Saya sepenuhnya meyakini secara spiritual, bahwa orang yang shalat-nya baik, niscaya akan merefleksikan kesadaran-kesadaran etis untuk tetap berada dalam kebaikan. Dirinya akan merasa “alergi” untuk berbuat kerusakan. Termasuk enggan untuk menyebarkan hoax. Menolak kekerasan yang mengatasnamakan agama. Karena shalatmu akan membuatmu merasa “alergi” hoax dan radikalisme.
Research statement di atas, sejatinya bukan hanya sekadar asumsi belaka. Tetapi di mantapkan oleh salah satu potongan ayat dalam Al-Qur’an (surat Al-Ankabut:45) yang meniscayakan “bias” internalisasi ibadah shalat yang akan memengaruhi sikap, pola-pikir dan kepribadian seseorang. Misalnya dalam kata “Wa Akimusshalah” Maka tegakkanlah shalat. Karena shalat secara fungsional, Inna shalata tanha anil fahsya’I wal mungkari”. Bahwa dengan melaksanakan shalat, kita akan dijauhi dari perbuatan keji dan kemungkaran di muka bumi ini.
Maka, seseorang yang melaksanakan shalat dengan baik, niscaya akan membuat dirinya enggan untuk berbuat kerusakan. Taraf kebaikan shalat, sebetulnya dilandasi oleh taraf pengukuran diri secara batiniah. Misalnya. semakin seseorang menyelami hakikat shalat dengan kekhusyukan diri, keikhlasan diri dan ketulusan hati menghadap-Nya. Niscaya akan melahirkan semacam “penglihatan suci” bahwa We see god or god sees us. Seolah kita seperti selalu melihat Tuhan atau Tuhan seperti selalu melihat kita.
Hikayat Pentingnya Shalat dalam Peristiwa Isra’ Mi’raj
Tentu hikayat pentingnya shalat ini sebetulnya memang tidak terlepas dari akar sejarah dari perjalanan spiritualitas Nabi Muhammad SAW dalam proses Isra’-Mi’raj, yang sejatinya mengemban satu perintah penting dari Allah SWT. Berupa kewajiban melaksanakan shalat. Karena shalat dijadikan jembatan penghubung antara hamba dan kebesaran-Nya. Sehingga, ketika seseorang mencapai taraf yang semacam ini, niscaya akan memancarkan semacam “cahaya ilahiah” tersebut. Di mana seseorang akan senantiasa berada dalam kebaikan dan terhindar dari keburukan.
Sebagaimana yang diterangkan dalam Sirah Nabawiyah, Durus wa Ibrar, Jilid 1 hal: 54-57. Bahwa misi beliau adalah menerima perintah (shalat wajib) sebagai jalan spiritualitas manusia (shalat) agar tetap berada dalam jalan-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya. Termasuk menjauhi tindakan yang melanggar kemanusiaan di muka bumi.
Di sinilah jembatan spiritualitas kemanusiaan dikokohkan. Melalui poros jembatan (Keshalihan spiritual menuju keshalihan sosial). Melalui proses Religious Experience dalam bentuk ibadah shalat 5 waktu dan shalat sunnah lainnya. Sebagai paradigma etis “penyucian diri” umat manusia secara (ruh dan jasad). Karena secara reflektif, bisa menjauhi umat manusia dari beragam keburukan. Layaknya ujaran kebencian, sikap yang egois, hasrat diri dan permusuhan.
Maka, secara fungsional keteladanan dalam peristiwa Isra’-Mi’raj yang harus kita amini dan imani. Setiap peristiwa di dalamnya membentuk semacam penyucian diri dan membangun kesadaran spiritualitas melalui perintah ibadah shalat tersebur. Lelaku ibadah wajib semacam ini akan menjadi (keshalihan) kita. Akan menghadirkan semacam “super-ego” yang meniscayakan diri untuk menolak keburukan dan meniscayakan selalu perbuatan yang baik dan membawa maslahat bagi kemanusiaan.
Menyucikan diri Secara spiritual Melalui Shalat
Pengalaman spiritualitas dalam hal ibadah shalat ini sebetulnya mutlak sebagai (penyucian diri) kita secara batiniah. Jika secara batiniah kita tersucikan, niscaya akan memancarkan cahaya ketuhanan yang akan memengaruhi segala aspek perilaku, tindakan dan ucapan kita. Seolah “penglihatan suci” tersebut kita gunakan sebagai cerminan diri. Bahwa ketika kita mau melakukan keburukan, seolah Tuhan mengetahui perbuatan tersebut. Akhirnya kira merasa malu, enggan dan alergi berbuat keburukan.
Maka, Mi’raj yang dapat kita lakukan saat ini bisa dengan senantiasa istiqamah melaksanakan ibadah shalat. Dengan upaya-upaya kesadaran spiritualitas untuk membangun semacam (jembatan) secara ruh dan jasad dalam kesehariannya untuk beribadah menghadap Allah SWT dan senantiasa selalu menghadirkan-Nya dalam pikiran, tindakan, sikap dan semua yang terbetik dalam hati kita.
Agar, kita bisa berada pada wilayah “Hubbun” yaitu kecintaan diri kepada Allah SWT dan senantiasa menggerakkan jasad dan ruh kita untuk selalu berada dalam kehadiran-Nya dan memancarkan kebaikan dalam kehidupan sosialnya.
Karena, orang yang berada pada taraf spiritualitas semacam ini, sangatlah sulit untuk menggerakkan dirinya untuk bisa berbuat kemungkaran. Mencaci orang lain, menyebarkan hoax dan menyebarkan sesuatu yang bisa merusak dan ber-musuh-musuhan satu sama lain. Karena orang yang sehat secara spiritual, niscaya tidak akan meluapkan dirinya ke dalam keburukan. Tetapi selalu digerakkan ke dalam hal-hal yang kebaikan dan tidak merusak.
Karena siapa-pun yang sehat secara ruhani, mapan secara ibadah-amaliah dan konsisten mendekatkan diri kepada-Nya. Niscaya tidak ada sedikit-pun pikiran, niatan dan tindakan yang berdampak kepada kemungkaran secara sosial-kemanusiaan. Tentu orang yang sehat secara spiritual, akan membawa maslahat secara sosial. Karena akan merasa “malu” kepada Allah SWT untuk berbuat kemungkaran layaknya kebencian, hoax dan paham kejahatan yang merusak seperti radikalisme.