Menurut catatan sejarah, perayaan Maulid Nabi Muhammad secara besar-besaran muncul pertama kali di Mesir pada era Fatimiyah (969-1171 M). Dinasti Fatimiyah begitu antusias merayakan Maulid Rasulullah, karena mereka mengklaim sebagai keturunan Nabi Muhammad dari jalur Fatimah (putri Nabi Muhammad).
Dalam catatan sejarah yang lain, perayaan Maulid Rasulullah juga dirayakan secara seremonial oleh umat Islam di Turki, India, dan kawasan Afrika. Menarik mencermati fakta bahwa perayaan maulid justru lebih semarak dilakukan di wilayah luar Arab atau Timur Tengah pada umumnya. Hal ini terjadi lantaran di kawasan Arab atau Timur Tengah, perayaan Maulid Nabi Muhammad kerap dicap bid’ah oleh kaum ortodoks.
Perayaan Maulid Rasulullah yang justru semarak di kawasan non-Arab itulah yang membuat tradisi maulid begitu kaya akan ekspresi lokalitas. Peringatan Maulid Nabi Muhammad di wilayah non-Arab lantas menyesuaikan dengan adat istiadat atau tradisi lokal setempat. Di Turki misalnya, peringatan Maulid Rasulullah dilakukan dengan menggelar Mevlut Kandili.
Yaitu menghias masjid dengan berbagai lampu atau lilin serta membakan syair-syair pujian terhadap Rasulullah. Tradisi Mevlut Kandili ini menyimbolkan kedatangan Rasulullah sebagai pembawa cahaya terang yang harus disambut suka-cita oleh umat manusia. Perayaan Maulid Rasulullah dengan sentuhan cita-rasa lokal itu juga berkembang di kawasan Nusantara.
Ragam Kearifan Lokal Sambut Maulid
Sebagai salah satu komunitas muslim terbesar di dunia, Indonesia memiliki ragam perayaan Maulid Rasulullah yang dibalut dengan lokalitas. Antara lain, rebeg Maulid di Yogyakarta dan Solo, Endog-endogan di Jawa Timur, Batu Wangi di Jawa Barat, Ngurisan di Nusa Tenggara Barat, dan masih banyak tradisi lainnya.
Mengapa setiap daerah memiliki tradisi maulid yang berbeda? Hal ini terjadi karena perbedaan masyarakat dalam menafsirkan makna atau hakikat kelahiran Nabi Muhammad. Selain itu, perbedaan tradisi maulid antar-daerah juga dilatari oleh cara masyarakat menghubungkan aspek relijisuitas dengan aspek lokalitas. Inilah yang lantas melahirkan beragam kreativitas masyarakat lokal dalam merayakan Maulid Nabi Muhammad.
Maka, tradisi maulid di Nusantara itu terbangun oleh setidaknya tiga unsur penting. Pertama, unsur relijiusitas yakni dimensi keagamaan. Nabi Muhammad adalah rasul sekaligus nabi terakhir yang diutus oleh Allah. Ia membawa risalah Islam, agama yang menjadi penyempurna agama terdahulu. Nabi Muhammad adalah sosok penting dalam Islam, karena ucapan dan tindakannya dijadikan sebagai rujukan hukum Islam.
Oleh karena itu, peringatan hari lahirnya tentu kental akan dimensi relijiusitas. Bagi umat Islam, peringatan maulid itu meski hukumnya tidak wajib, namun tetap dianggap sakral. Maka, perayaan maulid selalu kental dengan nuansa relijiusitas dan spiritualitas. Demikian pula dengan perayaan maulid di Nusantara. Pembacaan Alquran, dan doa-doa serta solawat menjadi “menu” utama perayaan maulid di Nusantara.
Maulid Momentum Memperkuat Solidaritas Keumatan dan Kebangsaan
Kedua, unsur kreativitas yakni daya imajinasi yang mendorong umat Islam Indonesia menggabungkan dua tradisi (Islam dan Nusantara) sehingga menghasilkan ekspresi budaya baru yang belum pernah dikenal sebelumnya. Unsur kreativitas masyarakat lokal Nusantara inilah yang lantas melahirkan berbagai tradisi unik memperingati maulid.
Keragaman tradisi peringatan maulid sekaligus juga menjadi bukti betapa masyarakat Nusantara itu punya genetika toleran dan inklusif. Mereka tidak anti-pada nilai-nilai baru yang dibawa Islam, melainkan mengadaptasinya dalam paradigma kultur lokal. Keragaman tradisi peringatan maulid menjadi bukti bahwa Islam Nusantara berwatak moderat.
Ketiga, unsur solidaritas sosial yakni perasaan dan komitmen untuk selalu merasa terikat ke dalam sebuah komunitas besar. Peringatan maulid ala Nusantara bisa dipastikan semuanya dilakukan secara kolektif. Tidak ada tradisi peringatan maulid di Indonesia yang dilakukan secara individual alias perorangan. Ritual pembacaan barzanji, maulid diba’i, hingga tradisi grebegan, dan sebagainya semua dilakukan secara bersama-sama.
Alhasil, tradisi itu kian memperkuat solidaritas sosial umat Islam dan masyarakat pada umumnya. Di banyak wilayah Nusantara, maulid menjadi momentum untuk saling berbagi, mempererat ukhuwah, dan memperkuat solidaritas. Maulid Nabi Muhammad dirayakan secara suka-cita penuh rasa syukur dan kebagiaan yang dinikmati bersama.
Tiga nilai itulah yang menjadi alasan mengapa tradisi maulid ala Nusantara harus terus dipertahankan. Terutama di tengah kencangnya arus penolakan maulid dengan dalih bid’ah dan sejenisnya. Bagi muslim Nusantara, maulid bukan sekadar peristiwa keagamaan belaka. Maulid adalah momentum sosial setahun sekali yang efektif sebagai sarana membangun solidaritas keumatan dan kebangsaan.