Media Berkumpul dan Bergaul
Di Tokyo dan sekitarnya terdapat banyak taman kota yang berfungsi sebagai tempat bermain, olah raga, dan bersantai. Ada yang berukuran kecil seluas lapangan sepak bola, tapi ada yang seluas Kebun Raya Bogor. Di wilayah kota Ichikawa (10 Km dari Tokyo) tempat saya tinggal, terdapat delapan-puluhan taman kota yang recommended untuk dikunjungi (www.ichikawacity.go.jp).
Taman kota (city garden) tak lain adalah ruang hijau, halaman bersama hunian urban di lingkungan RT, RW, kampung, kecamatan, hingga kota. Setiap wilayah berlomba menyediakan taman karena keberadaannya mendukung aspek kesehatan, pendidikan, budaya, bahkan ekonomi masyarakat sekitarnya. Taman berfungsi sebagai tempat bersosialisasi masyarakat dari berbagai lapisan.
Sementara bagi anak-anak, taman merawat kesegaran jasmani dan rohani anak lewat aktifitas bermain dan olahraga bersama. Taman melatih penggunanya untuk merawat dan menjaganya. Di taman semua orang bisa mengerti kenapa semua harus membuang sampah di tempat yang benar. Taman juga menciptakan sumber ekonomi baru bagi masyarakat sekitar. Saya sendiri pilih tempat tinggal dekat dengan taman karena alasan non-mainstream. Jepang adalah pusatnya gempa bumi, saya selalu membayangkan jika terjadi gempa, kami sekeluarga bisa lebih cepat mencapai tempat yang aman dari segala kemungkinan buruk, khususnya agar tidak tertimpa bangunan yang runtuh.
Melihat anak-anak, muda-mudi dan orang tua beraktifitas dan bersenang-senang di taman, saya semakin memahami bahwa membangun taman sama dengan berinvestasi tanpa rugi pada sedikitnya empat bidang sekaligus: kesehatan, pendidikan, ekonomi, dan social security. Kehidupan kaum urban Tokyo yang stressful bisa dikurangi dengan berolahraga dan bersantai di taman.
Teori ilmu pengetahuan yang diajarkan di sekolah bisa diperkuat dengan pengalaman observasi berbagai objek dan kebiasaan di taman. Café dan restoran serta bidang bisnis lainnya juga bisa mengambil nilai tambah dari indahnya landscape dan ramainya pengunjung taman. Sehingga jangan heran harga jual atau sewa rumah yang berlokasi dekat taman relative lebih mahal. Pada gilirannya, pemahaman akan urgensi taman menumbuhkan kesadaran di kalangan warga sekitar dan akan kewajiban menjaga dan tanggungjawab bersama terhadap lingkungan mereka.
Di Indonesia, taman-taman di Tokyo itu sebenarnya berfungsi mirip seperti langgar (surau di Minang) dan masjid tempo dulu yang terintegrasi dengan halaman luas khas alam pedesaan dan memiliki fungsi sosial yang sangat kuat. Adapun surau dan masjid di kota-kota besar sekarang (bahkan di desa) sudah tidak bersahabat lagi. Mereka terkesan mencurigai ‘tamu’ yang datang.
Selain pagar dan pintu yang selalu terkunci di luar waktu shalat, acap kali pengurus menempel tulisan ‘di larang tiduran di dalam masjid’ atau ‘anak-anak di larang berisik’. Sering juga dijumpai masjid yang memasang jam dinding (juga AC) yang ditutup teralis besi dan dikunci rapat-rapat dengan gembok. Belum lagi tulisan ‘anda memasuki kawasan berbusana Muslim/Muslimah.’ Di Jakarta bahkan ada masjid yang menolak dikunjungi gubernurnya sendiri hanya karena beda agama!
Padahal dahulu langgar dan masjid itu tidak hanya tempat mengaji dan sembahyang, tapi juga tempat bermain dan praktek langsung bagaimana menjaga kebersihan, keindahan, dan juga kekompakan anak-anak di sekitarnya. Bermain sepak bola, bulutangkis, petak umpet, congklak, soteng, perang-perangan dan sebagainya –yang nyaris punah sekarang—, selalu dilakukan di halaman langgar. Mandi, buang air kecil bahkan-kadang kadang buang hajat besar juga dilakukan di toilet langgar. Anak-anak bisa melakukan permainan apapun sebelum dan sesudah waktu shalat. Para musafir yang kepanasan atau kemalaman juga tidak dilarang tidur di dalam masjid.