Toleransi Islam Bukan Pasif Mengakui, Tapi Aktif Melindungi

Toleransi Islam Bukan Pasif Mengakui, Tapi Aktif Melindungi

- in Keagamaan
1
0
Moderasi Beragama dan Transformasi Digital : Ikhtiar Mereduksi Intoleransi di Media Sosial

Di Indonesia bertetangga dengan yang berbeda agama adalah sebuah keniscayaan. Bahkan, dalam satu keluarga mereka memiliki agama yang berbeda. Semuanya berjalan dengan harmonis tanpa tertukar iman. Berbagi dan saling tolong menolong dalam setiap hari besar juga bukan hal yang mengganggu keimanan mereka.

Memang ada kehati-hatian dan kekhawatiran dari sebagian umat Islam khususnya ketika memberikan selamat kepada perayaan lain. Ketakutan pertama seolah kita akan membenarkan ajaran mereka. Ketakutan berikutnya adalah seolah kita menjadi bagian dari mereka. Ketiga, dengan mengucapkan seolah kita mensyiarkan ajaran mereka.

Tentu saja absah memiliki kekhawatiran tersebut sesuai kapasitas iman masing-masing. Bagi yang merasa sangat lemah iman dan takut tertukar imannya dengan agama lain, tentu lebih baik tidak mengucapkan. Namun, bagi yang menganggap mengucapkan selamat natal adalah bagian dari muamalah bersama yang berbeda tanpa menyentuh urusan akidah, tentu, hal sangat baik mengucapkan Selamat Natal.

Islam seolah berpegang pada toleransilakum dinukum wa liyadiin,tapi dalam arti toleransi yang pasif. Seolah ayat tersebut memberikan pembenaran kita menghargai dengan mengacuhkan. Baginya agamanya, bagimu agamamu, dan bagiku agamaku. Pernyataan ini seolah menjadikan muslim yang apatis terhadap keragaman. Memang mengakui, tetapi sangat tidak care terhadap kehidupan sosial keberagamaan.

Toleransi Islam yang dicontohkan Nabi adalah toleransi yang aktif, bahkan transformatif. Toleransi bukan sekedar mengakui, tetapi memberikan hak dan jaminan dalam keragaman. Selanjutnya, toleransi berarti berpartisipasi dalam keragaman, bukan lari dari keragaman yang dianggap akan menukar iman.

Nabi Muhammad ketika ada jenazah seorang Yahudi beliau berdiri menghormatinya. Sahabat sedikit komplain karena yang lewat adalah jenazah Yahudi. Nabi mengatakan: bukankah mereka adalah manusia. Menghormati orang lain karena kemanusiaannya berarti tidak berarti membenarkan akidahnya.

Begitu pula ketika Nabi dalam perjanjian Najran menghimbau masyarakat muslim membantu dan melindungi Nasrani, bahkan jika mereka membutuhkan untuk membangun dan memperbaiki gereja. Bantuan itu tidak dianggap sebagai membantu dalam kemaksiatan dan kemungkaran. Membantu umat lain beribadah bukan berarti membenarkan peribadatan mereka.

Toleransi Nabi bukan pasif, tetapi juga kompromistik. Toleransi dalam Islam adalah pergaulan sosial yang dijiwai oleh semangat ajaran tentang perbedaan sebagai sunnatullah. Sebagai sunnatullah, keragaman tidak bisa ditolak dan diabaikan. Kita bersama berloma-lomba dalam kebaikan mencari ridho Tuhan.

Sekali lagi ucapan Natal bagi yang kuat keimanannya dan pemaknaannya terhadap sunnatullah tidak akan merasa tertukar iman. Bahkan dalam QS. Maryam 19:33, al-Quran merekam ucapan kelahiran Nabi Isa, “Isa: Salam sejahtera (semoga) dilimpahkan kepadaku pada hari kelahiranku, hari aku wafat, dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali”.

Atas persoalan yang tidak ada dalil secara khusus ini, ulama berijtihad dengan cukup baik yang terbagi dalam dua kelompok. Ada ulama yang mengharamkan ucapan natal akan menjadi pegangan bagi mereka yang takut imannya tertukar dan tergerus. Ulama yang membolehkan ucapan natal sebagai bagian dari muamalah umat Islam dalam perdamaian menjadi pegangan bagi mereka yang memang kesehariannya penuh dengan keragaman dalam berkeluarga, bertetangga dan bekerja.

Facebook Comments