Sisi Kelam Politik Khilafah dalam Sejarah Peradaban Islam

Sisi Kelam Politik Khilafah dalam Sejarah Peradaban Islam

- in Narasi
38
0
Betulkah Gerakan Khilafah sebagai Gerakan Perubahan Tanpa Kekerasan?

Tak dapat dipungkiri, sistem politik bernama khilafah meninggalkan rekam jejak yang menodai sendi-sendi kemanusiaan. Pun, menjadi fakta yang tak terbantahkan pula sistem pemerintahan khilafah pernah menorehkan kegemilangan mengantarkan umat Islam pada masa keemasan.

Sisi baik dan buruk harus sama-sama diketengahkan supaya kita fair dalam menilai sistem pemerintahan tersebut. Tentu ini penting sebagai kejujuran bersejarah agar tidak terjebak pada romantisme masa lalu secara berlebihan.

Kita tentu mengenal Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang disebut-sebut sebagai Khalifah Umar bin Khattab jilid kedua karena keadilannya, Khalifah al Muhtadi yang dijuluki Umar bin Abdul Aziz-nya Dinasti Abbasiyah, dan beberapa khalifah lain yang berhasil memimpin secara baik.

Namun, kita juga mengenal beberapa khalifah yang justru memiliki sifat kepemimpinan sebaliknya, buruk dan penuh intrik kekuasaan. Tercatat dalam sejarah peradaban Islam nama-nama khalifah di masa kepemimpinannya menimbulkan tragedi-tragedi kemanusiaan. Di antaranya adalah berikut ini.

Khalifah al Muqtadir Billah : Tragedi Pemberontakan Hingga Penyerangan Kota Makkah

Ja’far, yang kemudian bergelar Khalifah al Muqtadir Billah, adalah khalifah ke 18 Dinasti Abbasiyah. Diangkat sebagai khalifah pada usia 13 tahun menggantikan Khalifah al Muktafi. Pengangkatan ia sebagai khalifah karena akibat konspirasi politik Abbas bin Hasan al Jarjara’i, yang berniat mengontrol kekuasaan dan al Muqtadir tak lebih hanya sebagai boneka.

Dalam catatan Imam Suyuthi, al Muqtadir adalah seorang yang memiliki akal dan penalaran yang baik, akan tetapi ia sering mengumbar syahwat, suka mabuk-mabukan dan boros. Para perempuan banyak mempengaruhi dia, sehingga aset-aset istana seperti permata banyak dihabiskan diberikan kepada perempuan-perempuan tersebut.

Lebih miris lagi apa yang dicatat oleh Imam Thabrani, bahwa tentara-tentara meminta bayaran sebagai upah untuk pengakuan (baiat) kepada al Muqtadir. Sehingga ada beberapa pejabat dan pembesar istana melakukan gerakan untuk memberontak dan menggulingkan kekuasaannya. Diantaranya adalah Daud al Jarrah dan Abu Mutsanna bin Abi Ya’kub.

Pertumpahan darah tak terhindari dan memakan banyak korban. Al Muqtadir berhasil lari. Kemudian Abdullah bin al Mu’taz diangkat sebagai khalifah bergelar al Ghalib Billah. Namun, ia hanya berkuasa sehari semalam, karena al Muqtadir dan pasukannya berhasil merebut kekuasaan kembali. Al Muqtadir kemudian menangkap para ahli fikih yang mendukung gerakan Al Mu’taz.

Peristiwa berdarah tidak hanya sampai di sini, pemberontakan kelompok Qaramithah membuat luka kemanusiaan yang lebih dalam, pemberontak menyerang kota Makkah saat musim haji, membunuh setiap orang yang dijumpai dan mayat-mayat mereka dibuang ke dalam sumur Zamzam. Tidak hanya itu, mereka juga mencuri Hajar Aswad.

Semuanya terjadi karena Al Muqtadir tidak memiliki kecakapan sebagai khalifah. Sehingga intrik kekuasaan, pemberontakan dan berbagai tragedi kemanusiaan menghiasi kekhilafahannya.

Khalifah Abul Abbas : Sang Penumpah Darah

Khalifah pertama Dinasti Abbasiyah ini dijuluki as Saffah, bermakna penumpah darah. Sebagaimana dicatat Imam Thabari, sesaat setelah diangkat sebagai khalifah, Abul Abbas naik mimbar Jum’at dan berpidato di depan masyarakat Kufah, di antara kutipan pidato tersebut ia dengan tegas mengatakan: “Bersiaplah kalian, karena saya adalah penumpah darah yang halal dan pembalas dendam yang siap membinasakan siapa pun juga”.

Kekuasaan Abul Abbas merupakan masa transisi, peralihan kekuasaan dari Dinasti Umayyah ke Dinasti Abbasiyah. Karenanya, Abul Abbas merasa dibayangi dan dihantui oleh keluarga Dinasti Umayyah. Karenanya, ia berniat membinasakan seluruh keturunan Dinasti Umayyah.

Singkat kisah, ia mengundang seluruh keluarga Bani Umayyah yang tersisa saat itu dalam rangka jamuan makan. Tanpa curiga sedikitpun, undangan tersebut ditanggapi baik oleh keluarga Bani Umayyah.

Namun, saat jamuan makan berlangsung, Abul Abbas tiba-tiba membunuh Sulaiman bin Hisyam bin Abdul Malik, demikian pula 90 orang keluarga Bani Umayyah yang hadir di jamuan makan tersebut dibantai. Orang-orang yang menggelapar menjemput maut tersebut kemudian di tutup dengan permadani, sementara Abul Abbas dan para keluarga Bani Abbasiyah duduk dan makan di atas permadani tersebut.

Khalifah Al Walid bin Yazid : Fir’aun Baru

Salah satu khalifah Dinasti Umayyah ini digelari “Fir’aunnya umat Islam”. Memang mayoritas khalifah Dinasti Umayyah adalah para pemimpin yang keluar dari nilai-nilai Islam, namun yang dilakukan al Walid bin Yazid melebihi mereka semua. Sebuah kekejaman yang tiada bandingan.

Karakternya, seperti dicatat oleh Imam Suyuthi, ia suka mabuk-mabukan, peminum khamar, serta seringkali melanggar aturan syariat Islam. Bahkan, ia melakukan perjalanan haji ke Makkah dengan tujuan minum khamar di tempat suci tersebut. Dan, tak tanggung-tanggung, ia berniat minum khamar di dekat Ka’bah.

Perangai buruk lainnya adalah, ia menikahi istri-istri ayahnya, sesuatu yang sangat bertentangan dengan ajaran Islam. Lebih dari itu, Imam Suyuthi mengutip dari Imam Dzahabi menyebutkan, Al Walid bin Yazid melakukan liwath.

Khalifah Yazid bin Muawiyah : Kisah Sang Pembantai

Kekejian yang abadi terekam sampai saat ini adalah pembantaian Yazid terhadap Sayyidina Husein dan keluarganya di Karbala. Imam Suyuthi menceritakan, Yazid mengirim surat kepada Ubaidillah bin Ziyad untuk melenyapkan Sayyidina Husein. Maka, dikirim 4000 pasukan di bawah komando Umat bin Sa’d bin Abi Waqqash. Terjadilah tragedi Karbala yang mengerikan, Sayyidina Husein di penggal serta 16 keluarga beliau juga menjadi korban.

Penduduk Madinah yang telah mengetahui perangai Yazid bin Muawiyah yang menyimpang jauh dari ajaran Islam menarik baiat dan tidak lagi mendukungnya.

Demi mempertahankan kekuasaannya, Yazid mengirim 10 ribu pasukan di bawah komando Muslim bin Uqbah al Murri menuju Madinah. Terjadilah tragedi “Harrah”, dua tahun setelah peristiwa Karbala.

Berdasarkan penuturan Imam Suyuthi dalam Tarikh al Khulafa, mengutip perkataan Hasan Basri, kekejaman luar biasa telah terjadi dan hampir tidak ada satu orang pun dari penduduk Madinah yang selamat. Banyak dari kalangan sahabat Nabi yang dibantai secara kejam, kota Madinah dibumi hanguskan, dan 1000 perawan dinodai kehormatannya.

Pasukan di bawah perintah Yazid bin Muawiyah benar-benar melakukan tindakan genosida dan kejahatan kemanusiaan pemerkosaan terhadap 1000 gadis serta tindakan kejahatan yang lain.

Ibnu Katsir dalam Bidayah wan Nihayah juga mencatat tragedi kemanusiaan yang dilakukan pasukan Yazid di bawah pimpinan Muslim bin Uqbah. Setelah peristiwa al Harrah di Madinah, pasukan Yazid bergerak ke Makkah dengan tujuan menghancurkan kekuatan Abdullah bin Zubair.

Namun, Allah menjaga kota Makkah. Dalam perjalanan ke Makkah Muslim bin Uqbah tewas di perjalanan karena sakit, sementara Khalifah Yazid di Damaskus juga meninggal di saat tentaranya sedang mengepung kota Makkah. Rencana menghancurkan kota Makkah gagal.

Masih banyak kisah nyata para khalifah dari masa ke masa yang tidak mencerminkan dirinya sebagai pemimpin Islam. Maka, semua itu menjadi pelajaran berharga bagi kita semua, bahwa apapun bentuk sistem pemerintahan yang dipakai tidak menjamin terhadap tegaknya sendi-sendi agama dan terwujudnya kemaslahatan umat.

Setiap masa mempunyai cerita indah dan kelam. Perjalanan sejarah manusia adalah menatap masa depan dengan mempelajari hal buruk dari masa lalu. Kembali dalam desain masa lalu yang ternyata penuh dengan potensi intrik politik, tragedi dan penyalahgunaan kekuasaan adalah sebuah kesalahan besar. Umat Islam harus terus belajar untuk tidak terjebak pada potensi agama yang disalahgunakan untuk praktek penyucian kekuasaan.

Facebook Comments