Tak Ada Wakil Tuhan dalam Politik: Mengungkap Bahaya Politisasi Agama Jelang Pilkada

Tak Ada Wakil Tuhan dalam Politik: Mengungkap Bahaya Politisasi Agama Jelang Pilkada

- in Narasi
40
0
Tak Ada Wakil Tuhan dalam Politik: Mengungkap Bahaya Politisasi Agama Jelang Pilkada

Tidak ada satu-pun calon kandidat politik dalam pilkada serentak 2024 yang hadir sebagai “wakil Tuhan”. Tuhan tak pernah melegitimasi kelompok mana-pun yang dianggap berhak menjadi pemimpin. Semua memiliki hak yang sama karena kita semua adalah (khalifah fil ardh) yang diperintahkan untuk berlomba-lomba dalam kebaikan (kontestasi politik) untuk menjadi pemimpin masa depan bangsa, demi tercapainya Baldatun Tayyibatun Warabun Ghafur.

Jadi, tak ada wakil Tuhan dalam kepentingan politik. Atau tak ada klaim ekslusif paling sesuai dengan syariat-Nya. Kita harus mewaspadai politisasi agama yang semacam itu. Politisasi agama pada hakikatnya bukan menjadikan agama sebagai ruh etis dalam aktifitas politik. Tetapi, politisasi agama adalah jalan yang kotor merobek marwah agama-Nya karena memperalat agama sebagai tunggangan politik

Politik itu adalah kepentingan yang sifatnya profan yang harus tumbuh berdasarkan etika kesucian Tuhan. Jangan jadikan politik itu suci lalu “diagamakan”. Kepentingan politik tetap sebagai bagian dari ijtihad bersama dalam membangun bangsa. Jadi, persaingan politik yanh sehat, penuh argumentatif dan tolerant harus kita bangun. Jangan terjebak ke dalam politisasi agama.

Seperti yang disampaikan Kuntowijoyo tentang apa yang Beliau sebut sebagai demistifikasi agama itu. Bahwa memisahkan agama dari kesakralannya untuk menyikap makna-makna substansial bagaimana agama hidup sebagai tata-nilai kehidupan umat manusia yang bisa membawa maslahat. Jadi, bukan sekadar stagnan pada wilayah kesakralan agama yang dijadikan tempat untuk taklid buta.

Segala sesuatu yang sakral dalam agama (teks suci) itu bukan dipahami sebagai “berhala” yang tak bisa diganggu-gugat. Kebenaran yang sakral (teks suci) akan selalu relevan dengan konteks (makna) yang mendasari di dalamnya. Dalam konteks politik, tak ada kepentingan politik yang dianggap paling layak dan paling sesuai ajaran agama. Jadi, di sinilah pentingnya menyingkap benalu kepentingan politik yang kerap disakralkan itu.

Sebagai kekeliruan yang sangat besar apabila kita menaruh “ketundukan buta” atas apa yang disebut sebagai sesuatu yang sakral dalam wilayah politik. Sebagaimana dalam realitas sosial, segala yang sifatnya profane (seperti kepentingan politik) kerap disakralkan dan dimanfaatkan sebagai alat untuk membangun ketundukan yang buta. Demistifikasi agama bukan berarti menghilangkan kesakralan atau kesucian agama itu. Tetapi, adalah upaya untuk (menyingkap) sesuatu yang sakral agar lebih jelas makna dan relevansinya.

Seperti yang ditegaskan oleh Kuntowijoyo, segala yang sakral itu pasti mengacu pada tiga unsur. Pertama, terciptanya integrasi makna ke realitas sosial. Kedua hadirnya internalisasi makna dalam kehidupan sosial. Ketiga, adanya obyektifikasi antara teks dan kebenaran konteks (makna). Dalam konteks membaca politik, tentu tidak ada yang sakral dalam kepentingan politik. Politik yang diintegrasikan dengan kesucian agama bukan melahirkan sakralisasi politik, tetapi memancarkan kebijaksanaan dalam berpolitik. Begitu juga, internalisasi agama dalam kepentingan politik akan menumbuhkan etika politik yang membawa maslahat.

Tak ada kebenaran tunggal yang disucikan dalam politik. Sebab secara objektif kesucian agama selalu menghendaki keragaman dalam konteks persaingan politik sebagai kerahmatan. Sakralisasi politik itu benalu dan menjadi satu penyakit yang membuat seseorang mengalami ketundukan yang buta. Misalnya, sebut saja gerakan sakralisasi politik kaum radikal yang selalu berhasrat untuk menegakkan khilafah atau negara Islam di negeri ini.

Secara kontekstual, tidak ada relevansi teks tentang kebenaran (negara politik khilafah/negara Islam) yang terbentang di dalam Al-Qur’an. Tentu, konteks relevansi sesuatu yang sakral akan beriringan apa yang membentang dari teks itu. Apa yang Saya sebut sebagai “benalu” dari sakralisasi politik, bahwa kesakralan sebuah kepentingan politik kehilangan (relevansinya). Tidak ada yang sakral dalam politik dan kepentingan politik tak pernah terikat oleh sesuatu yang sakral dalam agama.

Apa yang ditegaskan oleh Kuntowijoyo adalah berupaya untuk membebaskan sesuatu yang sakral lepas dari adanya motif sakralisasi kepentingan-kepentingan politik yang kotor itu. Segala yang sakral perlu ditelaah, dianalisis, dipahami konteks-nya dan diamati orientasi kebenarannya. Sebab. Kesucian dalam agama pasti banyak berbicara ke dalam kebenaran yang membawa maslahat. Demistifikasi agama sebagai satu kesadaran kita untuk melepas segala bentuk ketundukan buta dan fanatisme di balik yang sakral itu. Seperti melepas jeratan kaum radikal yang kerap mengklaim sebagai wakil Tuhan.

Facebook Comments