Intoleransi merupakan satu di antara 3 (tiga) dosa besar dunia pendidikan. Dua diantaranya adalah perundungan dan kekerasan seksual. Untuk itu, pemerintah dan seluruh komponen bangsa secara serius mengupayakan adanya pemberantasan kasus-kasus intoleransi. Namun demikian, segala macam bentuk intoleransi masih saja terjadi di dunia pendidikan kita.
Dalam rangka menangkal agar tidak terjadi intoleransi di dunia pendidikan, perlu adanya kajian mendalam. Kita mesti sadar bahwa pelaku intoleransi bukan hanya satu pihak kepada pihak lain, namun dari berbagai sektor kepada beragam sektor lain. Intoleransi dapat terjadi antara siswa dengan siswa lainnya, antara guru dengan siswa, antara siswa dengan guru, antara guru dengan guru, bahkan antara sekolah dengan sekolah lainnya.
Di samping itu, kita juga harusa sadar bahwa intoleransi bukan hanya satu bentuk, melainkan beberapa bentuk. Bentuk intoleransi antara lain rasisme, seksisme, diskriminasi agama, atau diskriminasi lainnya. Sehingga dari sini, celah praktik intoleransi sangat banyak. Tanpa adanya upaya menutup seluruh celah praktik, maka intoleransi akan dengan mudah terjadi di lingkungan pendidikan.
Strategi menangkal praktik intoleransi di dunia pendidikan tidak dapat dilepaskan dari perhatian terhadap pihak-pihak yang berpotensi melakukan praktik intoleransi dan bentuk-bentuknya. Pertama, potensi praktik intoleransi yang dilakukan siswa terhadap teman ataupun guru dapat ditangkal dengan cara memberikan pendidikan dasar toleransi kepada siswa. Pihak sekolah mesti memberikan pendidikan khusus kepada para siswa akan pengertian, bentuk-bentuk, serta dampak intoleransi.
Lebih jauh, pihak sekolah juga harus memberikan ruang kepada siswa agar tidak melakukan praktik intoleransi. Beragam kebijakan sekolah juga jangan sampai memberikan ruang kepada siswa untuk melakukan praktik intoleransi baik kepada sesama siswa ataupun kepada guru.
Tidak kalah penting dalam menangkal praktik intoleransi di sekolah adalah peran orang tua. Orang tua harus memberikan pondasi kuat agar anak tidak mudah melakukan praktik intoleransi. Karena, pendidikan kognitif yang diberikan di sekolah dapat dengan mudah ditabrak oleh siswa manakala siswa sudah terbiasa melakukan praktik intoleransi. Bagaimanapun kebiasaan siswa tidak akan dengan mudah diubah dengan pengetahuan kognitif. Selain adanya pengetahuan kognitif, tingkah-laku akan bisa diubah dengan kesadaran dan pembiasaan. Untuk itulah, pembiasaan sejak dini agar anak tidak melakukan praktik intoleransi merupakan tanggung jawab besar orang tua sehingga anaknya tidak melakukan praktik intoleransi di sekolah.
Praktik intoleransi yang dilakukan siswa juga kadang bermula dari meniru guru. Maka ada benarnya akronim “guru” adalah “digugu dan ditiru”. Ketika guru melakukan praktik intoleransi, maka siswa pun dengan mudah akan meniru gurunya. Sehingga dari sini, guru jangan sampai melakukan praktik intoleransi sehingga para siswa dapat dengan mudah menirunya.
Kedua, potensi praktik intoleransi yang dilakukan guru kepada siswa atau sesama guru. Guru dapat dengan mudah melakukan praktik intoleransi karena adanya celah yang disediakan pihak sekolah. Sehingga dari sini, aturan yang ada di sekolah jangan sampai menimbulkan apalagi mendorong para guru melakukan praktik intoleransi. Dalam membuat aturan sekolah, para punggawa sekolah harus cermat, jangan sampai hanya asal membuat yang terkesan formalitas.
Bolehlah para punggawa sekolah membuat aturan sekolah dengan mengambil referensi dari tahun-tahun yang sudah atau dari sekolah lain. Dalam pandangan agama sendiri juga ada istilah al-muhafadzah ‘ala qadimi shalih (merawat perkara bagus yang sudah ada sejak awal). Sebagai catatan, yang boleh dipertahankan adalah yang baik saja. Manakala ada yang tidak baik, termasuk potensi praktik intoleransi, maka harus dihilangkan. Selain itu, inovasi yang sesuai dengan situasi dan kondisi yang dianggap lebih baik juga mesti digunakan (al- akhdu bil jadidil ashlah / menggunakan inovasi yang lebih baik).
Seorang guru juga bisa melakukan praktik intoleransi lantaran merasa superior dibanding rekan atau siswa-siswanya. Untuk itulah, ia menggunakan “kekuatan” untuk mendzalimi orang lain. Maka dari sinilah, guru harus memiliki sifat tepa selira kepada sesama. Jangan sampai seorang guru memiliki rasa sombong diri sehingga dapat dengan mudah mendzalimi orang lain.
Ketiga, pihak sekolah dapat melakukan praktik intoleransi kepada sesama sekolah, wali siswa, dan pihak-pihak lain. Hal ini bisa terjadi lantaran sekolah merasa berkuasa atau di atas yang lain. Sehingga dari sini, sekolah bisa saja arogan dan tidak peduli dengan kondisi wali siswa ataupun sekolah lain. Untuk itulah, dalam rangka menangkal praktik intoleransi, pihak sekolah secara intern harus banyak introspeksi diri. Di samping itu, komunikasi dengan pihak lauar juga mesti selalu dilakukan untuk diambil manfaat-manfaatnya.
Strategi-strategi ini terlihat sepele dan mendasar. Namun demikian, upaya harus dilakukan dengan serius. Dengan begitu, diharapkan praktik intoleransi di dunia pendidikan akan dengan mudah ditangkal.Wallahu a’lam.