Strukturisisasi Agama-Agama Kultural

Strukturisisasi Agama-Agama Kultural

- in Kebangsaan
717
0
Strukturisisasi Agama-Agama Kultural

Kebenaran agama, atau untuk lebih tepatnya tafsiran-tafsiran atas doktrin agama, konon memang dapat membuat siapa pun untuk bersikap “masturbasif.” Tak jarang nyawa seolah dapat terjual ataupun terbeli karenanya secara murah meriah. Dan ketakutan, bahkan rasa malu, sekedar dianggap sebagai sebentuk pembiaran kesesatan atau justru kesesatan itu sendiri.

Kisah-kisah purifikasi agama yang banyak terpampang di sejarah nusantara adalah kisah-kisah bagaimana para penganut agama bermasturbasi dengan agamanya. Banyak peninggalan sejarah yang berguna untuk mengetahui siapakah kita akhirnya banyak yang hilang. Alam, dengan pohon-pohon besarnya yang berguna untuk menyerap bah, atas nama kemurnian akidah dan kesucian agama, banyak pula yang dihilangkan. Banyak praktik kultural agama yang mengandung sebentuk harmonisasi, yang sekilas dipandang heterodoks, dilenyapkan pula untuk mencapai kemurnian agama meskipun akibatnya akan mengoyak keutuhan masyarakat.

Saya sendiri, pada dasarnya, sangat bosan dengan perdebatan tentang akidah yang kerap digunakan untuk menghancurkan komunitas-komunitas lokal yang jelas-jelas lebih lama terbentuk daripada komunitas yang diklaim agamis nan suci—yang bahkan, untuk menontonnya saja, seolah tak berguna.

Komunitas-komunitas lokal yang sudah lama terbentuk jelas-jelas adalah komunitas yang tak dapat ditampik begitu saja, entah atas nama apapun. Taruhlah komunitas yang terbentuk pasca Perang Jawa yang mendasari harmonisasi antara agama dan budaya dalam bentuk banyak tarekat. Atau pada masa Walisanga dimana beberapa komunitas di masa sekarang mendasarkan dirinya.

Bukankah memperdebatkan dasar-dasar praktik keagamaan yang sudah berawal sejak Walisanga dan Perang Jawa, meskipun atas nama kesucian akidah, adalah hal-hal yang bersifat masturbasif alias tak menghasilkan apapun?

Di samping sudah telat, perdebatan-perdebatan semacam itu akan pula menafikan kehadiran agama di tengah-tengah warganegaranya. Pada titik inilah lazimnya orang akan kembali dihadapkan pada perdebatan soal kulturalisasi agama, yang banyak diusung oleh kalangan moderat, yang diartikan sebagai minimalisasi intervensi negara di ruang-ruang privat seperti agama. Dalam logika ini, strukturisasi agama dipandang sebagai tanda bocil-nya sebuah masyarakat sipil. Namun, dari berbagai produk undang-undang yang selama ini dihasilkan oleh pemerintah, semestinya orang akan lebih berpikir secara cerdik. Di atas kertas, sebagian besar produk undang-undang itu memang sudah dapat untuk menghadapai segala kemungkinan yang menjelang. Tengoklah UU Desa yang memuat dua azas utama: rekognisi dan subsidiaritas, UU Ormas, UU Pesantren, UU Antiterorisme, dst., dimana kesemua undang-undang itu akan membuat orang untuk lebih memanfaakan waktu dengan secermat-cermatnya.

Dalam banyak undang-undang itu, secara tak langsung, kulturalisasi agama yang banyak diidam-idamkan oleh kalangan moderat sudah terstrukturisasi. Dan saya kira inilah PR kita sebagai kalangan agama kultural dan moderat untuk lebih dapat mendayagunakan berbagai “fasilitas” yang sudah disediakan oleh pemerintah. Tentang kekhawatiran klasik tentang bocil atau tak bocil-nya kita sebagai masyarakat hanya kita sendirilah yang dapat mengukur dan merasakannya.

Facebook Comments