Algoritma Khilafah; Bagaimana Para Influencer HTI Mendominasi Semesta Virtual?

Algoritma Khilafah; Bagaimana Para Influencer HTI Mendominasi Semesta Virtual?

- in Narasi
35
0
Algoritma Khilafah; Bagaimana Para Influencer HTI Mendominasi Semesta Virtual?

Pasca dibubarkan dan dilarang pemerintah pada medio 2019 lalu, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) telah melakukan restrukturisasi besar-besaran pada organisasi dan gerakan mereka. Salah satunya dengan membentuk komunitas dan organisasi baru sebagai semacam cangkang pengaman gerakan. Dalam dunia bisnis, perusahaan cangkang itu biasanya dibentuk untuk menyamarkan bisnis haram, pencucian uang, atau pengelabuhan pajak.

Dalam gerakan sosial-politik, organisasi cangkang itu dibentuk untuk mengelabuhi pemerintah dan menyiasati aturan. Selain membentuk Karim (Komunitas Royyatul Muslim), HTI juga membangun sejumlah kanal digital sebagai media atau corong propaganda mereka. Menariknya, mereka tidak memakai embel-embel HTI atau pun mengangkat isu khilafah secara eksplisit.

Di YouTube misalnya, para eks-HTI aktif membangun sejumlah kanal. Antara lain, YukNgajiTV, Supremacy, Muslimah Media Hub, Back to Muslim Identity, We Are The Explorer, dan sejumlah kanal lainnya. Menariknya, mereka tidak secara eksplisit mempropagandakan khilafah. Melainkan lebih mengangkat isu-isu yang relevan dengan kaum muda saat ini.

Pelan, namun pasti kaum khilafahers ini berhasil membangun basis algoritma di media sosial. Konten mereka lambat laun berkembang, mendapatkan banyak reach, dan menarik banyak pelanggan dari beragam kalangan. Gaya penyampaian yang populer, ringan, dan menghibur menjadi semacam keunggulan dari kanal-kanal yang berafiliasi dengan HTI ini.

Maka, lahirlah para influencer baru HTI dari beragam latar belakang. Mereka besar di berbagai platform media sosial. Mulai dari Instagram, YouTube, sampai TikTok; tiga platform media sosial yang paling populer di kalangan milenial dan generasi Z hari ini. Dalam perkembangannya, para influencer HTI itu mendominasi semesta virtual umat Islam Indonesia.

Influencer HTI Sebagai Idola Baru Gen Z

Semesta virtual (virtual universe) itu maksudnya adalah dunia digital dimana umat Islam saling berinteraksi, dan mencari pengetahuan. Para influencer HTI sekaligus menjadi idola baru bagi kelompok generasi Z yang memang masih labil dalam beragama. Jika semesta virtual itu didominasi oleh para influencer HTI, bisa dibayangkan narasi keagamaan seperti apa yang berkembang di dalamnya.

Jika diamati secara detil, model komunikasi para influencer HTI itu seragam. Mereka kerap melontarkan pertanyaan retoris yang bertendensi menjebak. Inilah retorika fetakompli, yakni model komunikasi yang memaksa lawan bicara menyetujui gagasan. Retorika fetakompli ini membuat lawan bicara secara tidak sadar mengamini apa pun yang dikatakan oleh para influencer tersebut.

Contoh nyata misalnya, ketika para influencer HTI membahas tentang sistem pemerintahan ala Barat (Amerika dan Eropa) yang demokratis namun sekuler. Mereka kerap menampilkan sisi negatif dari sistem tersebut. Misal, pajak yang tinggi, masih adanya kesenjangan sosial, tingkat stress yang tinggi, dan sebagainya. Lalu, mereka mengakhiri kritiknya dengan satu kalimat “di sistem khilafah, semua masalah itu akan teratasi”.

Retorika fetakompli ini juga tampak pada bagaimana para influencer HTI menggiring opini masyarakat. Mereka kerap mempersepsikan segala problem ekonomi, politik, dan sosial itu akibat dari kegagalan demokrasi. Krisis ekonomi dianggap efek dari kegagalan demokrasi.

Kekerasan seksual terhadap perempaun dianggap sebagai efek kegagalan demokrasi. Buruknya pendidikan anak dianggap karena kegagalan demokrasi. Metode simplifikasi (menyederhakan persoalan yang kompleks) ini menggiring pandangan umat bahwa demokrasi itu buruk dan khilafah adalah solusi atas seluruh problem umat manusia.

Redesain Agenda Moderasi Beragama

Maka, umat pun lantas tergiring pada posisi tidak ada pilihan kecuali menerima argumen para influencer khilafah HTI tersebut. Model komunikasi berbasis retorika fetakompli yang tidak menyisakan ruang diskusi ini efektif mencuci otak umat.

Para influencer HTI seolah menempatkan dirinya sebagai pendengar, padahal mereka menganlir segala bentuk diskusi dan dialog ilmiah. Tokoh seperti Felix Shiaw atau Ismail Yusanto hampir pasti tidak mau berdialog dengan orang yang kapasitasnya mumpuni.

Mereka lebih senang berkolaborasi membuat konten dengan orang-orang yang sama sekali awam tentang Islam sehingga mudah disodori retorika fetakompli tersebut. Begitulah para influencer HTI membangun algoritma khilafah di alam virtual. Lantas, bagaimana kaum moderat harus bersikap dalam hal ini? Perang algoritma di jagad virtual memang tidak mudah. Modalnya bukan hanya kemampuan berkomunikasi, namun yang lebih penting adalah narasi. Apa gagasan yang akan kita tawarkan dan bagaimana gagasan itu ditawarkan.

Selama ini, konten terkait moderasi beragama, Pancasila, cinta NKRI masih kurang nge-pop, terkesan formalistik, dan tidak menarik bagi kalangan milenial dan gen Z. Konten-konten yang diapload oleh instansi pemerintah, tampak sekali nuansa amatirnya. Alhasil, reach yang didapat pun kalah jauh dengan konten para influencer HTI.

Maka, kaum moderat perlu mendesain kampanye moderasi beragama di ranah virtual yang lebih relevan dengan gaya hidup kaum muda kekinian. Isu-isu tentang moderasi beragama, Pancasila, cinta NKRI dan sejenisnya kiranya bisa disajikan melalui pendekatan yang lebih adaptif dan relevan dengan trend anak muda kekinian.

Facebook Comments