Sang Juara Di Kerajaan Sederhana

Sang Juara Di Kerajaan Sederhana

- in Narasi
3509
0

Pak Hazin berjalan di depan, bersama Farhatin yang menjadi penunjuk jalan, disusul Pak Naufan beserta keempat belas anak yang lain. Mereka tiba di rumah Titin menjelang Maghrib.

Karena tidak tahu akan kedatangan tamu, ibu Farhatin menyambut mereka dalam keadaan kaget tak percaya. Ia ingin tersenyum, tapi ada suasana batin lain yang membuat senyum itu tertahan. Pak Hazin mengalihkan pandangan. Semua anak menunduk. Sontak, pemandangan yang ada di hadapan mereka membuat tenggorokan menjadi kering mendadak.

Apa yang mereka lihat?

Rumah tak berlepa, tanpa beranda. Lantainya tanah, pun tidak rata. Dindingnya lapuk. Kusen tanpa daun jendela. Semua tamu dipersilakan masuk ke “beranda” dalam. Ya, beranda yang menjadi satu dengan kamar dan dapur. Perkakas-perkakas tampak berserakan. Si ibu menghilang. Farhatin terdiam.

Tak ada percakapan kala itu. Semua tercekat. Mereka baru sadar, mereka datang pada saat yang tidak tepat.

Si ibu yang tadi sempat menghilang sejenak kini datang tergopoh-gopoh membawa tikar yang ia pinjam dari tetangga sebelah. Jangankan meja-kursi, tikar pinjaman yang ia bawa itu pun tak cukup untuk mempersilakan duduk para tamu yang mengantar sang juara, putrinya ini.

Mengetahui keadaan ini, Pak Hazin lantas memberi instruksi pelan kepada murid-muridnya yang lain, “Nak, kalian sebagian duduk, secukupnya saja tapi. Yang lain biarlah berdiri.”

Kemudian ia berkata pada si ibu, “Bu, tidak perlu repot. Kami hanya ingin mengabarkan bahwa putri Ibu meraih juara ke-1 Matematika dalam olimpiade yang diselenggarakan oleh Kankemenag di Sumenep. Anak-anak yang lain ini juga ikut serta, tapi mereka berada di peringkat belasan. Hanya Titin yang juara pertama.

Iya, Pak. Terima kasih,” jawab si ibu dalam bahasa Madura. “Minta maaf ya, Pak. Bapaknya Titin tidak bisa menyambut Bapak karena dia baru saja berangkat 3 hari lalu ke Kalimantan untuk mencari nafkah.

Oh, tidak apa-apa, Bu. Ini sudah cukup. Kami juga minta sambung doa karena Titin akan menjadi perwakilan Sumenep untuk penyisihan di tingkat provinsi, di Surabaya.

Mestinya, si Ibu akan girang alang-kepalang mendengar berita ini. Namun, barangkali perasaan sedih melihat tamu yang berdiri (karena memang tidak ada tempat untuk duduk), tanpa jamuan, tanpa minuman, lebih kuat menguasai perasaannya. Titin dan ibu sama-sama diam.

Ini Bu, untuk Ibu,” kata Pak Hazin seraya menyerahkan amplop berisi uang pembinaan, hadiah yang diperoleh Titin sebagai juara pertama Matematika pada Olimpiade Matematika, Sains, dan Agama. Titin memperoleh hadiah uang tunai sebesar Rp.150.000.

Adzan Maghrib telah berkumandang. Teja merah di ufuk barat mewarnai suasana batin semua orang yang ada di sana. Terlebih si Ibu yang sedari tadi menangis terharu tak bisa bicara apa-apa. Pak Hazin kini mulai mengerti makna tangisan Titin di mobil tadi.

Setelah dirasa cukup, Farhatin pun berpamitan dan kembali ke pondok bersama teman-temannya. Juara matematika itu berjalan tertunduk, sambil berusaha mereka-reka: jika ‘perasaan bahagia sebagai juara’ dikalikan dengan ’perasaan sedih karena ia bersama ibunya tak bisa menyambut guru dan teman-temannya’, berapakah jumlahnya? Itulah pertanyaan matematis yang tidak ia jumpai dalam olimpiade siang tadi.

Facebook Comments