Hubbul wathan minal iman (cinta tanah air merupakan bagian dari iman) merupakan prinsip para Pahlawan Nasional. Dengannya, semangat memperjuangkan dan selanjutnya menjaga kemerdekaan negara terus membara di sanubari masing-masing insan beriman. Slogan Isy Kariman aw Mut Syahidan (hidup mulia atau mati syahid) mampu menggerakkan setiap individu untuk tidak gentar menghadapi musuh. Mereka berpedoman bahwa hidup merdeka atau mati syahid dalam memperjuangkan negara sama-sama mulianya.
Tanpa semangat hubbul wathan minal iman, kita mungkin tidak akan mengenal tanggal 10 November sebagai Hari Pahlawan. Tanpa semangat hubbul wathan minal iman, saat ini kita juga mungkin belum bisa menikmati udara segar kemerdekaan. Dengan semangat hubbul wathan minal iman, kita sekarang mengenal para tokoh penjaga kemerdekaan 10 November 1945, mulai dari KH. Hasyim Asy’ari, Bung Tomo, Gubernur Suryo, HR Mohammad Mangoendiprodjo, Mayjen Moestopo, Mayjen Sungkono, dan Abdul Wahab Saleh. Mereka adalah 7 tokoh yang sangat berperan dalam pertempuran 10 November 1945 sesuai dengan peran masing-masing. Berkat perjuangannya, rakyat dan kaum santri memiliki semangat baja dalam menghadang dan memukul mundur kedatangan sekutu.
Semangat cinta tanah air yang berlandaskan agama ini terus dipelihara oleh para tokoh muslim, utamanya tradisionalis. Mereka selalu menjadi garda terdepan dalam menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Bahkan, peristiwa berdarah Gerakan 30 September atau yang sering disebut G30S PKI bisa terselesaikan lantaran semangat kecintaan terhadap tanah air. Tidak sedikit dari para ulama harus mengorbankan nyawa sekaligus meninggalkan anak-anak menjadi yatim serta istri menjadi janda. Semua karena kecintaan terhadap negara.
Pahlawan Nasional tidak membenturkan agama dengan cinta tanah air. Justru cinta tanah air menjadi bukti nyata bahwa seorang hamba mampu beragama dengan baik. Karenanya, semangat pengorbanan untuk kejayaan negara tidak pernah surut lantaran memiliki keyakinan akan mendapatkan ganti yang lebih baik dari Tuhan di dunia, lebih-lebih di akhirat.
Semangat perjuangan atas dasar agama seperti inilah yang saat ini perlu digencarkan kepada seluruh generasi muda. Lebih-lebih bagi mereka yang dalam mempelajari agama secara instan dan tekstualis. Banyak dari kawula muda yang berpendapat bahwa tidak ada hubungan positif antara memperjuangkan negara dengan agama. Justru agama sering menjadi penghambat dalam memperjuangkan negara.
Simaklah tayangan-tayangan media, betapa banyak berita para aktivis agama melakukan aksi merongrong kewibawaan negara. Hujatan dan cacian terhadap pemerintah dan negara terus dilayangkan. Mereka justru menyanjung pemerintah dan negara lain dengan maksud mengkerdilkan negara sendiri. Padahal, tidak semua dari mereka mengetahui sejatinya di negara lain seperti apa. Pijakan mereka jiga tidak selamanya dapat dipertanggungjawabkan. Ada yang karena bahasa, mereka menganggap lebih unggul. Sebagai misal, ada kawula muda muslim yang menganggap bahwa yang berbau Bahasa Arab adalah lebih agamis.
Bagi seorang muslim, mengagungkan Bahasa Arab itu keharusan. Bagaimanapun, firman Tuah yang terdapat di dalam al-Qur’an menggunakan Bahasa Arab. Hadits Nabi Muhammad SAW juga berbahasa Arab. Belum lagi kitab-kitab yang membahas Agama Islam juga mayoritas berbahasa Arab. Dengan begitu, Agama Islam tak dapat dipisahkan dengan Bahasa Arab. Namun demikian, yang perlu dimengerti bersama adalah bahwa tidak selamanya yang berbahasa Arab itu lebih agamis dibandingkan dengan bahasa lain.
“Syaribal khomri” merupakan diksi Arab. Namun demikian, kata ini jika dilakukan tidak lebih baik dari “minum es teh”. Bagi seorang muslim yang haus dan tidak berpuasa, melakukan “minum es teh” bisa dinilai pahala karena ada hukum halal di dalam pelaksanaannya. Sebaliknya, seorang muslim yang haus dan tidak berpuasa, melakukan “syaribal khomri” akan mendapatkan dosa besar. Meskipun mempraktikkan kata-kata Bahasa Arab, namun ternyata ia mempraktikkan larangan agama. “Syaribal khomri” berarti “menenggak minuman keras” yang jelas-jelas diharamkan Agama Islam.
Diksi-diksi Arab yang terkait negara pun tidak semua lebih agamis dan positif dibanding diksi-diksi Bahasa Indonesia atau bahkan bahasa daerah tertentu. Semua harus ditelaah. Meskipun berbahasa Arab, namun jika bertentangan dengan kaidah-kaidah agama, maka praktik semacam ini tidak perlu dilakukan. Sebaliknya, meski berbahasa Indonesia ataupun bahasa daerah, namun jika bersesuain dengan tuntunan agama, maka ini lebih dekat dengan ajaran agama.
Kawula muda mesti semakin giat dalam mempelajari agama. bisa jadi, praktik-praktik sosial dan kenegaraan yang terkesan lokal bisa lebih bernilai agama. Semua tergantung pada ajaran agamanya. Dan Nabi Muhammad SAW pun meneladankan akan rasa cintanya kepada tanah air. Ia sangat cinta kepada Makkah karena menjadi tanah kelahirannya. Ia juga sangat cinta kepada Madinah karena menjadi tempat bermukim dan berdakwah. Para pewaris nabi (baca: ulama) juga meniru nabinya. Resolusi jihad yang dikumandangkan KH Hasyim Asy’ari merupakan hasil kesepakatan para ulama sebagai wujud cinta tanah air. Apakah generasi muda muslim tidak mau melanjutkan estafet perjuangan ini? Dengan prinsip “hubbul wathan minal iman”, mari kita gelorakan perjuangan sesuai dengan situasi dan kondisi saat ini.
Wallahu a’lam.