Bukan tahun 2002 di mana Bom Bali pertama meletus sebagai awal lahirnya paham terorisme di Negri ini. Bom Bali merupakan tendangan penalty tepat ke gawang kebhinekaan Indonesia. Sebelum itu, operan bola radikalisme tentu telah lama digulirkan justru di tengah-tengah masyarakat sedang asyik merayakan hangatnya pesta kemenangan reformasi 1998. Sehingga diakui atau tidak, terorisme telak bercokol di negeri ini. Susul menyusul aksi pengeboman terjadi mengoyak kedamaian dan mengundang tangis. Indonesia pun dicap sebagai negara yang tidak aman dikunjungi. Kengerian terorisme berhembus ke segala penjuru. Dahsyat.
Kisah di atas penting diingat untuk memahami denyut perubahan yang terjadi di negeri ini sekaligus tantangan-tantangan yang akan segera kita hadapi sehari-hari. Ya, sehari-hari. Karena kian hari hari terorisme semakin bertumbuh. Akibat ulah mereka, masyarakat tidak lagi hidup dalam ketentraman dan kedamaian. Ada hantu kematian yang membayang-bayangi di setiap langkah hidupnya. Kedamaian yang didambakan masyarakat menjadi barang langka. Untuk sekedar beribadah saja, harus ada penjagaan ketat polisi. Karena itulah BNPT dibentuk dan didirikan untuk memberikan rasa aman dari ancaman teror.
Selesaikah? TIDAK. Menghadang gerak laju terorisme tidak ditentukan oleh berdirinya suatu lembaga. Namun yang lebih menentukan soal taktik dan strategi. Taktik untuk mencari kelemahan dan persembunyian lawan. Sementara strategi merupakan cara untuk melumpuhkan dan mengalahkannya. Dalam konteks ini, BNPT, walau tidak langsung, sangat terbantu dengan hadirnya densus 88. Sehingga dalam beberapa pergerakan terorisme bisa dilumpuhkan. Beberapa dedengkot teroris ada yang tewas di tempat dan ada yang berakhir di ketuk palu hakim; hukuman mati. Itu tak mengapa. Karena Islam mengajarkan agar tegas kepada penghianat kedamaian.
Soal taktik dan strategi ini, al Qur’an mengisahkannya tentang perintah Nabi Ya’qub terhadap anak-anaknya ketika mau mengunjungi Nabi Yusuf saat menjadi raja. La tadkhulu min babin wahid fadkhulu min abwabin mutafarriqah. “Jangan masuk dalam satu pintu tetapi masuklah dari berbagai pintu”, demikian perintah Nabi Ya’qub. Apa yang hendak dikatakan disini adalah bahwa terorisme tidak bisa diberantas hanya dengan satu cara; tembak di tempat atau adili. Tidak. Perlu banyak taktik dan strategi yang harus dijalankan. Artinya, apa yang dilakukan oleh Densus 88 bukan satu-satunya jalan untuk menyelesaikan terorisme.
Demikian juga deradikalisasi yang dilaksanakan secara di penjara-penjara tempat teroris dikurung. Karena deradikalisme seperti itu hanya menunggu bola. Keberhasilannya pun tidak bisa diukur. Sebab sangat bergantung seberapa akut penyakit radikal itu menjangkit. Yang mesti diingat bahwa jejak terorisme dalam jiwa seseorang tidak mudah dihapus hanya dengan setahun dua tahun deradikalisasi. Rekaman radikalisme selalu mudah diingat karena menempel tepat di “keimanan” mereka. Menghapus dan menghalau radikalisme inilah yang melelahkan banyak pihak.
Oleh sebab itu, dibutuhkan juga stamina. Yakni kekuatan untuk berjuang dalam waktu panjang dan berliku. Hal ini menjadi persyaratan mutlak bagi siapapun yang terlibat dalam deradikalisasi, termasuk seluruh rakyat Indonesia. Karena diakui atau tidak, sejak bergemuruhnya bom bali pertama hingga bom panci di Bandung merupakan bukti bahwa stamina kaum radikal tidak bisa disepelekan. Semangatnya untuk memecah belah negri ini begitu kuat walau teman-temannya banyak terbunuh. Ini fakta.
Karenanya, radikalisme dan terorisme tidak bisa dihadapi dengan suara yang meledak-ledak sejenak lalu lenyap. Tidak. Dalam Islam, ada dua istilah yang mengibaratkan stamina ini. Pertama al dawam. Maknanya adalah selalu dan terus menerus. Nabi bersabda dalam sebuah hadits, “ahabbul a’mal ilallah ta’ala adwamuha wain qalla”. Amal perbuatan yang dicintai oleh Allah adalah ‘selalu’ dan ‘terus menerus’ walaupun sedikit. Kedua adalah al istiqamah. Maknanya adalah kokoh dan tidak goyah. Istilah kedua ini lebih kepada kekuatan yang bersifat lebih abadi. Karena tidak hanya kokoh dalam satu saat tapi sampai meninggal. Itulah sebabnya jalan panjang menuju akhirat disebut sebagai shirathal mustaqim.
Ketiga hal di atas; taktik, strategi, dan stamina saat ini sudah dimiliki oleh lembaga yang didirikan oleh pemerintah; Densus 88 dan BNPT. Jika Densus bergerak di wilayah taktik dan strategi melulpuhkan lawan maka BNPT memiliki stamina yang mumpuni. Seminar, diskusi, dan jaringan anak muda penangkal terorisme yang dibentuk oleh BNPT merupakan cara membangun stamina deradikalisasi.
Melawan terorisme merupakan pergulatan maraton (shirathal mustaqim) yang harus sambut menyambut antara satu dengan yang lain. Bahwa masih banyak yang perlu dibenahi dalam membangun strategi, taktik, dan stamina, itu pasti. Apalagi bantuan masyarakat jelas sangat dibutuhkan. BNPT tidak boleh dibiarkan bermain sendiri sedangkan kita hanya menonton. Gak boleh.