Tahun Baru, Semangat Berislam Baru

Tahun Baru, Semangat Berislam Baru

- in Narasi
2018
1

Tahun 1437 H meninggalkan peraduannya dan berpindah ke tahun 1438 H. Menyambut tahun baru Islam, beragam kegiatan digelar untuk menyemarakkannya. Semangat perayaan ini tentu mesti diiringi dengan semangat perpindahan menuju berislam yang baru. Sebuah semangat keagamaan yang mengembalikkan Islam pada khittahnya.

Meminjam bahasa Raditya Dika dalam film “manusia setengah salmon”, perpindahan adalah bagian dari kehidupan kita sebagai manusia. Kita, lanjut penulis “kambing jantan” itu, akan selalu terjebak di antara perpindahan-perpindahan ini. Untuk berpindah menuju tahun baru 1438 H, tentu, kita harus melakukan refleksi terhadap apa saja yang telah kita lakukan di tahun sebelumnya. Refleksi ini penting dilakukan, agar hidup kita tak mengulangi kesalahan yang pernah dilakukan.

Masalah Takfir

Bulan Februari lalu imam besar Al-Azhar Mesir, Syekh Ahmad Muhammad Ahmad Ath-Thayyeb, berkunjung Indonesia. Umat islam saat ini, menurut Syekh Thayyeb, tengah menghadapi masalah takfir atau upaya mengkafirkan oleh kelompok muslim lain. Padahal, menurutnya, tidak boleh sekelompok muslim mengkafirkan kelompok lainnya.

Pembacaan Syekh Thayyeb itu ada benarnya. Di internal umat Islam sendiri, kita juga menjumpai gesekan antara satu kelompok Islam dengan kelompok Islam lainnya. Sebagai contoh, gesekan antara kelompok Sunni dan kelompok Syiah. Seperti yang terjadi di Sampang Jawa Timur, meskipun juga karena ada faktor lain, sikap mengkafirkan kelompok lain terlihat. Satu kelompok mengatakan mazhabnya yang paling benar, sedangkan mazhab yang lain dianggap salah.

Contoh lain, beberapa waktu lalu saya pernah menjumpai spanduk penebar sektarianisme di Yogyakarta. Spanduk yang dibuat ormas tertentu itu berisi kalimat seperti “Syiah Bukan Islam” dan seterusnya. Tak paham apa motif sesungguhnya dari pemasangan spanduk tersebut. Namun, yang pasti, spanduk itu tak baik dalam upaya kita menjaga toleransi beragama dan kemajemukan bangsa.

Gesekan tersebut tentu tak dibenarkan dalam Islam, apalagi jika gesekan itu bisa berujung membawa malapetaka kekerasan. Dalam perspektif kebudayaan Islam, gejala kekerasan dipandang sebagai salah satu ciri kehidupan manusia yang belum beradab. Tapi ironisnya, di mana manusia sudah mencapai tingkat kebudayaan dan peradaban yang tinggi (baca: modern), realitas menunjukkan umat manusia tetap harus bergumul dengan kekerasan.

Masalah takfir itu kian diperparah dengan aksi bom bunuh diri dan terorisme yang mengatasnamakan agama. Mereka melakukan teror di mana-mana untuk memberikan efek ketakutan kepada publik. Alhasil, citra Islam sebagai agama cinta damai makin tercoreng karena ulah kelompok muslim yang sempit dalam memahami ajaran Islam.

Semangat Berislam Baru

Islam diambil dari derivasi kata ‘As-Salam’ yang berarti damai. As-Salam adalah salah nama dalam asmaul husna (nama baik Allah SWT). Nama itu juga sering disebut umat Islam dalam mendekatkan diri kepada Allah SWT, baik ketika shalat dan berdoa. Sebab itu, kata As-Salam dalam jagad bumi ini begitu berharga dalam kehidupan umat manusia.

Kamu sekalian tak masuk surga sehingga menjadi kaum yang beriman. Kamu sekalian tak termasuk kaum yang beriman sehingga saling mencintai. Tidakkah aku berikan petunjuk bagi kalian agar saling mencintai? Sebarkanlah salam di antara kalian (HR. Muslim dari Abu Hurairah).

Dalam hadist lain juga disebutkan mengenai betapa pentingnya menebar salam(kedamaian).“Sesungguhnyamanusia yang paling utama dirahmati Allah adalah orang yang memulai di antara mereka dengan ucapan salam” (HR Abu Dawud dan At-Tirmidzi dengan kualitas sanad yang baik. Menurut At-Tirmidzi, ini hadist hasan).

Maka itu, menyongsong tahun baru 1438 H ini, kita perlu dengan semangat berislam baru. Semangat berislam yang hanya menganggap dirinya paling benar dan mengkafirkan orang lain itu perlu kita ubah. Semangat menebar rasa takut ke publik seperti dengan aksi teror itu mesti dihentikan dan kita ubah dengan semangat yang baru.

Terhadap suatu perbedaan bukankah itu adalah hal wajar. Nabi Muhammad SAW pernah bersabda ikhtilafu ummati rohmatun. Perbedaan itu menjadi masalah kemudian jika disertai dengan takfir oleh satu kelompok kepada kelompok yang lain. Kita harus merubahan pandangan picik ini.

Mengenai aksi teror oleh kelompok ekstremis, menurut Syekh Thayyeb, mereka tersesat dan perlu diajak kembali kepada kebenaran, diingatkan akan larangan membunuh dan ancaman Allah kepada pembunuh. Menurutnya lagi, mereka juga perlu didorong untuk menghormati umat manusia. Memang Islam membolehkan membunuh musuh dalam peperangan, namun jika ada dari agama lain yang tak menyerang umat Islam, menurut Syekh lagi, Islam melarang untuk membunuhnya.

Akhir kata, momentum tahun baru Islam ini, mari kita berbenah, termasuk berbenah dengan semangat keberislaman kita. Islam adalah agama cinta damai, sehingga kepada pemeluknya diharapkan menjadi duta-duta pembawa cinta damai di muka bumi ini. Wallahu a’lam.

Facebook Comments