Tantangan & Peluang Rekonsiliasi Masyarakat Adat dalam Cetak Biru IKN

Tantangan & Peluang Rekonsiliasi Masyarakat Adat dalam Cetak Biru IKN

- in Narasi
107
0
Tantangan & Peluang Rekonsiliasi Masyarakat Adat dalam Cetak Biru IKN

Setiap perubahan besar hampir selalu melahirkan pergolakan yang besar juga. Kita masih sering menyebut era baru Reformasi sebagai ‘tragedi 1998’ untuk menegaskan gejolak sengit para pejuang yang jadi “tumbal” runtuhnya Orde Baru. Di era Kemerdekaan, banyak pihak yang sulit menerima rekonsiliasi para elit Nusantara dengan pihak kolonial dalam perundingan Linggarjati dan Renville. Tetapi Bangsa yang baru saja lahir itu perlu berbenah. Salah satu caranya adalah melalui dialog.

Semangat yang sama sedang ditunjukkan oleh Pemerintah Republik Indonesia dalam wujud pemindahan Ibu Kota Negara dari Jakarta ke Kalimantan Timur. Kali ini, pihak yang gelisah soal pemindahan ini adalah kelompok masyarakat adat di kabupaten Penajam Paser Utara. Utamanya ketika IKN dikebut jelang perayaan HUT RI ke-79 pada 17 Agustus 2024, sebagian masyarakat adat di PPU bersuara terkait hak-hak hidup mereka.

Ide pemindahan IKN sejatinya pertama kali dicetuskan oleh Presiden Soekarno tanggal 17 Juli 1957. Soekarno memilih Palangkaraya sebagai IKN dengan alasan Palangkaraya berada di tengah kepulauan Indonesia dan wilayahnya luas. Soekarno juga ingin menunjukkan kepada dunia bahwa bangsa Indonesia mampu membangun IKN yang modern. Ide Soekarno tersebut tidak pernah terwujud.

Sebaliknya, Presiden Soekarno menetapkan Jakarta sebagai IKN Indonesia dengan UU Nomor 10 tahun 1964 tanggal 22 Juni 1964. Keputusan itu mengingat Jakarta sudah kadung menjadi pusat pemerintahan dan administrasi sejak ia masih bernama Batavia. Dikhawatirkan karena kondisi ekonomi Indonesia yang belum mapan, realisasi IKN tempo dulu justru mengganggu stabilitas nasional.

Salah satu isu krusial masyarakat adat adalah soal tanah. Selain sebagai aset hunian, tanah bagi mereka adalah lahan bercocok tanam yang menopang kebutuhan hidup sehari-hari. Di antara yang bersuara adalah komunitas masyarakat adat Kampong Maridan dan Suku Balik di PPU. Mengutip dari Kompas, mereka memiliki ladang hijau yang kemudian dialihfungsikan sebagai bagian dari lahan pembangunan pusat IKN.

Sebenarnya, masalah pertanahan di Kalimantan Timur sudah jadi persoalan akut sejak lama. Klaim hak ulayat tumpang tindih dengan perizinan hak pengusahaan hutan (HPH), hutan taman industri (HTI), dan hak guna usaha (HGU), pertambangan, taman hutan raya (tahura), serta transmigrasi. Belum lagi hasil pendudukan oleh pihak-pihak tertentu lainnya. Kajian BRIN (2021) juga mengungkap bahwa fenomena spekulasi tanah juga meningkat belakangan ini dan kebijakan daerah untuk mengatasi persoalan ini sepertinya belum mempan.

Justru pembangunan IKN bisa menjadi momentum penyelesaian berbagai masalah pertanahan yang terjadi sejak puluhan tahun lalu itu. Masyarakat memiliki harapan adanya perbaikan regulasi pertanahan agar persoalan-persoalan yang ada dapat teratasi.

Perbaikan regulasi soal tanah ini sudah diproyeksikan pihak otorita IKN melalui mekanisme pemenuhan hak-hak komunitas terdampak IKN, termasuk masyarakat adat yang tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 65 Tahun 2022 tentang Perolehan Tanah dan Pengelolaan Pertanahan di Ibu Kota Nusantara hanya mengatur perolehan tanah dilakukan melalui dua mekanisme, yakni pelepasan kawasan hutan dan pengadaan tanah.

Memang tidak ada bab khusus yang mengatur perolehan tanah masyarakat adat. Tetapi, pelepasan kawasan hutan yang dilaksanakan pada kawasan hutan di Kawasan Strategis Nasional Ibu Kota Nusantara sudah ditegaskan untuk tetap memperhatikan dan memberikan perlindungan terhadap penguasaan tanah masyarakat adat, hak individu, atau hak komunal masyarakat.

Sementara pengadaan tanah dilakukan melalui mekanisme pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum ataupun pengadaan tanah secara langsung. Pengadaan tanah dilakukan dengan memperhatikan hak atas tanah masyarakat dan hak atas tanah masyarakat adat. Artinya, pengalihfungsian lahan itu bukan dalam rangka akuisisi, melainkan bentuk ‘re-organisasi’ lahan yang nantinya bisa diselesaikan melalui mekanisme pengadaan lahan yang sudah dibincang di atas.

Sebagaimana yang tercantum dalam RPJMN 2020-2024, IKN diproyeksikan mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan merata termasuk di Kawasan Timur Indonesia. Selama ini, Jakarta dan sekitarnya terkenal dengan pusat segalanya (pemerintahan, politik, industri, perdagangan, investasi, teknologi, budaya dan lain-lain). Tidak mengherankan jika perputaran uang di Jakarta mencapai 70 persen yang luasnya hanya 664,01 km² atau 0.003 persen dari total luas daratan Indonesia 1.919.440 km².

Sementara jumlah penduduknya 10,56 juta jiwa atau 3,9 persen dari jumlah penduduk Indonesia 270,20 juta jiwa (data tahun 2020).Tentunya, nawacita ini perlu didukung oleh berbagai pihak, baik oleh masyarakat sebagai warga negara dan Pemerintah sebagai penyelenggara negara.

Eksekusi IKN memang tumpang tindih di antara tantangan dan peluang yang ada. Dalam konteks masyarakat adat, salah satu tantangan pembangunan IKN adalah mengarusutamakan strategi budaya. Strategi ini dapat menumbuhkan rasa memiliki warga sekitar terhadap IKN. Pendekatan ini sering luput karena orientasi yang terlalu menitikberatkan pada peluang investasi asing. Sebab itu, ini menjadi tantangan pihak penyelenggara IKN untuk dapat berdialog dengan masyarakat adat yang terdampak.

Sedangkan salah satu peluang besarnya mengacu pada berbagai problem yang dihadapi komunitas adat di Kalimantan Timur, seperti masyarakat Paser, Suku Balik, dan sebagainya yang belum selesai. Itu terjadi puluhan tahun sebelum adanya penetapan IKN di sebagian Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara. Mereka menghadapi persoalan agraria lantaran terbitnya izin perkebunan, tambang, dan wilayah kelola hutan. Ia melihat pembangunan IKN semestinya bisa juga menjadi momentum untuk menyelesaikan masalah tersebut.

Peluang juga muncul dalam wujud adaptasi kearifan lokal masyarakat PPU. Ada semacam ramalan atau cerita yang dipercaya sebagian masyarakat Paser bahwa suatu saat akan ada peradaban besar di wilayah Kesultanan Paser. Saat IKN diumumkan di Kecamatan Sepaku, mereka mengaitkannya dengan ramalan tersebut. Menyadur Kompas, kisah atau ramalan itu terdapat dalamsoyong, sebuah rapalan dalam ritual belian masyarakat Paser. Salah satu versi yang mereka temukan, rapalan itu menceritakan kisah dua orang tokoh Ayus dan Siluq.

Suatu ketika, Ayus menetap di Kesultanan Paser. Sementara Siluq mengembara ke berbagai tempat. Siluq diyakini melahirkan banyak peradaban di luar daerah, bahkan di luar pulau. Adanya IKN itu diyakini sebagai lambang Siluq kembali ke tanah Paser. tu bisa menjadi modal kultural yang baik dalam pembangunan IKN. Secara psikologi-kultural, alam pikir sejumlah masyarakat Paser pada dasarnya sudah menerima IKN. Namun, sejumlah warga menerimanya dengan catatan, yakni tidak mengusik kehidupan warga.

Pemindahan IKN dari Jakarta ke Kalimantan pasti membawa pro dan kontra. Namun sebagai negara demokrasi, ketika Negara telah memutuskan memindahkan IKN dengan proses demokrasi melalui UU, seharusnya seluruh komponen bangsa mendukungnya. Bangsa Indonesia perlu meminimalisasi ekses pemindahan IKN. Tidak ada satu keputusan apapun yang memuaskan seluruh rakyat, namun keputusan yang memberikan manfaat lebih besar kepada bangsa Indonesia harus didukung sebagai wujud kecintaan dan bakti untuk NKRI.

Facebook Comments