Perkembangan politik dan keagamaan yang terjadi di Indonesia belakangan ini sungguh menyita banyak tenaga dan menjadikan masyarakat setidaknya terbelah menjadi dua kelompok. Terlebih ada kasus penistaan agama, yang semakin hari semakin menunjukkan jurang pemisah antar anak bangsa.
Jika para ahli hukum dan tokoh nasional mengatakan bahwa semua akan kembali normal pasca pilkada usai. Namun, prediksi tersebut meleset jauh. Oleh sebab itu, dalam kondisi bangsa yang mulai menguatkan ego sektoral dan primordial, tidak ada cara lain selain kembali pada semboyan yang telah susah payah dirumuskan dan menjadi kesepakatan semua warga Indonesia tanpa terkecuali, yaitu Bhinneka Tunggal Ika.
Jika Bhinneka Tunngal Ika ditinggalkan, maka hal ini sama halnya dengan menggali lubang masa depan Indonesia lebih awal. Sebab, perbedan tidak lagi bisa dipersatukan sehingga mustahil perdamaian dapat terwujud.
Terkait kondisi mutakhir di Indonesia, cendekiawan muda Indonesia, melalui sebuah esainya mengingatkan dan menegaskan akan urgennya menjunjung tinggi persaudaraan dan persatuan. Ia adalah Muhammad Ainun Nadjib atau yang akrab disapa Cak Nun. Dalam esainya yang berjudul “Bangsa Yatim Piatu”, Cak Nun mengatakan sekaligus menginatkan kepada kita semua, bahwa “Bangsa Indonesia segera akan tiba pada salah satu puncak eskalasi pertengkarannya di antara mereka sendiri sesaudara. Salah satu hasil minimalnya nanti adalah tabungan kebencian, dendam dan permusuhan masa depan yang lebih mendalam. Maksimalnya bisa mengerikan. Kita sedang menanam dan memperbanyak ranjau-ranjau untuk mencelakakan anak cucu kita sendiri kelak.
Benar, hari-hari ini anak bangsa selalu menonjolkan perbedan dihampir segala lini kehidupan. Perbedaan seolah tidak lagi menjadi keberkahan. Perbedaan juga tidak lagi dirayakan sebagai kekayaan bangsa Indonesia yang memang diciptakan oleh Tuhan Semesta Alam sebagai negeri yang multikultural.
Padahal, para pendiri bangsa (founding fathers)—yang harus kita akui dan sadari bahwa merekalah yang lebih tahu-menahu akan karakter dan seluk-beluk bangsa dan negara Indonesia—sudah bersepakat untuk merawat keragamaman ini dalam bingkai Pancasila dan semboyan Bhineka Tunggal Ika.
Jika kita tahu dan paham sejarah, konsep Bhinneka Tunggal Ika yang dicetuskan oleh founding fathers kita bukan tanpa lasan. Bahkan, alasan mereka adalah menyangkut jangka panjang bangsa dan negara Indonesia, yakni masa depan Indonesia tercinta. Hal ini terlihat dari makna filosofis Bhinneka Tunggal Ika itu sendiri.
Filosofi konkret Bhinneka Tunggal Ika adalah mempersatukan keragaman budaya. Sebagai negara yang memiliki ribuan pulau, dan di masing-masing wilayah memiliki kondisi iklim dan geogarafis yang berbeda, menjadikan Indonesia dipenuhi oleh berbagai kekayaan, salah satunya keragaman budaya. Keragaman kebudayaan ini dibentuk oleh banyaknya jumlah suku bangsa. Pada tahun 2010, badan pusat statistik (BPS), melakukan sebuah penelitian terhadap keragaman suku di Indonesia dan hasilnya adalah, di Indonesia terdapat 1.128 suku bangsa.
Bisa dibayangkan betapa heterogennya bangsa Indonesia. Jika kondisi ini tidak dapat dikelola dengan baik dan maksimal, maka Indonesia akan menjadi negara yang “produktif” konflik. Namun, Bhinneka Tunggal Ika mampu menyatukan dalam sebuah perbedaan. Perbedaan itu ibarat bunyi alat musik. Bunyi yang berbeda itu bersatu menjadi sebuah irama yang menawan dan menenangkan “binatang buas”. Inilah filosofi Bhinneka Tunggal Ika dalam konteks mempersatukan keragaman budaya.
Jadi, spirit Bhinneka Tunggal Ika sangat mulia, yaitu menyatukan. Tidak ada ceritanya di negeri Bhinneka Tunggal Ika mayoritas menindas minoritas dan minoritas tidak menghormati mayoritas, sehingga harus selalu “melawan”. Yang ada adalah sekecil apapun kelompok itu dan sebesar apapun organisasi atau kebudayaan itu, mereka harus menjadi satu-kesatuan memperkokoh tali persaudaraan.
Namun, sekali lagi, spirit Kebhinnekaan itu semakin luntur. Sebagaimana disinggung diawal bahwa bangsa Indonesia saat ini lebih suka memusuhi sesasama bangsa sendiri. Ibaratnya, bangsa lain sudah merancang cara untuk pergi ke bulan, sementara bangsa Indonesia masih sibuk berdebat melihat bulan itu sendiri. Atau dalam bahasa Bung Karno lebih suka membahas kulit daripada isi.
Semboyan saling menyalahkan pihak lain dan menganggap bahwa golongan sendiri paling benar adalah fakta lapangan yang tidak bisa terbantahkan. Pertengkaran-pertengakaran selalu menghiasi langit-langit sejarah kehidupan bangsa ini.
Harus ditekankan bahwa kebhinekaan adalah semua sama. Artinya, ada ruang-ruang tertentu yang menjadikan setiap individu harus berbeda-beda, misalkan dalam hal agama. Tidak dibenarkan bahwa seseorang yang memilih pemimpin sesuai dengan akidahnya adalah melawan kebhinekaan. Makna dan subtansi kebhinekaan bukanlah itu.
Subtansi Binneka Tunggal Ika
Subtansi Bhinneka Tunggal Ika adalah semangat persatuan dan kesatuaan. Betetapun kita berbeda, tapi jangan sampai saling menghujat dan menghina. Biarkan ranah privat menjadi ruang yang hanya bisa disentuh oleh golongan tertentu. Jangan kita ikut cawe-cawe di dalamnya. Sementara ruang publik seperti keamanan, persatuan dan persaudaraan harus kita tancapkan dalam tubuh kita, setiap jiwa harus melakukan yang sama. Inilah Bhinneka yang Tunngal Ika.
Wujud Bhinneka Tunggal Ika adalah terwujudnya negara kesatuan republik Indonesia (NKRI). Jadi, jiwa NKRI adalah segenap bangsa dan negara Indonesia. Bajunya adalah bendera Merah dan Putih. Dan dasar atas semua itu adalah Pancasila. Semua itu bisa tercipta manakala, sebagaimana pesan Cak Nun, bahwa “Bhinneka harus kita tunggalika-kan, bukan memelihara dan memperuncing permusuhan di antara Bhinneka.”
Mengakhiri uraian ini, penulis tidak bosan-bosan mengajak segenap bangsa Indonesiauntuk tidak terjebak dalam wacana kelompok radikal yang selama ini kita anggap baik-baik saja, namun sejatinya merekalah sesungguhnya yang membahayakan Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika.
Terlepas dari semua itu, sekali lagi, pemuda tidak bisa hanya sekedar begerak-gerak saja. Mari tunjukkan kepada dunia bahwa Indonesia adalah negara besar dan akan menjadi raksasa dunia serta menjadi pusat peradaban dunia.
Semua ini akan menjadi mimpi belaka manakala pra-sayarat awal tidak terpenuhi. Pra-syarat tersebut adalah persatuan dan kesatuan seluruh masyarakat Indonesia. Inilah yang disebut Bhinneka Tunggal Ika!