Ideologi Pancasila bukanlah konsepsi yang lahir dari langit, bukan juga lahir dari pemikiran ekstrim ‘Barat’ maupun ‘Timur’,bukan ideologi contekan, melainkan Pancasila sebagai dasar negara merupakan hasil penggalian terhadap kepercayaan, kepribadian, dan wawasan kebangsaan yang telah mengakar dalam kultur kehidupan masyarakat. Pancasila adalah ideologi yang lahir sebagai representasi jati diri bangsa Indonesia yang bercita membentuk tatanan masyarakat yang adil dan sejahtera, dibungkus dengan semangat persatuan.
Pancasila adalah karya bersama, yang merupakan hasil dari pergumulan gagasan dari tokoh pendiri bangsa dengan mengambil nilai luhur dalam lintas sejarah bangsa Indonesia. Pancasila bukan milik kaum terpelajar, kaum nasionalis, bukan milik agama tertentu apalagi milik kaum sekuler. Melainkan Pancasila adalah milik bersama seluruh rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Dengan Pancasila negara dengan jumlah kepulauan terbesar dapat disatu-padukan. Dengannya pula negara yang berbeda suku, budaya, bahasa, dan agama dapat dipersatukan.
Jika kita melihat realitas bangsa-bangsa di dunia belum pernah ada bangsa yang dapat dipersatukan ditengah keberagaman yang dimiliki. Bahkan di negara yang satu ras ataupun agama sekalipun dapat terpecah belah karena kesamaan yang ada. Justru hanya di Indonesia lah negara yang begitu plural namun dapat sejalan cita dan spirit dalam bernegara.
Maka alasan apalagi yang membuat kita patut tidak percaya terhadap Pancasila. Bukankah Pancasila dalam lintasan sejarah kebangsaan kita telah mampu menyatukan perbedaan menjadi jati diri bangsa kita? Bukankah pula dengan Pancasila, negara Indonesia mampu menemukan konsensus win-win solution bagi semua golongan tanpa ada yang merasa termajirnalkan?
Melihat realitas kehidupan kekinian gejala intoleransi yang mencuat ke permukaan bukan berarti menunjukkan kelemahan Pancasila yang kemudian Pancasila itu mesti diganti dengan ideologi/falsafah negara yang lebih kontekstual, bukan? Ibarat orang sakit, yang mesti dibuang adalah penyakitnya bukan orangnya. Sama halnya dengan Pancasila. Pemikiran yang demikian menandakan pemahaman terhadap Pancasila masih tekstual, tidak sampai pada level kontekstualitas apalagi aktualitasnya. Maka, sejak sekarang juga pemahaman terhadap Pancasila perlu direkontruksi sehingga dapat dipahami sesuai dengan jalannya yang benar, begitu kira-kira.
Lalu pertanyaannya apa yang dapat dilakukan dalam membumikan Pancasila? Tentu tidak jauh-jauh dari internalisasi nilai-nilai Pancasila secara menyeluruh dalam setiap sendi kehidupan berbangsa dan bernegara, baik dalam ekonomi, politik, hukum, dan pendidikan. Tentu menjadi tugas bersama untuk membumikan nilai Pancasila sembari terus mengupayakan pencegahan terjadinya kerenggangan dalam tubuh bangsa.
Dalam upaya penguatan pemahaman terhadap Pancasila menjadi penting kemudian menyasar pemuda sebagai pelaku sekaligus sasaran dari upaya pembumian nilai Pancasila. Mengapa demikian? Sebab, pemuda selain sebagai agent of change juga merupakan iron stock, ke depan akan menjadi pemimpin penerus perjuangan bangsa. Maka menjadi penting untuk menyasar pemuda. Jika tidak maka negara kehilangan calon pemimpin yang mengenal jati diri bangsanya, apalagi modernisme ternyata telah menggerus idealisme pemuda, membuat pemuda melupakan jati diri bangsanya. Padahal ‘idealisme adalah kemewahan terakhir yang dimiliki pemuda’ seperti yang diucapkan Datu Ibrahim Tan Malaka. Sejarah juga membuktikan bahwa gerakan perlawanan terhadap rezim penjajahan bahkan Proklamasi kemerdekaan di inisiasi oleh pemuda.
Lalu apa yang dapat dilakukan oleh pemuda. Pertama, merubah mindset. Pemahaman terhadap Pancasila mesti dipahami bukan hanya sebagai ideologi statis yang mempersatukan, melainkan juga sebagai ideologi dinamis yang dapat menuntun bangsa dalam mencapai tujuannya. Sehingga Pancasila dapat menemukan urgensinya sebagai sumber jati diri, kepribadian, moralitas sekaligus haluan pengarah pada kesejahteraan dan keadilan bagi segenap rakyat.
Kedua, melakukan aktualisasi nilai-nilai Pancasila dari cara-cara yang sederhana dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya dengan cara saling menghargai baik antar individu, komunitas, maupun antar agama. Saling mendukung dan menguatkan dalam kegiatan-kegiatan yang positif.
Ketiga, membangun relasi dan berjejaring baik dengan sesama pemuda maupun komunitas yang konsiten dan komitmen mempertahankan Pancasila, komitmen memperjuangkan cita-cita kebangsaan. Relasi ini diperlukan untuk menggalang kekuatan untuk menghalau segala hal yang dapat melemahkan bangsa. Dengan menerapkan ketiga hal tersebut, maka menjadi mungkin slogan ‘Pancasila Kuat, Indonesia Hebat’ dapat terwujud.