Salafi Bukan Aswaja: Memahami Konstelasi Politik Keagamaan di Indonesia

Salafi Bukan Aswaja: Memahami Konstelasi Politik Keagamaan di Indonesia

- in Narasi
0
0
Salafi Bukan Aswaja: Memahami Konstelasi Politik Keagamaan di Indonesia

Dalam dinamika keagamaan di Indonesia, wacana mengenai identitas keislaman selalu menjadi topik hangat, terutama dalam membahas posisi kelompok Salafi yang kerap mengklaim dirinya sebagai bagian dari Ahlus Sunnah wal Jamaah (Aswaja). Klaim ini memunculkan perdebatan serius di kalangan umat Islam, terutama di tengah mayoritas Muslim Indonesia yang secara tradisional menganut paham Aswaja dalam kerangka mazhab Sunni, baik Syafi’i, Maliki, Hanafi, maupun Hanbali. Klaim Salafi sebagai bagian dari Aswaja sering dianggap menyesatkan oleh kalangan Aswaja tradisional, karena ada perbedaan mendasar dalam aspek teologis, fikih, dan metode keagamaan antara kedua kelompok tersebut.

Secara historis, istilah Ahlus Sunnah wal Jamaah merujuk pada kelompok Muslim yang berpegang pada ajaran Rasulullah SAW dan para sahabat, serta mengikuti tradisi keagamaan yang dikembangkan oleh para ulama salaf (generasi pertama hingga ketiga umat Islam). Dalam konteks ini, Aswaja memiliki karakteristik yang sangat inklusif, karena ia tidak hanya merujuk pada aspek teologis, tetapi juga pada tradisi keilmuan dan pengamalan Islam yang berkembang melalui konsensus ulama. Di Indonesia, Aswaja terinstitusionalisasi melalui organisasi besar seperti Nahdlatul Ulama (NU), yang menekankan moderasi, penghormatan terhadap tradisi lokal, dan pendekatan tasawuf. Sebaliknya, Salafi muncul sebagai gerakan reformis yang memiliki orientasi puritan dan literal dalam memahami dan mengamalkan ajaran Islam.

Kelompok ini biasanya mengklaim diri mereka sebagai Aswaja karena mereka juga mengklaim kembali kepada ajaran generasi salaf, tetapi pendekatan dan interpretasi mereka sangat berbeda dengan tradisi Aswaja yang dianut mayoritas Muslim Indonesia.

Perbedaan mendasar antara Salafi dan Aswaja dapat dilihat dari tiga aspek utama: akidah, fikih, dan pendekatan terhadap tradisi keagamaan. Dalam akidah, Aswaja tradisional umumnya merujuk pada dua mazhab teologi besar, yaitu Asy’ariyah dan Maturidiyah, yang mengedepankan pendekatan rasional dalam memahami Allah dan sifat-sifat-Nya. Sebaliknya, kelompok Salafi mengadopsi pendekatan teologis yang lebih dekat dengan pemahaman Ibnu Taimiyah, yang mengutamakan penafsiran literal terhadap teks Al-Qur’an dan Hadis. Hal ini terlihat dalam pemahaman mereka tentang sifat-sifat Allah, di mana Salafi sering menolak ta’wil atau interpretasi simbolis yang menjadi ciri khas Aswaja. Misalnya, dalam memahami ayat-ayat yang menyebut “tangan Allah” atau “wajah Allah,” Aswaja memahami istilah ini secara metaforis, sementara Salafi cenderung memahaminya secara literal tanpa penafsiran.

Dalam bidang fikih, Aswaja mengikuti salah satu dari empat mazhab fikih besar (Syafi’i, Maliki, Hanafi, dan Hanbali) yang memiliki metodologi terstruktur dan diwariskan secara turun-temurun. Di Indonesia, mayoritas Muslim menganut mazhab Syafi’i, yang sejalan dengan tradisi Aswaja. Sebaliknya, kelompok Salafi cenderung menolak taklid kepada mazhab tertentu dan lebih memilih untuk langsung merujuk kepada Al-Qur’an dan Hadis, dengan dalih kembali kepada ajaran murni Islam. Pendekatan ini sering kali menghasilkan fatwa-fatwa yang dianggap tidak sesuai dengan konteks lokal dan tradisi umat Islam di berbagai wilayah, termasuk Indonesia. Misalnya, Salafi menolak amalan seperti tahlil, ziarah kubur, atau maulid Nabi yang menjadi bagian integral dari tradisi Aswaja di Nusantara selama ini.

Merebut Simpati di Kalangan Muslim Indonesia

Lalu, mengapa kelompok Salafi mengklaim diri mereka sebagai Aswaja? Jawabannya terletak pada strategi legitimasi dan upaya mereka untuk mendapatkan pengaruh di kalangan umat Islam Indonesia. Di Indonesia, label Aswaja memiliki daya tarik yang besar karena ia identik dengan mayoritas Muslim. Dengan mengasosiasikan dirinya sebagai Aswaja, Salafi berusaha memperluas basis pendukungnya dan memperkuat posisinya dalam konstelasi politik keagamaan. Strategi ini terlihat dalam berbagai upaya kelompok Salafi untuk mendekati institusi-institusi keagamaan dan memanfaatkan media dakwah untuk mempromosikan paham mereka. Namun, pendekatan ini sering kali menimbulkan resistensi dari kalangan Aswaja tradisional, yang melihat klaim Salafi sebagai bentuk penyusupan ideologis mereka.

Dengan mengklaim sebagai bagian dari Aswaja, Salafi berusaha menunjukkan bahwa mereka adalah representasi Islam yang autentik dan sesuai dengan ajaran Rasulullah SAW. Klaim ini juga digunakan untuk menutupi kesan eksklusivitas yang sering kali melekat pada kelompok Salafi. Namun, klaim ini problematis karena Salafi cenderung mengabaikan elemen-elemen penting yang menjadi ciri khas Aswaja, seperti penghormatan terhadap mazhab, moderasi, dan akomodasi terhadap tradisi dan budaya lokal. Oleh karena itu, klaim Salafi sebagai bagian dari Aswaja tidak dapat diterima secara historis maupun doktrinal.

Facebook Comments