Sebuah Panduan Membaca Tanda-tanda Propaganda ISIS di Asia Tenggara

Sebuah Panduan Membaca Tanda-tanda Propaganda ISIS di Asia Tenggara

- in Narasi
74
0
Sebuah Panduan Membaca Tanda-tanda Propaganda ISIS di Asia Tenggara

Sebelum 2017, propaganda ISIS di berbagai penjuru belahan dunia laksana badai gulita yang bikin orang mengelus dada, tak terkecuali Asia Tenggara. Dengan menggunakan video dan pesan dalam bahasa lokal seperti Indonesia dan Tagalog, mereka membangun jembatan digital yang menyentuh hati dan pikiran para pendukungnya di beberapa negara kawasan.

Namun,di era penuh akslerasi sekarang ini semuanya segera berubah, terutama pasca Krisis Marawi. Propaganda yang dahulu begitu terkoordinasi kini tampaknya menghadapi tantangan baru di Asia Tenggara.

Sebelum Krisis Marawi, ISIS bisa dibilang menggunakan pendekatan yang sangat terstruktur dan efektif dalam menyebarkan propagandanya di Asia Tenggara. Mereka tidak hanya menerjemahkan orderan propaganda ke dalam bahasa lokal, tetapi juga menyusun konten yang mampu menggugah emosi dan semangat para simpatisan.

Salah satu contohnya adalah video yang dirilis pada tahun 2014, ketika seorang bernama Abu Muhammad menggunakan Bahasa Indonesia untuk mengajak rekan-rekannya bergabung dalam perjuangan di Suriah. Ini bukan hanya sekedar propaganda, tetapi sebentuk strategi untuk menciptakan ikatan emosional yang kuat dengan audiens lokal.

Pada tahun 2015, ISIS merilis video berdurasi 15 menit dalam Bahasa Indonesia dengan subtitle Arab, menampilkan aktivitas para pejuang muda di Suriah. Mereka juga merilis video pada tahun 2016 dalam berbagai bahasa, termasuk Bahasa Indonesia, yang menyerukan dukungan bagi pejuang di Filipina bagi mereka yang tidak dapat pergi ke Suriah. Semua ini menunjukkan betapa kuat dan terkoordinasinya strategi propaganda ISIS di Asia Tenggara sebelum terjadinya Krisis Marawi.

Namun, setelah Krisis Marawi, ISIS tampaknya mengalami penurunan dalam hal kualitas dan kuantitas konten yang mereka produksi. Video-video terbaru dari mereka, yang dirilis pada tahun 2022, menunjukkan penurunan signifikan dalam teknik dan kualitas produksi. Jika sebelumnya mereka mengandalkan efek sinematik dan produksi yang canggih, kini video-video tersebut tampak lebih sederhana dan kurang profesional.

Perubahan ini mungkin mencerminkan tantangan yang dihadapi ISIS dalam mempertahankan dominasi propagandanya di Asia Tenggara. Ada indikasi bahwa mereka mengalami kekurangan sumber daya atau kehilangan fokus di wilayah ini.

Selain itu, distribusi konten juga menunjukkan tanda-tanda desentralisasi. Beberapa konten Majalah Al-Naba yang dianggap berafiliasi dengan ISIS pusat, misalnya, tampaknya muncul dari jaringan grup yang tidak resmi.

Praktis, konten propaganda yang sebelumnya diproduksi secara terkoordinasi, kini tampak disebarkan oleh jaringan-jaringan yang lebih kecil dan tidak resmi di luar komando ISIS pusat. Dan, justru, ini bisa lebih membahayakan keselamatan publik karena peredarannya cenderung sporadis.

Walaupun begitu, perubahan dalam propaganda ISIS di Asia Tenggara, terutama setelah Krisis Marawi, sebetulnya disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, operasi militer dan keamanan yang ditingkatkan di kawasan Asia Tenggara mungkin telah menekan jaringan ISIS, baik secara langsung maupun melalui pemutusan jalur pendanaan dan komunikasi mereka.

Pemerintah di Asia Tenggara sendiri tampaknya telah meningkatkan kerjasama regional dalam menangani ancaman terorisme, yang kemungkinan besar telah menghambat kemampuan ISIS untuk mengorganisir dan menyebarkan propagandanya.

Kedua, hilangnya kepemimpinan yang kuat di tingkat lokal setelah kematian beberapa pemimpin ISIS di Asia Tenggara juga bisa menjadi faktor menentukan. Tanpa pemimpin yang mampu memobilisasi dan mengarahkan jaringan mereka, ISIS mengalami kepayahan dalam mempertahankan momentum propagandanya.

Ketiga, semakin canggihnya teknologi pengawasan dan pelacakan di dunia digital juga berperan dalam melemahkan kemampuan ISIS untuk menyebarkan pesan mereka. Dengan semakin banyaknya platform media sosial yang menerapkan kebijakan ketat terhadap konten ekstremis, ruang gerak ISIS untuk menyebarkan propagandanya menjadi semakin terbatas.

Sebuah Antisipasi

Meskipun ISIS mungkin mengalami penurunan dalam hal produksi dan penyebaran propaganda, ancaman yang mereka bawa belum sepenuhnya hilang. Propaganda digital tetap menjadi alat yang kuat bagi kelompok-kelompok teroris untuk merekrut anggota baru dan menginspirasi tindakan kekerasan.

Lebih dari itu, propaganda ISIS di Asia Tenggara rupanya bukan hanya memanfaatkan celah keamanan digital, tetapi juga mengeksploitasi dinamika budaya dan media yang ada di wilayah tersebut.

Ingat, ISIS sekarang bukan hanya beroperasi di ruang-ruang media digital, tetapi juga telah merangsek ke dalam semesta kecerdasan buatan (AI). Beberapa laporan menyebut propaganda ISIS bahkan telah menggunakan kartun animasi dengan bantuan AI.

ISIS, dengan demikian, berhasil meramu pesan-pesan mereka dengan memahami dan memanfaatkan kecanggihan teknologi, keragaman etnis, agama, serta bahasa, dan menyajikannya melalui media yang mudah diakses oleh khalayak di berbagai penjuru kota.

Untuk mengantisipasi ancaman destruktif yang ditimbulkannya di masa depan, penting bagi masyarakat dan pemerintah untuk memahami bagaimana media digital digunakan untuk menyebarkan ideologi radikal.

Upaya melawan propaganda harus menyasar pada pembangunan literasi media yang kuat, yang memungkinkan masyarakat untuk mengenali dan menolak konten ekstremis. Selain itu, narasi lokal yang kuat dan positif harus dikembangkan sebagai kontra-propaganda, memanfaatkan platform yang sama untuk menyebarkan pesan-pesan yang mendukung keberagaman, toleransi, dan perdamaian. Penting juga untuk mengembangkan narasi alternatif yang positif dan inklusif untuk melawan pesan-pesan kebencian yang disebarkan oleh ISIS.

Ragam pendekatan itu bukan hanya akan meredam pengaruh propaganda ISIS tetapi juga memperkuat identitas budaya dan kohesi sosial di wilayah Asia Tenggara dan berbagai belahan dunia lainnya.

Facebook Comments