Memang, melaksanakan shalat berjamaah di Masjid, lalu bersama-sama mengaji Al-Qur’an, berdzikir kepada-Nya, hingga diiringi dengan doa-doa, itu baik dan bermanfaat secara spiritual. Tetapi, jika tindakan demikian dijadikan jalan untuk “melawan wabah” yang mudah menular, layaknya covid-19 yang kini terus menggila penularan-nya. Ini sebetulnya tindakan yang sangat keliru secara (pengamalan) dan melanggar prinsip syariat Islam akan pentingnya (menjaga keselamatan jiwa).
Pemahaman di atas bukan berarti mengkriminalisasi agama atau melarang umat Islam beribadah. Sebagaimana terkait kebijakan pemerintah perihal PPKM yang mengacu ke dalam penutupan tempat ibadah sementara. Karena situasi-kondisi kita saat ini sedang darurat wabah covid-19.
Karena, jika tindakan seperti (shalat berjamaah, mengaji al-Qur’an dan segala aktivitas spiritual yang mengundang kerumunan) itu terus dilakukan. Maka, menurut Ibnu Hajar Al-Asqolani, itu sama saja dengan “bunuh diri” dalam konteks menghadapi wabah yang mudah menular. Karena tindakan demikian, justru menelantarkan keselamatan (jiwanya) yang sebetulnya menjadi (tujuan dari syariat Islam itu sendiri).
Misalnya, beliau pernah menulis tentang dinamika kesalahan orang beragama dalam menghadapi wabah. Diterangkan di dalam kitab “Badzlul Ma’un Fi Fadhlith Tha’un”. Bahwa, menghadapi virus yang (cepat menular) secara generic, itu bukan dengan cara berkerumun. Meskipun itu ngaji Al-Qur’an atau ibadah apa-pun itu yang dianggap sakral dalam agama.
Sebagaimana Ibnu Hajar dalam kitab tersebut, mengisahkan tentang suatu wabah di daerah Damaskus pada saat itu. Lalu masyarakat berbondong-bondong membuat perkumpulan untuk berdoa, mengaji dan bahkan segenap riyadhah lainnya. Berharap agar wabah ini bisa pulih. Pada situasi yang semacam ini, justru yang terjadi bukan membawa keadaan menjadi lebih baik. Tetapi, membawa keadaan menjadi lebih buruk. Sebagaimana penularan dan kontaminasi hingga membawa kematian terus terjadi di seluruh Damaskus.
Lalu pertanyaannya sekarang, apakah ibadah amaliah yang dilakukan itu salah? Tentu ini tidak dalam konteks demikian. Semua ibadah dalam agama pasti baik. Tetapi, inilah yang dimaksud oleh Ibnu Hajar akan hakikat “Agama itu “hanya layak” untuk orang-orang yang berakal sehat”. Artinya perlu dipahami, bahwa jika karakteristik wabah itu (mudah menular). Maka, kesalahan fatal bagi kita jika melakukan ibadah dengan cara berkerumun, hanya demi untuk menghilangkan wabah itu sendiri.
Karena, dengan melakukan tindakan yang demikian, niscaya justru akan semakin memperlebar penularan. Maka, sekali-lagi ini bukan ibadah atau doa-doa yang dipanjatkan itu salah. Tetapi, cobalah berpikir secara akal sehat. Karena, kita di dalam beragama dituntut untuk menjauhi kemudharatan.
Maka, pada konteks kisah di atas, orang Damaskus ditimpa musibah berupa wabah yang mudah dan cepat menular. Sehingga, akal sehat kita jika digunakan, maka melakukan ibadah berubah doa berjamaah dan membaca Al-Qur’an secara berjamaah itu ibaratkan “mati konyol” artinya bunuh diri. Karena jelas-jelas memang wabah tersebut menular. Artinya, cara untuk melawan bawah itu justru bukan berkerumun. Tetapi, kita justru menjauh, mengikuti protokol kesehatan dan berobat sebagaimana cara ikhtiar kita saat ini adalah (vaksinasi covid-19) untuk menghindari penularan wabah tersebut.
Bagaimana Cara Ibnu Hajar Menghadapi Wabah?
Dari sinilah sebetulnya Ibnu Hajar mengajak kita untuk beragama dengan akal sehat. Dalam hal apa-pun itu. Termasuk kita di dalam menghadapi wabah. Karena, jika dengan beribadah berjamaah, atau melakukan kerumunan dan bahkan melanggar protokol kesehatan. Justru akan memperbesar kemudharatan, niscaya hal demikian perlu kita hindari.
Karena, bagi Ibnu Hajar sebagai kesalahan yang sangat fatal jika kita menganggap bahwa melawan wabah yang mudah (menular) tersebut dengan berdoa berjamaah, ngaji bersama atau melakukan ritual apa-pun itu. Agar wabah tersebut bisa hilang. Justru, tindakan demikian ibaratkan “mati konyol”. Karena, sesuatu yang dapat menular mestinya perlu dihindari. Sebagaimana aturan protokol kesehatan yang telah dilakukan kita di era pandemi covid-19 ini. Ini perlu ditaati dan jangan “membangkang” yang sebetulnya kita tidak mengetahui apa-pun tentang wabah.
Maka sekali lagi kita perlu memahami. Bahwa, tidak ada ibadah yang buruk atau bernilai jelek di mata Allah SWT. Tetapi, ketahuilah ketika kita berada dalam situasi dan kondisi wabah yang cepat menular. Kita tidak bisa hanya stagnan pada dogma beribadah berjamaah, karena dengan cara seperti itu anggapan kita corona bisa hilang. Tentu, konteks pengamalan-nya tidak demikian. Karena, di dalam agama sendiri kita dituntut untuk meninggalkan sesuatu yang banyak membawa dampak kemudharatan.
Pada konteks semacam inilah, kesadaran beragama kita perlu kita perbaiki. Sebagaimana pandangan Ibnu Hajar perihal cara kita menghadapi wabah yang mudah menular. Tentunya, bukan dengan ibadah berjamaah atau melakukan ritual yang mengundang kerumunan dan bahkan lalai terhadap protokol kesehatan. Hingga berpotensi penularan itu terjadi. Karena, tindakan demikian justru bukan membawa keadaan menjadi lebih baik, melainkan membawa keadaan menjadi lebih buruk.