Representasi Keberagaman di Ruang Publik Sebagai Indikator Kesetaraan

Representasi Keberagaman di Ruang Publik Sebagai Indikator Kesetaraan

- in Narasi
56
0
Tantangan & Peluang Rekonsiliasi Masyarakat Adat dalam Cetak Biru IKN

Tujuh dekade lebih sejak Indonesia merdeka, problem terkait keberagaman nyatanya masih belum sepenuhnya usai. Tempo hari kita diramaikan oleh kebijakan lepas jilbab bagi anggota Paskibra perempuan. Kebijakan itu akhirnya dibatalkan. Kepala BPIP, Yudian Wahyudi pun telah meminta maaf.

Selain kebijakan lepas jilbab yang dinilai diskriminatif, kita juga kerap mendapati kasus pemaksaan jilbab ke siswa sekolah negeri. Juga perlakukan diskriminatif terhadap siswi non-muslim yang tidak mengenakan jilbab. Problem terkait keberagaman ini tidak hanya terjadi di lingkup pendidikan.

Namun, juga terjadi di dunia korporasi dan masyarakat pada umumnya. Di dua korporasi misalnya, masih ada sejumlah perusahaan yang menolak mempekerjakan perempuan berjilbab. Sedangkan di masyarakat, perempuan tidak berjilbab justru kerap dianggap negatif. Maka, menjadi wajar jika fenomena jilbabisasi itu kini dimulai sejak anak usia dini.

Polemik ihwal jilbab hanyalah puncak dari fenomena gunung es problem keberagaman yang terjadi di masyarakat Indonesia. Dalam banyak hal, kita kerap gagap dalam mengelola keberagaman. Alhasil, kita kerap mengambil jalan pintas untuk mengelola perbedaan itu. Yakni dengan menyeragamkan perbedaan tersebut.

Bahaya Menyeragamkan Perbedaan

Seperti dilakukan pemerintah Orde Baru yang cenderung membatasi ekspresi keagamaan dan etnisitas di ruang publik. Di masa Orde Baru misalnya, jilbab menjadi hak yang sensitif. Pemakaian jilbab bahkan dianggap sebagai tindakan melawan negara. Demikian juga, simbol kebudayaan etnis Tionghoa dilarang diekspose ke ruang publik.

Strategi mengelola keberagaman ala Orde Baru itu ibarat menyimpan api dalam sekam yang suatu saat bisa terbakar. Terbukti, ketika Reformasi bergulir, konflik sosial berlatar identitas tidak terelakkan, bahkan tuntutan merdeka dari sejumlah wilayah pun bergema.

Kini, strategi pengelolaan keberagaman ala Orde Baru tentu harus ditinggalkan, karena tidak efektif. Keberagaman harus dikelola dengan memastikan bahwa setiap entitas budaya maupun agama punya ruang untuk merepresentasikan diri di ruang publik. Artinya, keberagaman identitas tidak boleh diberangus atau ditutupi, alih-alih harus hadir dalam ruang publik yang diskursif dan setara.

Kehadiran entitas yang beragam di ruang publik merupakan cerminan dari masyarakat Madani alias masyarakat yang berperadaban tinggi. Masyarakat Madani dicirikan oleh berbagai indikator. Mulai dari tegaknya demokrasi, sistem hukum yang adil, kebebasan pers, keberadaan masyarakat sipil yang kuat, serta adanya representasi keberagaman di ruang publik.

Representasi keberagaman di ruang publik ini menjadi prasyarat penting terwujudnya masyarakat Madani. Representasi keberagaman di ruang publik itu penting karena sejumlah alasan.

Mengapa Representasi Keberagaman itu Penting?

Pertama, representasi keberagaman di ruang publik akan menumbuhkan sensitivitas dan empati masyarakat atas keberadaan kelompok dengan latar belakang dan entitas yang berbeda di tengah kita. Tanpa kehadiran keberagaman di ruang publik, kita tidak akan pernah tahu bahwa ada kelompok dengan identitas dan latar belakang yang berbeda.

Kedua, representasi keberagaman akan mendorong terciptanya ekosistem sosial yang bertumpu pada sikap saling menghargai dan memahami serta hilangnya prasangka dan curiga dalam relasi antar-kelompok.

Ketiga, representasi keberagaman menandakan tidak adanya represi terhadap satu kelompok, baik oleh negara, maupun oleh kelompok sipil lainnya. Kehadiran entitas yang beragam menandai adanya kebebasan berekspresi di ruang publik.

Terkahir, representasi keberagaman menjadi modal penting untuk membangun persatuan yang hakiki. Persatuan dibangun bukan dengan menyeragamkan apalagi meniadakan perbedaan. Persatuan idealnya justru dibangun dengan memberikan ruang representasi bagi entitas yang berbeda-beda tersebut.

Ke depan, tugas pemerintah adalah memastikan ruang publik baik secara fisik maupun non fisik itu tetap bisa diakses oleh setiap entitas budaya dan agama yang hidup di Indonesia. Media massa populer seperti televisi idealnya menampilkan tontonan yang merepresentasikan heterogenitas masyarakat Indonesia. Saat ini, harus diakui bahwa televisi seolah hanya menampilkan wajah Jakarta (Jakartasentris).

Demikian pula, media sosial kiranya bisa menjadi ruang yang setara bagi setiap kelompok dengan identitas dan latar belakangnya masing-masing. Jangan sampai, media sosial justru menjadi ajang untuk mempersekusi secara verbal kelompok tertentu.

Dalam konteks ini, negara harus hadir memberikan jaminan agar masyarakat bisa hidup berdampingan. Negara tidak boleh membiarkan adanya tindakan intoleran atau arogan yang dilakukan satu pihak terhadap pihak lain atas nama penyeragaman identitas. Jangan sampai, negara jatuh ke jebakan “banalitas kejahatan” seperti diwanti-wanti oleh filosof Hannah Arendt. Yakni masyarakat yang hidup berdampingan, tapi terlibat konflik untuk membela kepentingan sendiri.

Arkian, mengelola keberagamaan haruslah berbasis pada kesetaraan. Dimana setiap entitas kelompok diberikan hak yang sama untuk mengekspresikan identitasnya di ruang publik tanpa adanya diskriminasi apalagi persekusi. Kesetaraan ruang publik sekaligus juga menjadi fondasi penting untuk membangun bangsa yang berperadaban maju.

Facebook Comments