Menjaga Nilai Moral Ahlussunnah Wal Jamaah dalam Ibadah dan Kehidupan Sosial

Menjaga Nilai Moral Ahlussunnah Wal Jamaah dalam Ibadah dan Kehidupan Sosial

- in Narasi
22
0
Menjaga Nilai Moral Ahlussunnah Wal Jamaah dalam Ibadah dan Kehidupan Sosial

Ahlussunnah wal jamaah bukankan sebuah entitas suatu kelompok semata. Aswaja, banyak orang mengenalnya–, merupakan nilai moral Nabi Muhammad yang patut dicontoh umatnya untuk mencapai derajat nikmatnya Iman dan Islam. Saling klaim menjadi seorang yang paling soleh, paling ‘nyunah’ adalah bentuk keangkuhan yang bisa mendegradasi nilai keislaman itu sendiri.

Pada dasarnya, ibadah dalam Islam tidak hanya terbatas pada ritual-ritual seperti shalat, zakat, dan puasa, tetapi juga mencakup perilaku sehari-hari yang mencerminkan akhlak Nabi Muhammad SAW. Aspek penting dalam aqidah Aswaja adalah menekankan pentingnya hubungan vertikal antara Allah dan hambanya, juga hubungan sosial antar sesama melalui perangai Nabi Muhammad SAW. Dalam Ahlussunnah wal Jamaah, kita diajarkan untuk fokus pada nilai moral, kualitas ibadah dan akhlak.

Namun, dalam praktiknya, ada individu yang merasa paling sholeh, paling taat, dan si paling sunah, hingga mengklaim dirinya atau kelompoknya yang paling benar. Membid’ahkan Isra Miraj, Tahlilan dan Maulid contohnya. Menganggap ritual tersebut adalah sesat yang berujung pada azab neraka. Parahnya, fenomena ini juga sering kali dipadukan dengan pemikiran takfiri, yaitu menuduh sesama Muslim sebagai kafir hanya karena perbedaan pemahaman atau praktik ibadah. Tentunya hal ini sangat berbahaya, karena bisa menjadi bibit ekstremisme yang bisa mengarah pada aksi terorisme.

Mengklaim satu cara beribadah sebagai yang paling sunah tanpa mempertimbangkan latar belakang sosial, budaya, dan pendidikan seseorang, menunjukkan keangkuhan dan ketidakdewasaan seseorang. Padahal, Islam adalah agama yang universal dan mengajarkan fleksibilitas dalam menjalankan ibadah sesuai dengan konteks dan keadaan masing-masing individu.

Belajarlah dari sejarah bangsa, bagaimana Islam yang lekat dengan budaya Timur, dapat diterima dan masuk ke dalam budaya Nusantara. Menilik perjuangan Walisongo misalnya. Bagaimana mereka bisa menyebarkan agama Islam dengan mengkolaborasikan kearifan lokal untuk mendapatkan daya tarik maksimal. Hasilnya, kita bisa melihat apa yang dilakukan Walisongo, menunjukkan keberhasilan dalam dakwah di Nusantara.

Sunan Gunung Djati, contohnya. Sosok yang memiliki nama asli Syarif Hidayatullah ini memadukan nilai nilai keislaman dalam lakon wayang, di mana kala itu masyarakat Indonesia dekat dengan pengaruh animisme dan agama Hindu. Namun dengan perjuangan, dedikasi dan strateginya, ia bisa mendapatkan hati masyarakat untuk memeluk agama Islam.

Oleh karena itu, penting untuk meneguhkan kembali nilai moral ahlussunnah wal jamaah dalam praktik sosial, saling menghormati dan menyebarkan kebaikan antar sesama manusia. Bukan hanya jargon semata, merasa paling soleh dan paling nyunah. Islam adalah agama yang mengajarkan kita untuk hidup bersama dalam kedamaian, menghargai perbedaan, dan memupuk rasa solidaritas antar sesama umat, sehingga perbedaan pendapat dalam ibadah atau fiqh tidak perlu menjadi pemicu perpecahan.

Ahlussunnah wal jamaah sejatinya mengajarkan bahwa sunah bukanlah tentang siapa yang paling benar dalam melaksanakannya, tetapi tentang ikhtiar bersama untuk mencontoh perilaku Nabi SAW dalam kehidupan sehari-hari, sesuai dengan kemampuan dan konteks yang ada. Yang perlu disadari adalah proses dan tingkatan seseorang dalam pencarian jati diri atau pembelajaran Islam itu berbeda beda. Upaya Inilah yang harus diapresiasi, bukan malah diprovokasi apalagi dihakimi.

Facebook Comments