Sterilisasi Ranah Maya dari Narasi Keislaman Salafi-Wahabi

Sterilisasi Ranah Maya dari Narasi Keislaman Salafi-Wahabi

- in Narasi
808
0
Sterilisasi Ranah Maya dari Narasi Keislaman Salafi-Wahabi

Internet sebagai medium dakwah ialah fenomena pascamodern yang tidak bisa dibantah. Menjamurnya media daring dan media sosial belakangan ini telah menyemarakkan dinamika dakwah Islam di Tanah Air. Jika dulu, umat harus datang ke majelis taklim, pengajian, forum keagamaa atawa justru mukim di pesantren untuk menimba ilmu Islam, kini hal itu bisa dilakukan melaui gawai pintar. Bermodal kuota internet, umat bisa menjelajahi khazanah keilmuan Islam yang tersebar di ranah maya. Dalam makalahnya berjudul “Fatwa Online di Indonesia: Dari Shopping Fatwa Hingga Meng-Google Kiai” pakar hukum Islam Nadirsyah Hossen menjelaskan bahwa internet telah mengubah cara umat Islam dalam mencari bimbingan keagamaan.

Namun, euforia kajian Islam daring yang tersaji di internet itu ternyata menyisakan sejumlah residu. Salah satunya ialah maraknya narasi keislaman salafi-wahabi yang bisa dikatakan menjadi arusutama dalam kajian keislaman di ranah maya. Corak keislaman salafi-wahabi yang cenderung tekstualis dan rigid (kaku) telah membidani cara pandang dan praktik keislaman yang menjurus pada konservatisme, radikalisme bahkan terorisme. Fenomena inilah yang memantik kegelisahan sejumlah kalangan muslim moderat. Salah satunya pernyataan Ketua Umum PBNU, Said Aqil Siraj yang meminta pemerintah menutup situs dan media sosial salafi-wahabi. Pernyataan ini mengemuka dalam pidato peringatan Harlah NU ke-95 beberapa waktu lalu.

Pernyataan itu barangkali merupakan puncak kegelisahan kalangan muslim moderat yang atas sepak terjang kelompok salafi-wahabi. Kaum salafi-wahabi membanjiri dunia maya dengan konten dan narasi keislaman yang dalam banyak hal bertentangan dengan spirit Islam yang rahmatan lil alamin, ramah perbedaan dan adaptif pada lokalitas Nusantara. Corak pemikiran keislaman kaum salafi-wahabi yang bertumpu pada nalar oposisi biner; islam-kafir, halal-haram, benar-salah, telah mereduksi khazanah pemikiran Islam yang sebenarnya kental akan nuansa inklusivitas.

Keberadaan media daring dan media sosial yang berafiliasi dengan kelompok salafi-wahabi tidak diragukan telah menyumbang andil pada mewabahnya intoleransi di kalangan umat Islam. Penetrasi ideologi salafi-wahabi telah mengubah wajah Islam Indonesia yang tadinya ramah, toleran dan moderat menjadi galak, intoleran dan dekaden. Hal ini mengemuka pada sikap sebagian umat Islam Indonesia yang belakangan mudah mengkafirkan pihak yang berbeda pandangan. Takfirisme ini pula yang menjadi akar kekerasan verbal maupun fisik yang dilatari isu keagamaan.

Pernyataan Kiai Said dalam kapasitasnya Ketum PBNU tentu patut ditindanlanjuti. Selama ini, NU dikenal sebagai ormas Islam yang menyelaraskan antara ajaran Islam dan lokalitas keindonesiaan. NU juga menjadi garda terdepan menjaga falsafah bangsa dari infiltrasi ideologi Islam transnasional, termasuk salafi-wahabi. Untuk itu, pernyataan Kiai Said idealnya dipahami sebagai sebuah seruan bersama untuk merapatkan barisan kaum Islam moderat di Indonesia untuk menghalau manuver kelompok salafi-wahabi.

Peran Aktif Muslim Moderat Menghalau Konservatisme-Radikalisme di Internet

Kaum muslim moderat di Indonesia harus memiliki kesadaran ihwal perang wacana di ranah media baru (new media). Internet dan media sosial ialah platform komunikasi yang bebas dan terbuka dimana setiap wacana atau narasi dimungkinkan untuk terus didaur ulang. Memblokir situs atau akun media sosial kelompok salafi-wahabi ialah satu hal. Namun, memberangus ideologi salafi-wahabi di dunia maya ialah hal lain. Dalam kalimat lain, sterilisasi dunia maya dari narasi keislaman konservatif-radikal yang dipropagandakan kaum salafi-wahabi tidak bisa dilakukan hanya dengan menutup situs dan akun medsos mereka.

Di tahun 2015, Kemenkominfo memblokir setidaknya 22 situs keislaman yang ditengarai menyebarkan radikalisme. Namun, hal itu tidak lantas membuat dunia maya steril dari radikalisme. Situs-situs keislaman radikal yang diblokir itu lantas berreinkarnasi ke dalam nama dan domain baru. Hal ini ialah kenyataan yang tidak bisa kita hindari. Namun, di saat yang sama justru terjadi pergeseran peta persaingan situs-situs keislaman di ranah maya.

Jika satu dekade lalu, situs-situs keislaman bercorak konservatif-radikal menjadi pemuncak rangking kunjungan (pageviews), kini keadaan justru menunjukkan hal sebaliknya. Situs-situs keislaman bercorak moderat-progresif yang berafiliasi dengan NU dan Muhammadiyah kini berhasil menggeser dominasi situs-situs keislaman yang menjadi corong pemikiran kaum salafi-wahabi. Fakta ini bisa dibaca dari dua sudut pandang kemungkinan. Kemungkinan pertama, umat Islam Indonesia mulai bosan dengan konten keislaman yang lebih menonjolkan nuansa ideologis politis dan mulai beralih ke kajian Islam yang lebih spiritualistik. Kemungkinan kedua, situs-situs keislaman bercorak moderat-progresif itu dikelola secara lebih profesional sehingga mampu bersaing bahkan menggeser dominasi situs keislaman kaum salafi-wahabi.

Apa pun kemugkinan dibalik bergesernya peta persaingan situs keislaman di dunia maya itu, satu hal yang urgen ialah kaum moderat harus terus-menerus berinovasi; menghadirkan konten keislaman moderat dalam kemasan yang mampu menarik minat seluruh kalangan. Di dunia digital, kemasan (packaging), pemasaran (marketing) dan penyajian (presenting) menjadi variabel penting dalam menentukan keberhasilan penyampaian pesan. Wacana atau narasi yang bagus, namun dikemas dan disampaikan secara buruk tentu tidak akan efektif dalam mempengaruhi opini atau persepsi publik. Rumus itu juga berlaku dalam konteks dakwah Islam.

Pernyataan Kiai Said yang meminta pemerintah menutup situs dan akun medsos kaum salafi-wahabi kiranya bisa menjadi momentum mengobarkan perang wacana melawan narasi keislaman konservatif-radikal di ranah maya. Kita berharap, pemerintah merespons permintaan itu dengan mengambil langkah tegas terhadap menjamurnya situs dan akun medsos kaum salafi-wahabi. Di saat yang sama, kita juga mendorong kaum muslim moderat berpartisipasi aktif mensterilkan ranah maya dari narasi keislaman kelompok salafi-wahabi.

Sudah bukan masanya lagi kaum moderat menjadi silent majority. Sebagaimana petuah Gus Mus yang mewanti-wanti agar “sing waras ojo ngalah”. Artinya, kaum moderat tidak boleh harus terlibat memproduksi dan menyebarkan narasi serta wacana keislaman moderat sebagai counter discourse dari gagasan konservatisme agama yang digaungkan kaum salafi-wahabi. Menulis dan menyebarkan konten-konten keislaman yang menyejukkan dan inspiratif barangkali merupakan jihad kecil yang bisa kita lakukan.

Facebook Comments