Pada dasarnya, media sosial dibangun menggunakan algoritma yang sama, yaitu merekomendasikan informasi sebanyak-sebanyaknya berdasar kesukaan penggunanya. Kecenderungan ini yang disebut oleh David Dunning dan Justin Kruger dari Universitas Chicago sebagai Efek Dunning-Kruger. Efek ini membuat seseorang cenderung tersesat pada gelembung informasi, dan sulit menerima perbedaan yang terjadi di sekitarnya.
Seseorang yang sudah terjebak pada algoritma media sosial, akan selalu mencari pembenaran dari pernyataannya. Dan hal ini menjadi lebih berbahaya dengan roda perputaran informasi di media sosial yang beredar di kelompok masing-masing. Terjadilah fanatisme pada kelompoknya dan menstimulus praktik-praktik kebencian di kelompok-kelompok lainnya. Banyak pula netizen yang menggunakan akun anonymous dengan persepsi ketiadaan hukum melakukan pertengkaran dan permusuhan tanpa adanya norma.
Kasus menegangkan pernah terjadi pasca Pemilihan Presiden Amerika Serikat pada November 2020 lalu. Kekalahan Donald Trump membawa petaka dengan banyaknya sebaran ujaran kebencian di media sosial. Donald Trump melalui akun Twitternya memprovokasi followernya untuk menyerang Capitol Hill, agar menggagalkan pengukuhan Joe Biden sebagai Presiden Amerika Serikat. Twit yang dilontarkan Donald Trump menyebar secara cepat, dan Capitol Hill diserang oleh pendukung Donald Trump hingga terjadi penangguhan sementara.
Situasi yang semakin memanas membuat pihak Twitter melakukan tindakan tegas, dengan memblokir sementara akun Donald Trump. Hingga pada akhirnya situasi berhasil dikendalikan dan terjadilah pelantikan Joe Biden sebagai Presiden resmi Amerika Serikat. Oleh karena itu, algoritma media sosial harus disikapi secara hati-hati agar tidak membahayakan kedaulatan dan kesatuan suatu negara.
Indonesia sendiri dengan bentuk negara plural tidak menutup kemungkinan terjangkit algoritma berbahaya media sosial. Faktor pendorong tumbuhnya ujaran kebencian adalah banyaknya pemberitaan yang dilebih-lebihkan atau bahkan keluar dari fakta sebenarnya. Sinan Aral seorang ilmuan data dalam bukunya The Hype Machine: How Social Media Disrupt Our Election, Our Economy, and Out Health mengkonfirmasi jika berita bohong akan lebih cepat menyebar daripada berita kebenaran.
Bentuk yang paling sering dipertontonkan dari sebaran berita bohong adalah pemberitaan yang menyeret nama tokoh dengan dunia politik. Unsur-unsur pencemaran nama baik, adalah pemberitaan yang menjual dan mengundang penasaran dari khalayak ramai. Sehingga percakapan di media sosial akan cenderung gemuruh oleh dua kubu yang berseberangan, yaitu kubu yang membela dan kubu yang mencela.
Pilkada DKI Jakarta yang menyeret nama Basuki Tjahaja Purnama adalah kejadian yang tidak bisa dilupakan dari peta sejarah politik di Indonesia. Pada kejadian tersebut, banyak elemen yang terseret didalamnya, baik agama, ras, maupun pandangan politik masing-masing golongan. Antara kelompok yang membela dan mencela berdebat hebat tentang tokoh politik tersebut. Terjadilah aksi demonstrasi besar-besaran dan menjadi tontonan menarik di media. Pada akhirnya, munculah banyak berita bohong yang menjadi akibat dari kejadian tersebut.
Rakyat dipecah belah selama beberapa waktu, dan dikuras energinya untuk fokus pada urusan perpolitikan. Lalu lintas di media sosial semakin laju oleh ujaran kebencian yang saling dilontarkan. Tidak kalah akun-akun anonymous banyak bermunculan sebagai bentuk kekebalan hukum atas praktik provokasi yang dilakukan. Dengan berlindung pada identitas palsu, mereka secara bebas mengucapkan kata-kata yang tidak pantas, bahkan mengobrak abrik identitas orang lain.
Praktik-praktik seperti ini sudah selayaknya diberangus agar tidak terjadi kembali dalam bentuk kasus yang lebih besar. Dunia perpolitikan yang makin memanas tidak boleh ditambahi dengan algoritma media sosial yang buruk. Pun elemen yang lain, juga perlu dikuatkan. Sehingga perpecahan dalam bentuk negara yang plural, tidak terjadi kembali di masa depan.
Oleh karena itu, algoritma media sosial yang semula mengarah pada praktik ujaran kebencian, harus diubah dan diputarbalikkan menjadi algoritma yang mendamaikan. Salah satu langkah yang perlu dilakukan adalah filterisasi berita hoaks yang harus dilakukan secara bertahap. Filterisasi ini akan mencegah pergeseran opini-opini yang mengarah pada unsur perdebatan. Sehingga media sosial dapat menjadi layanan diskusi yang mewadahi suara publik, bukan wahana perdebatan yang hanya mempertahankan ego pribadi.
Tahun 2023, menjadi momentum awal untuk menghilangkan segala bentuk kebencian dan politik identitas di media. Menyambut adanya tahun politik di 2024, media harus dibebaskan dari segala bentuk ujaran kebencian dan segala hal yang memecah belah bangsa. Tahun 2023 adalah gambaran jembatan untuk 2024 kedepannya. Maka 2023 harus dibangun dengan semangat persaudaraan dan persatuan yang tinggi.