Gaung kebangkitan khilafah santer didengungkan segelintir kalangan dalam beberapa tahun terakhir. Momentum peringatan 100 tahun keruntuhan Kekhalifahan Turki Usmani yang jatuh pada tahun 2024 menjadi salah satu pemicunya. Para simpatisan gerakan khilafah meyakini bahwa peringatan 100 tahun keruntuhan khilafah itu ialah momentum kebangkitan kembali kejayaan imperium Islam.
Dalam konteks Indonesia, narasi kebangkitan khilafah pada tahun 2024 ini juga dikaitkan dengan Pemilu dan Pilpres. Para aktivis gerakan khilafah menyebut Pilpres 2024 akan melahirkan sosok pemimpin Islam dan menjadi awal kebangkitan khilafah. Klaim-klaim bombastis itu ironisnya kerapkali mampu mempengaruhi alam bawah sadar umat.
Memasuki tahun 2023 yang juga merupakan tahun politik, narasi kebangkitan khilafah dipastikan akan lebih santer terdengar. Kebangkitan khilafah pasca 100 tahun runtuh kerap dirujukkan pada pandangan yang meyakini bahwa setiap 100 tahun, Allah akan mengirim seorang pembaharu (mujaddid). Di sisi lain, ada pula pandangan yang meyakini adanya siklus kelahiran dan keruntuhan peradaban setiap seratus tahun sekali. Keyakinan itulah yang menjadi dasar sebagian kalangan bahwa khilafah akan bangkit pada 2024 atau tepat 100 tahun sejak keruntuhannya.
Kebangkitan Khilafah Ialah Utopia
Lantas, benarkah demikian? Apakah khilafah akan mengalami kebangkitannya? atau sebaliknya, justru mengalami kebangkrutan?
Satu hal yang patut dipahami, keyakinan bahwa Allah akan mengutus seorang mujaddid setiap seratus tahun itu pada dasarnya merupakan pandangan Rasulullah. Dalam sebuah hadist diriwayatkan bahwa Rasulullah menegaskan bahwa Allah akan mengutus seorang mujaddid setiap 100 tahun sekali. Perhitungan itu menggunakan kalender Hijriyah (Islam), bukan Masehi.
Di titik ini, hitung-hitungan para pegiat gerakan khilafah ihwal kebangkitan khilafah tahun 2024 yang merujuk pada 100 tahun keruntuhan Dinasti Turki Usmani sebenarnya rancu. Tersebab, hitungan itu didasarkan pada kalender Masehi. Seperti kita tahu, Kekhalifahan Turki Usmani ambruk pada tahun 1934. Dari sisi perhitungan saja, klaim kebangkitan khilafah itu sudah rancu karena tidak sesuai dengan hadist Nabi.
Selain itu, yang dimaksud dengan mujaddid dalam hal ini lebih merupakan sosok-sosok pembaharu atau revolusioner di bidang keilmuan. Seperti ahli hukum (fiqih), kebahasaan, sampai ahli di bidang sosial dan kebudayaan. Artinya, mujaddid di sini tidak melulu dipahami sebagai sosok pemimpin politik yang memiliki banyak pengikut.
Sosok mujaddidyang dimaksud dalam hadist Nabi ialah gabungan antara sosok cendekiawan yang berilmu tinggi, filosof yang bijaksana, dan politisi atau pemimpin yang adil. Gambaran nyaris sempurna itulah yang akan menyelamatkan umat dari beragam krisis baik sosial, politik, dan keagamaan.
Ketiga, kebangkitan sebuah sistem politik dan pemerintahan yang telah tiarap 100 tahun tentu bukan hal sederhana. Diperlukan beragam unsur, variabel, dan faktor untuk membangkitkan kembali peradaban yang telah terkubur lama. Dalam konteks kebangkitan khilafah, diperlukan setidaknya tiga unsur pokok.
Pertama, yakni wilayah kekuasaan yang diakui oleh negara-negara lain di dunia. Salah satu prasyarat mutlak berdirinya sebuah kekuasaan atau negara adalah keberadaan wilayah yang secara de-facto maupun de-jure diakui negara-negara lain.
Kedua, adanya pemerintahan yang sah dan solid sekaligus memiliki legitimasi untuk menjalankan birokrasi dan hukum. Jika wilayah merupakan bukti fisik keberadaan sebuah negara, maka pemerintahan ialah unsur non-fisik yang wajib ada dalam sebuah kekuasaan politik.
Ketiga adanya rakyat atau warganegara yang secara sadar mengakui dan tunduk pada sistem politik dan pemerintahan. Keberadaan rakyat yang tunduk pada pemerintahan secara sadar membuktikan bahwa kekuasaan tersebut legitimated. Tanpa adanya rakyat atau warga, kekuasaan akan kehilangan legitimasinya.
Khilafah Sudah Bangkrut
Jika dilihat dari tiga syarat itu, tampaknya tidak ada satu pun yang mengindikasikan khilafah islamiyyah akan bangkit. Apalagi di tahun 2024. Pasca kekalahan ISIS di Suriah dan Irak, praktis tidak ada lagi wilayah geografis yang dikuasai oleh pemerintahan khilafah. Tercerai-berainya ISIS juga menandai tidak adanya pemerintahan khilafah saat ini.
Demikian pula, terlunta-luntanya para anggota ISIS di pengungsian saat ini membuktikan bahwa tidak ada warga atau rakyat yang mengakui kepemimpinan khilafah islamiyyah.
Alih-alih disebut sebagai tahun menuju kebangkitan, 2023 lebih tepat disebut sebagai tahun menuju kebangkrutan gerakan khilafah. Kita melihat dalam beberapa tahun gerakan khilafah baik di lingkup global maupun nasional telah kehilangan bahan bakar dan amunisi untuk menjalankan agendanya. Di lingkun global, kekalahan ISIS ialah pukulan telak bagi gerakan khilafah.
Di lingkup nasional, dibubarkan dan dilarangnya organisasi pengasong khilafah seperti HTI, JI, MMI, JAT, JAD dan sebagainya membuat gerakan khilafah kehilangan orientasinya. Para anggota dan simpatisannya seolah kehilangan induk dan lantas tercerai-berai.
Meski demikian, kita tidak boleh menurunkan tingkat kewaspadaan dan kesiapsiagaan. Nyatanya, para simpatisan gerakan khilafah masih berjejaring meski dibawah tanah. Mereka memanfaatkan kebebasan berekspresi dan perkembangan media sosial untuk menyebarkan ideologi dan menghasut publik.
Satu hal yang harus dicegah di tahun politik ini ialah mencegah agar eksponen gerakan khilafah melakukan konsolidasi dan menyusun kekuatan untuk bangkit. Bukan tidak mungkin organisasi yang tercarai-berai itu dipersatukan oleh kepentingan politik. Relasi mutualistik antara kaum pengasong khilafah dengan para politisi pemburu kuasa ini harus dicegah sejak dini.