua pihak, masih ada tarik menarik, bahkan dalam satu riwayat dikatakan, Sukarna sampai menangis untuk segara mengakhiri debat, sebab yang terpenting adalah kemerdekaan dan adanya dasar negara sementara.

Hingga pada akhirnya, 1 Juni 1945, Soekarno mengenalkan istilah Pancasila dan pada 22 Juni 1945 ia disepakati sebagai dasar negara. Kesepakatan itu kita kenal dengan istilah Piagam Jakarta. Salah satu poin penting relasi agama dan negara dalam Piagam Jakarta ialah sila pertama Pancasila. Pengaturan adanya kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi para pemeluknya merupakan suatu kesepakatan para founding fathers pada saat itu. Kesepakatan ini lahir salah satunya karena realitas bahwa Islam merupakan agama mayoritas pada saat itu.

Pada 18 Agustus 1945, sila pertama Pancasila mengalami perubahan dengan penghapusan ‘tujuh kata’. Pancasila ternyata belum selesai. Penghapusan itu dinilai sebagai bentuk toleransi dari perwakilan umat Islam kepada rakyat bagian Indonesia Timur. Sebab, bila kata-kata syari’at tersebut tetap tercantum, ada ancaman dari masyarakat bagian Indonesia Timur yang tidak akan bergabung dengan Indonesia.

Pancasila lagi-lagi belum selesai juga, Sidang Konstituante dengan agenda perumusan konstitusi baru terjadi debat sengit lagi. Tidak ada kata sepakat di antara dua kubu besar, Islam nasionalis dengan nasionalis sekuler. Kelompok pertama tetap mempertahankan kesepakatan Piagam Jakarta. Dan, kelompok kedua tetap kekeh pada Pancasila tanpa tujuh kata.

Debat tak kunjung usai, Sukarno pada 5 Juli 1959 akhirnya mengeluarkan Dekrit Presiden, yang isinya membubarkan Konstituante dan menegaskan kembali kepada UUD 1945. Menariknya, dalam Dekrit tersebut juga menegaskan bahwa Piagam Jakarta menjiwai UUD 1945 dan menjadi suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi.

Dari pengalaman sejarah, secara konseptual relasi agama dan Pancasila sudah selesai. Indonesia bukan negara agama sekaligus bukan negara sekuler. Indonesia adalah –meminjam bahasa Gus Dur –negara bukan-bukan.

Bukan menolak agama, dan juga bukan berdasar agama. Akan tetapi, negara melindungi keberadaan agama dan menjamin bagaimana masyarakat dapat menjalankan ajaran agamanya dengan damai. Yang diambil adalah nilai-substantif dari agama.

Moderasi Pancasila

Pancasila ternyata bisa mendamaikan kedua pihak di atas, ia mendapat penerimaan dari pihak Islam-nasionalis di satu sisi, juga mendapat dukungan dari pihak nasionalis-sekuler. Pancasila terbukti bisa memoderasi dua pihak ekstrem dan berhasil keluar sebagai jalan tengah.

Pancasila sebagai Jalan tengah inilah yang seharusnya digelorakan dan diaktualisasikan dalam kehidupan yang bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Kita jangan lagi terjebak pada debat masa lalu yang nir-faedah.

Posisi agama dalam Pancasila sudah jelas, akomodatif terhadap nilai-nilai substantif-universal yang diterima oleh semua kalangan. Pun, demikian sila-sila Pancasila hampir semuanya temukan dalam semangat agama. Keduanya saling mengisi dan berkait, tak perlu ada sikap saling menegasikan.

Indonesia sebagai negara dengan masyarakatnya yang majemuk dengan Pancasila senagai falsafah bangsa merupakan suatu anugerah tersendiri. Pancasila sebagai jalan tengah sekaligus pedoman hidup berbangsa dan bernegara. Dengan adanya Pancasila sebagai jalan tengah, menegaskan posisi Indonesia sebagai negara yang religius meski bukan sebagai negara agama tertentu.

Adanya Pancasila memungkinkan kita bisa hidup harmoni dan saling bisa memahami dan memberdayakan. Pancasila bisa memayungi dan menjadi titik temu semua golongan, baik itu agama, budaya, maupun aliran politik tertentu.

Jalan tengah yang kita tempuh ini membuat kita jauh dari kata konflik apalagi perang yang berkepanjangan. Kita masih ada yang mengikat; tidak pernah terjadi perang antar agama secara besar-besaran seperti yang terjadi pada negara-negara lain. Dalam perjalanan panjang kemerdekaan bangsa ini, kita cukup terbilang jauh dari hura-hara dan perang saudara yang berpotensi memecah kita. Inilah sepatutnya yang harus disyukuri. Pancasila sebagai konsensus nasional, jalan tengah, dan sebagai titik temu umat beragama harus tetap kita rawat. Upaya untuk mempertentangkan agama dan Pancasila adalah upaya sia-sia.

Facebook Comments