Kelompok radikal terorisme yang saat ini berkembang semakin menggerogoti kebhinnekaan bangsa Indonesia. Mereka dengan berbagai retorikanya selalu bersungguh-sungguh merayu para masyarakat untuk menerima doktrin ideologi yang telah lama dibangunnya. Pemahaman-pemahaman masyarakat yang benar selalu dipelesetkan kepada kebencian, kekerasan, permusuhan dan keharusan untuk menghancurkan. Maka tidak heran jika kelompok radikal terorisme banyak mengorbitkan para pengantin.
Kini sebutan calon pengantin dan pengantin ditujukan kepada seseorang yang tidak melangsungkan pernikahan sebagaimana mestinya. Hal ini terjadi karena ada pergeseran makna yang signifikan dalam penyebutan tersebut. Istilah “Calon Pengantin” dan “Pengantin” ditujukan kepada seseorang yang bersedia melakukan bom bunuh diri. Menurut Abu Wildan yang merupakan teman dekat Nurdin M. Top, istilah calon pengantin ditujukan kepada para pelaku bom bunuh diri (bomber), karena sesuai dengan keyakinan dia bahwa dia akan mati dan meninggal dunia, merasakan akan mati syahid yang nantinya bisa diterima di sisi Allah dan masuk ke surga firdaus. Imbalan bagi orang mati syahid ialah berupa bidadari-bidadari yang menjadi pasangan pengantin bomber (nasional.news.viva.co.id/12/08/2009).
Pendapat lainnya sedikit berbeda, sebagaimana dilansir www.infonawacita.com yang menjelaskan bahwa mungkin karena akan bertemu dan menikah dengan bidadari-bidadari di surga, maka calon bom bunuh diri disebut dengan pengantin. Ketika bom meledak dan nyawanya melayang, maka hal tersebut disebut dengan perkawinan, yang diartikan sebagai pertemuan jiwa bomber dengan bidadari.
Ini artinya bahwa bom bunuh diri dianggap ritual yang skaral oleh para bomber, karena bisa memberikannya jaminan surga. Maka tidak heran doktrin semacam ini cepat merasuk dalam diri para pelaku bom bunuh diri yang sebenarnya tidak mengetahui kebenaran dari doktrin tersebut.
Jika ada pengantin-pengantin yang diorbitkan oleh kelompok radikal terorisme, lalu apakah ada pengantin-pengantin yang diorbitkan oleh negara dan agama kita?
Sebenarnya pengantin kebhinnekaan ini sudah ada sejak dulu, karena pengantin kebhinnekaan ini dibangun dengan asas agama dan negara, yang sangat menghargai dengan perbedaan karakteristik pasangannya dan keluarga serta tetangga-tetangganya. Selama ini kita seringkali mendengar istilah “Pengantin” dan “Calon Pengantin” di setiap acara pernikahan. Pengantin dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah orang yang sedang melangsungkan perkawinannya. Orang yang sedang melangsungkan pernikahan tersebut terdiri dari dua orang berbeda jenis kelamin, yaitu laki-laki dan perempuan. Pengantin merupakan orang laki-laki dan perempuan yang sedang melangsungkan pernikahan secara sah menurut agama dan negara. Sedangkan calon pengantin ialah orang yang akan melangsungkan pernikahannya sesuai dengan ketentuan agama dan negara.
Inilah pengantin kebhinnekaan yang telah ada sejak dulu. Ketika agama dan negara yang mengesahkan pernikahan sepasang pengantin, itu artinya pengantin kebhinnekaan bertambah lagi di Indonesia. Landasan agama dan negara yang menjadi tumpuannya, merupakan sebuah pengakuan yang konkrit bagi pengantin mengenai keragaman sistem di Indonesia.
Tantangan radikalisme dalam kebhinnekaan harus diperhatikan dengan baik, sekaligus ditanggulangi dengan cepat dan tepat. Melalui pengantin kebhinnekaan ini, mereka dapat membangun keluarga yang sakinah, mawadah dan rahmah. Mereka bisa membangun keluarga yang toleran terhadap siapapun dan bisa mengajak orang lain untuk mempertahankan kebhinnekaan yang ada dengan damai.
Kontrol Agama dalam Kebhinnekaan
Agama Islam telah menjelaskan bahwa hati manusia selalu dibolak-balikkan oleh Allah. Ini artinya, keistikomahan seseorang dalam mempertahankan kebhinnekaan selalu diuji dengan ujian-ujian yang tidak mudah. Pemberitahuan tersebut diiringi dengan pemberitahuan lainnya, yaitu perintah untuk berdoa kepada Allah agar selalu dimantapkan hatinya terhadap kebhinnekaan yang ada saat ini.
Perintah agama tersebut bukan hanya perintah tanpa makna, tetapi perintah agama tersebut merupakan kontrol bagi para manusia untuk selalu mengendalikan pergerakan hatinya. Jangan sampai hatinya yang semula baik berubah menjadi garang dan menyakiti orang lain. Berdoa merupakan langkah konkrit bagi umat Islam untuk mengendalikan hati dan menjaga keutuhan persaudaraan yang beragam ini. Radikalisme agama yang selama ini ingin menggerogoti keutuhan kebhinnekaan kita harus diredam dengan cepat dan tepat jika masyarakat bisa mengendalikan diri.
Dengan demikian, agama di Indonesia bukanlah sebagai lawan dari kebhinnekaan yang ada. Agama Islam tidak memaksanakan persamaan, tetapi sebaliknya yang selalu menghargai keragaman. Oleh karena itu, Agama Islam sangat bisa dan pantas untuk menjunjung tinggi dan mempertahankan kebhinnekaan yang ada di Indonesia.