Tantangan dan Peluang Penanggulangan Terorisme di Era Prabowo

Tantangan dan Peluang Penanggulangan Terorisme di Era Prabowo

- in Narasi
23
0
Tantangan dan Peluang Penanggulangan Terorisme di Era Prabowo

Predikat zero terrorist attack di akhir masa pemerintahan Joko Widodo sekilas tampak menorehkan catatan positif ihwal penanggulangan terorisme di Indonesia. Padahal, aksi teror hanyalah puncak gunung es. Proses terjadinya aksi yang melandasi gunung es itu, seperti intoleransi, radikalisasi, dan rekrutmen, sangat laten dan masih bergerak membentuk pucuk gunung es yang baru.

Lihat saja, Densus 88 Antiteror menangkap dua terduga teroris di OKU Timur, Sulawesi Selatan. Di awal November, Densus 88 juga menangkap tiga terduga terorisme di tiga tempat berbeda, Kudus, Demak, dan Solo (Antara, 2024). Bersama Brimob Polri, Densus 88 telah menangkap 181 tersangka kasus terorisme selama 2023 sampai 13 November 2024 (Harakatuna, 2024).

Situasi tersebut menegaskan bahwa agenda penanggulangan terorisme belum selesai. Kerja-kerja ini yang akan ditanggung presiden ke-8 Prabowo Subianto dalam lima tahun masa pemerintahannya ke depan.

Prabowo Subianto dan Kelompok Konservatif

Menilik lini masa aktivitas politik Prabowo pasca Pilpres 2014, sudah bukan rahasia umum lagi jika ia dekat dengan kelompok Islam konservatif. Dengan Presidium Alumni (PA) 212 dan FPI misalnya (Tempo, 2018).

Imam besar FPI, Rizieq Shihab menyimpan masa lalu romantis dengan Prabowo. Lihat saja bagaimana Prabowo menjanjikan jaminan kepulangan Rizieq Shihab yang kala itu masih berada di Timur Tengah (CNN, 2019). Janji ini adalah kampanye politis untuk mengamankan potensi suara kelompok FPI yang sangat tunduk pada imam besarnya.

Dalam buku Politik Syariat Islam (2004), Syamsu Rizal dan Taufik Adnan Kamal mengatakan bahwa sejak awal, FPI punya relasi akrab dengan orang-orang di sekitar Soeharto dan para elite politik dan militer. Dia bisa mesra dengan Prabowo. Lalu ketika Prabowo diberhentikan dari TNI akibat kasus penculikan aktivis, FPI mulai mesra dengan Jenderal Wiranto. Saking akrabnya mereka, saat Wiranto diperiksa terkait dugaan pelanggaran HAM dalam kasus Mei 1998, ratusan milisi FPI turun gunung menduduki Kantor Komnas HAM dan menjadi kelompok pertama melawan demonstran.

Tak hanya itu, Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) Ulama juga memiliki kedekatan dengan Prabowo. Mereka bahkan memberi rekomendasi untuk calon wakil presiden yang mendampingi Prabowo. GNPF Ulama secara terang-terangan menyatakan deklarasi dukungannya terhadap Prabowo-Sandi pada Pilpres 2019. Dua kelompok di atas menjadi salah satu mesin politik Prabowo-Sandi di Pemilu 2019.

Namun, dukungan kelompok konservatif itu tidak bertahan lama. Pasca Pilpres 2019, GNPF-Ulama dan PA 212 kompak menyatakan mereka tidak lagi dalam barisan pendukung setelah Prabowo melakukan pertemuan dengan Jokowi di MRT Jakarta (CNN, 2019).

Juru Bicara PA 212 Novel Bamukmin menjelaskan, kekecewaannya makin besar lantaran mantan Danjen Kopassus dan bekas menantu Soeharto itu tak lebih dulu berkomunikasi dengan PA 212 sebelum bertemu Jokowi. PA 212 tak pernah merestui rekonsiliasi itu. PA 212 bahkan membawa isu ini dalam ijtima’ ulama ke-4 mereka.

Hanya saja, Prabowo tampaknya tidak ambil pusing gerbong politiknya berkurang. Toh alasan kedua belah pihak saling “merangkul” juga berdasar pada pragmatisme politik semata. GNPF-Ulama dan PA 212 mengusung Prabowo karena dianggap anti-tesis dari Jokowi. Pun Prabowo juga hanya “mewadahi” kelompok-kelompok yang tidak mungkin berada dalam gerbong Jokowi itu. Dalam politik praktis apalagi yang sudah terpolarisasi, penting menampung semua potensi massa, utamanya yang berseberangan dengan rival politik. “The enemy of my enemy is my friend”, begitu lah kira-kira bentuk dari relasi itu.

Tetapi relasi ini rapuh. Selain karena rekonsiliasi Prabowo-Jokowi, partai Prabowo Gerindra juga sangat kuat citranya sebagai partai nasionalis. Ini yang menjelaskan mengapa Prabowo terlihat “menggunakan” kelompok konservatif dengan tetap menjaga jarak agar tidak terkecoh dengan mobilisasi kelompok-kelompok Islam kanan itu.

Pragmatisme Politik vis-à-vis Komitmen Stabilitas Nasional

Lepasnya GNPF-Ulama dan PA 212 dari barisan pendukung Prabowo membuktikan betapa lenturnya gerak politik praktis sekaligus memberikan sinyal betapa dinamisnya gerbong ormas keagamaan yang mengawal majunya ke kursi presiden.

Pragmatisme politik di satu sisi meniadakan tendensi Prabowo untuk memberi ruang khusus pada kelompok-kelompok konservatif di ruang publik. Tetapi ini juga berarti bahwa pendekatan pragmatisme politik yang diterapkan Prabowo mencerminkan kesediaannya untuk beradaptasi dengan berbagai kelompok politik demi mencapai tujuan strategis.

Hubungan Prabowo dengan kelompok-kelompok yang disebut di atas memberikan gambaran bahwa Prabowo siap menggunakan segala potensi politik untuk mendongkrak posisi dirinya di peta politik Indonesia.

Dalam konteks penanggulangan terorisme, pragmatisme ini bisa menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi, keberpihakan kepada kelompok radikal dapat menguntungkan dari sudut pandang politik praktis, tetapi di sisi lain, hal ini menimbulkan kerugian dalam aspek keamanan nasional jika kebijakan yang diambil cenderung mengabaikan potensi bahaya kelompok-kelompok tersebut.

Jika Prabowo terlalu mengutamakan pendekatan pragmatis ini, ia bisa terjebak dalam situasi yang sulit; bagaimana mengakomodasi berbagai kelompok politik sambil tetap menjalankan kebijakan yang tegas terhadap ancaman terorisme dan radikalisasi. Ini akan menjadi ujian berat bagi Prabowo, mengingat kesulitan dalam memisahkan politik praktis dari kebutuhan untuk menjaga keamanan dan stabilitas nasional.

Memang kita belum bisa menghakimi Prabowo ihwal penanggulangan kelompok-kelompok radikal teroris karena ia baru saja menjabat. Namun demikian, karakter permisif ini tak lantas membuat isu radikalisme dan terorisme luput dari wacana Prabowo.

Walau bagaimanapun Prabowo adalah seorang jenderal kehormatan yang pernah menduduki banyak jabatan strategis dalam karir militernya. Situasi ini menguatkan betapa besar komitmennya menjaga stabilitas bangsa dan persatuan NKRI.

Dalam konteks politik, terdapat beberapa gestur positif dari Prabowo tentang komitmen itu. Sebelumnya dalam masa kampanye, Prabowo banyak bersilaturahmi ke forum-forum ormas keagamaan moderat seperti NU dan Muhammadiyah. Misalnya pada 24 November 2023 lalu, Prabowo menghadiri Dialog Publik PP Muhammadiyah di Universitas Muhammadiyah Surabaya.

Dalam sesi diskusi, berkaitan dengan penanggungan radikalisme, terorisme, dan ekstremisme, Prabowo mengatakan bahwa tiga masalah itu rentan muncul di saat sebagian rakyat kita hilang harapan terhadap masa depan dan/atau menerima ketidakadilan.

Orang yang kehilangan harapan dan diperlakukan tidak adil adalah lahan subur untuk terorisme, radikalisme, dan ekstremisme. Itu menurut saya.” Ujarnya.

Pada aspek yang lain, Prabowo Subianto memasukkan tiga sekjen organisasi massa Islam terbesar di Indonesia dalam posisi-posisi yang strategis dalam kabinet Merah Putih-nya. Sekjen Nahdlatul Ulama Saifullah Yusuf sebagai menteri sosial, Sekjen Muhammadiyah Abdul Mu’ti sebagai menteri pendidikan dasar dan menengah, dan Sekjen Syarikat Islam Ferry Juliantono sebagai wakil menteri koperasi dan UMKM (inilah.com, 2024).

Artinya, selain tetap menaruh perhatian pada isu radikalisme dan terorisme, Prabowo sangat memberikan kepercayaan kepada organisasi Islam moderat untuk mengawal lini-lini strategis, seperti pendidikan dan kesejahteraan sosial. Dua sektor ini linier dengan apa yang diutarakan Prabowo tadi soal lahan subur radikalisme, yakni harapan pada masa depan (pendidikan) dan isu kesejahteraan dan keadilan (sosial).

Mengawal Zero Terrorist Attack hingga Menertibkan Ormas

Berdasarkan dataThe Global Terrorism Index2024 yang dikeluarkan Institute for Economics and Peace (IEP), Indonesia menduduki peringkat ke-31. Artinya, tantangan pemerintahan Prabowo dalam penanganan paham radikal terorisme masih panjang. Tentunya, hal ini membutuhkan strategi dan berbagai upaya baru dari pemerintah dalam penanganannya.

Ada empat isu utama yang harus menjadi prioritas Prabowo Subianto soal penanggulangan terorisme. Pertama adalah menjaga status zero terrorist attack. Bisa dibilang nihilnya serangan teror terbuka pada tahun 2023 adalah buah dari kolaborasi aktif antara Densus 88, BNPT, dan para pemangku kepentingan terkait.

Kejadian landai aksi teror ini terakhir terjadi pada 2020. Tetapi wajar karena pada tahun tersebut tidak banyak, atau bahkan tidak ada, keramaian signfikan di ruang publik akibat Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) se-Indonesia karena pandemi Covid-19. Situasi tersebut tidak menguntungkan bagi kelompok teror, maka wajar jika aksi teror cenderung nihil.

Pada tahun 2025 dan seterusnya, kelompok radikal teroris bisa saja mengkonsolidasikan kekuatan mereka dengan instrumen-instrumen yang lebih mutakhir. Dalam lini masa sejarah Indonesia pasca kemerdekaan, ketahanan kelompok radikal terorisme dalam “memperjuangkan” dakwahnya sangat kuat. Ini adalah tantangan yang harus menjadi concern dalam kepemimpinan Prabowo.

Kedua adalah memantau pergerakan kelompok-kelompok teror kecil yang terlihat lemah, seperti JAT, JAD, JAS dan sel-sel tidur teroris yang bisa muncul sewaktu-waktu. Kelompok teror besar yang saat ini sudah bubar, Jamaah Islamiyah mempunyai semacam komitmen perjuangan, “dakwah sebelum jihad”. Kredo ini tampaknya diadaptasi oleh kelompok-kelompok ekstrem yang lain. Pada akhirnya, mereka akan menantikan momentum “jihad” itu ketika dakwahnya sudah dirasa tuntas.

Gerakan senyap ini yang harus diantisipasi. Prabowo tidak boleh lengah dari kelompok yang sedikit dan terlihat lemah ini. Mereka justru lebih solid dan dapat mengkoordinasikan anggotanya dengan lebih optimal.

Ketiga, menekan swa-radikalisasi. Millenial, Gen Z, dan Gen Alpha adalah wajah demografi dalam rentang kepemimpinan Prabowo lima tahun mendatang. Terutama Gen Z, mereka termasuk generasi kritis yang diasuh oleh pola hidup yang instan. Konsekuensinya, mereka bisa saja berisik mengkritik, tetapi sebetulnya dangkal secara literasi.

Menurut Gen Z, merasa skeptis terhadap negara mungkin dianggap sikap kritis yang perlu dilakukan dalam konteks kebebasan berekspresi. Tetapi menurut eks anggota JI yang belum bertobat, HTI, atau JAD, sikap kritis pemuda ini menjadi indikasi target dan siap untuk dikelola lebih lanjut secara ideologis.

Melihat dari wacana dalam kampanye Prabowo, kebijakan yang memprioritaskan sektor pendidikan dan kesejahteraan sosial menjadi penting, karena masalah radikalisasi tidak hanya bisa diselesaikan dengan operasi keamanan semata. Pendekatan ini seharusnya lebih holistik, dengan mengoptimalkan sektor pendidikan dan pelatihan keterampilan bagi Gen Z dan Gen Alpha.

Keempat, menertibkan ormas yang terindikasi berpaham radikal terorisme. Tantangan ini barangkali menjadi yang paling kompleks. Berdasar relasi masa lalu, Prabowo adalah produk politik yang cenderung mengoptimalkan semua potensi suara meskipun itu dari kelompok radikal seperti FPI.

Tetapi jika Prabowo mengendaki harmonisasi sosial yang menjadi janji kampenya, kelompok-kelompok radikal teroris harus dieliminir seperti ketika Jokowi membubarkan mereka lewat regulasi.

Pada 2019, Prabowo mungkin khawatir jika menindak mereka secara keras bisa mengancam basis dukungan politiknya. Tetapi kali ini tidak ada alasan untuk tidak menindak mereka berdasarkan alasan politis karena bagaimanapun narasi disintegrasi bangsa banyak keluar dari kelompok-kelompok ini.

Apakah Prabowo akan terus membiarkan mereka berkembang dengan imbalan dukungan politik, ataukah ia akan menekan kelompok-kelompok tersebut untuk menghindari potensi ancaman terhadap persatuan nasional? Kita lihat saja, yang bisa menjawabnya hanya Prabowo Subianto itu sendiri.

Facebook Comments