Santri Menatap Panggung Global

Santri Menatap Panggung Global

- in Narasi
2
0

Santri sering dipersepsikan secara simplistik hanya sebagai penjaga tradisi, tekun mengaji di pesantren, dan hidup dalam lingkup lokal yang terisolasi. Namun, narasi ini adalah sebuah reduksi historis yang gagal menangkap kedalaman dan dinamika sosial kontemporer santri. Santri adalah entitas dinamis yang berhasil memadukan spiritualitas, nasionalisme, dan potensi global.

Sejarah mencatat bahwa melalui Resolusi Jihad 1945, mereka menegaskan bahwa cinta tanah air (hubbul wathon) bukanlah sekadar sentimen romantis, melainkan implementasi otentik dari iman. Kesadaran ini menancapkan pijakan fundamental: menjaga Indonesia merdeka adalah amanah spiritual, dan mewarnai peradaban dunia adalah tujuan progresif yang tak terhindarkan.

Dalam perspektif sosiologi agama, khususnya melalui lensa Tipe Ideal Max Weber, santri dapat dihadirkan sebagai model unik dari harmoni antara agama dan negara. Berbeda dengan model konflik atau sekularisasi ekstrem yang mendominasi banyak wilayah dunia, Islam yang dihidupi santri ini berdiri sebagai model toleransi dan inklusivitas yang secara sadar tidak menafikan identitas nasional. Santri, berkat akar keilmuan pesantren yang kental, tidak pernah melihat negara-bangsa (nation-state) sebagai ancaman terhadap teologi, melainkan sebagai ruang etis (ethical space) untuk menegakkan kemaslahatan (kebaikan publik).

Identitas yang kokoh ini lahir dari tradisi keilmuan pesantren yang tidak hanya mengajarkan fikih normatif, tetapi juga membentuk kesadaran sosial dan kebangsaan melalui kajian kitab kuning yang kontekstual. Namun dalam konteks kontemporer, santri telah bertransformasi menjadi agen modernitas yang menghargai rasionalitas instrumental tanpa kehilangan dimensi sakralnya.

Mereka menolak dikotomi Barat antara iman dan nalar, menyajikan integral epistemologi: pengetahuan yang bersandar pada akhlak, spiritualitas, dan nalar kritis. Tradisi tawassuth (moderat), tasamuh (toleran), dan tawadhu’ (rendah hati) bukan sekadar jargon etis, tetapi etika peradaban yang dapat menjadi kontribusi substansial bagi dunia. Saat dunia modern tenggelam dalam krisis makna akibat materialisme ekstrem dan kegaduhan identitas, pesantren menawarkan perspektif yang mencerahkan jadi santri memiliki peluang emas menjadi duta peradaban yang menawarkan Islam yang damai, adaptif, dan bersahabat dengan modernitas, sebuah antitesis terhadap narasi Islamofobia.

Secara teologis, gerak santri menuju panggung global memiliki fondasi kokoh dalam Maqashid Syariah (Tujuan Pokok Hukum Islam). Lima tujuan pokok syariat tidak berhenti pada konteks lokalistik. Mereka harus diterjemahkan dalam isu-isu global krusial seperti keadilan ekonomi, perdamaian dunia, dan tanggung jawab ekologis.

Inilah makna sejati dari rahmatan lil ‘alamin: menghadirkan manfaat universal bagi seluruh alam, bukan sekadar menegakkan simbol formal agama. Dengan kerangka Maqashid ini, santri mampu membantah klaim ideolog transnasional yang membatasi hukum ilahi hanya pada aspek formalistik dan hukuman fisik, sekaligus menunjukkan bahwa esensi Islam adalah keadilan substantif.

Namun, panggung global bukanlah ruang kosong yang naif. Ia adalah arena kontestasi ideologis yang menuntut kesiapan intelektual dan identitas yang kokoh. Santri menghadapi tantangan modernitas refleksif sebagaimana dikemukakan oleh Anthony Giddens, di mana tradisi tidak lagi diterima secara pasif, tetapi harus diuji dan direvisi melalui dialog dengan ilmu pengetahuan, teknologi, dan rasionalitas global. Santri dituntut untuk mampu menjaga akar tradisinya, seperti tradisi sanad (rantai keilmuan) dan bahtsul masail (diskusi masalah) juga perlu cerdas menavigasi dunia digital, bahasa internasional, dan jejaring global. Jika gagal, mereka berisiko tinggi menjadi penonton peradaban.

Tantangan paling serius datang dari ideologi radikal transnasional yang memosisikan diri sebagai representasi tunggal Islam. Ideologi ini secara fundamental menolak negara-bangsa, mempromosikan puritanisme yang kaku, dan cenderung menyasar generasi muda yang haus identitas otentik.

Santri wajib hadir sebagai penutur narasi tandingan: bahwa universalisme Islam justru lahir dari kesediaan menghargai partikularitas budaya dan kebangsaan. Dengan narasi ini, santri dapat menunjukkan bahwa menjadi universal tidak berarti menolak lokalitas; sebaliknya, ia berarti memancarkan nilai universal dari akar identitas lokal yang kuat.

Di era digital ini, peluang untuk tampil di panggung global terbuka lebih luas melalui media sosial, karya intelektual, konferensi internasional, dan kolaborasi lintas bangsa. Namun, kesempatan ini hanya bisa diraih jika santri siap memperluas kompetensi: menguasai teknologi, bahasa global, dan keterampilan komunikasi yang relevan dengan tuntutan zaman.

Pada akhirnya, keberhasilan santri tidak diukur dari seberapa keras mereka menolak dunia luar, tetapi dari seberapa dalam mereka menggali hikmah tradisi dan seberapa luas mereka menebar rahmat ke dunia. Santri bukan hanya penjaga masa lalu, tetapi perumus masa depan.

Misi mereka bukan hanya membela Indonesia, tetapi mendefinisikan Islam Indonesia untuk dunia. Jika ini diwujudkan, maka narasi global tentang Islam tidak akan lagi didominasi oleh kekerasan dan formalisme, melainkan dipenuhi oleh kasih sayang, kebangsaan, dan kemanusiaan, nilai-nilai yang telah lama hidup dalam jiwa santri.

Facebook Comments