Jika ada yang mengatakan bahwa NII itu tidak berbahaya karena sudah musnah ditumpas operasi militer “Pagar Betis”, maka besar kemungkinan dia tidak paham bagaimana NII bertransformasi. Negara Islam Indonesia, Darul Islam atau Tentara Islam Indonesia memang secara formal sudah musnah.
Pendirinya, yakni Kartosuwiryo sudah tewas di tiang gantungan. Meski demikian, sebagai sebuah ideologi dan imajinasi politik, NII nyatanya masih eksis di Tanah Air. Bahkan, secara kelembagaan NII konon katanya masih eksis, meski bergerak dibawah tanah dengan sistem tertutup.
Berkali-kali, kita dikejutkan oleh berita kebangkitan NII yang merekrut masyarakat dari beragam golongan. Bahkan, anak-anak dan remaja pun tidak luput menjadi sasaran perekrutan mereka. Terakhir, keberadaan NII dikaitkan dengan Ponpes Al Zaytun pimpinan Panji Gumilang.
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme alias BNPT pernah mengatakan bahwa NII adalah induk alias ibu kandung semua organisasi teroris di Indonesia. Pernyataan itu jelas bukan persepsi atau opini ngawur. Data menunjukkan bahwa semua kelompok teroris di Indonesia, mulai dari Jamaah Ansharut Tauhid (JAT), Jamaah Ansharud Daulah (JAD), Mujahidin Indonesia Timur (MIT), dan sejenisnya memiliki keterkaitan dengan NII.
NII Sebagai Inkubator Yang Melahirkan Teroris Militan
Bentuk keterkaitan itu bisa secara langsung maupun tidak langsung. Bentuk keterkaitan langsung itu antara lain, para simpatisan atau eks-simpatisan NII yang lantas bergabung dengan kelompok teroris. Sedangkan keterlibatan tidak langsung antara lain dengan adanya proses radikalisasi yang dijalankan oleh para simpatisan NII. Proses radikalisasi ini lantas melahirkan para calon teroris baru yang siap bergabung ke organisasi teror.
Mengapa para simpatisan NII bergabung ke organisasi teroris kontemporer seperti JAD, JAT, MIT, atau ISIS tentu dilatari sejumlah faktor. Antara lain, pertama adalah faktor bahwa para simpatisan NII ini sudah memiliki pandangan radikal dan ekstrem sehingga mudah direkrut masuk ke dalam organisasi teoris kontemporer.
Doktrin NII tentang negara Islam dan penolakan terhadap Pancasila serta NKRI merupakan doktrin yang tidak mudah diubah. Sekali terpapar, seseorang menjadi sangat militan dalam memperjuangkan keyakinan ideologisnya. Militansi simpatisan NII inilah yang mendapatkan semacam saluran ketiga bergabung ke dalam organisasi terosis kontemporer seperti JAD, JAT, MIT maupun ISIS.
Kedua, faktor kemiskinan. Meski tidak semua, namun kebanyakan simpatisan NII berlatar belakang kondisi ekonomi menengah ke bawah. Kelompok ini begitu mudah terbuai rayuan tentang negara Islam yang menjanjikan kesejahteraan dan keadilan ekonomi.
Maka, banyak masyarakat kelompok bawah yang terjerumus ke dalam organisasi teror dengan harapan mendapatkan kehidupan sejahtera. Misalnya saja, banyak orang Indonesia yang rela bergabung dengan ISIS di Suriah dengan harapan akan hidup di bawah sistem yang adil dan islami.
Ketiga, banyak sinpatisan NII yang sebenarnya telah “bertaubat” namun tidak diterima kembali ke masyarakat atau dikucilkan. Alhasil, mereka pun kembali habitat asal mereka yakni jaringan teroris.
Transformasi simpatisan atau eks simpatisan NII ke jaringan teror kontemporer tentu patut diwaspadai. Anggapan bahwa NII adalah ibu kandung gerakan teoris kontemporer di Indonesia jelas bukan isapan jempol belaka. Kita patut mewaspadai setiap manuvernya.
Termasuk ketika NII konon berkamuflase ke dalam wujud lembaga pendidikan dan pesantren Al Zaytun. Kita tidak boleh lengah. Negara masyarakat harus bersatu-padu membongkar kedok sebenarnya dari polemik Al Zaytun ini. Negara tidak boleh kalah olah kekuatan apa pun yang selama ini melindungi kepentingan Al Zaytun.
Membongkar Kamuflase NII
Transformasi gerakan terorisme inilah yang sebenarnya patut diwaspadai semua pihak. Dari permukaan, fenomena terorisme menunjukkan tren penuruan drastis. Dalam beberapa tahun terakhir, kekerasan dan teror dalam skala besar nisbi bisa diminimalisasi. Namun, tren ini tidak serta-merta bisa diartikan bahwa paham ekstremisme telah musnah dari negeri ini.
Fakta justru menunjukkan sebaliknya. Meski angka terorisme menurun, namun tren penyebaran paham radikalisme dan ekstremisme justru menunjukkan kenaikan signifikan. Pola penyebaran paham radikal-ekstrem pun berevolusi dari dunia nyata ke maya. Internet dan media sosial menjadi arena baru penyebaran wacana keagamaan yang mengarah pada kecenderungan radikalisme dan ekstremisme. Tidak hanya itu, gerakan radikalisme dan ekstremisme juga berkamuflase ke dalam lembaga pendidikan, termasuk pesantren.
Indikasi ponpes Al Zaytun sebagai basis gerakan NII Komandemen Wilayah 9 (KW 9) mengonfirmasi kecurigaan bahwa gerakan radikal-ekstrem banyak menyusup ke lembaga pendidikan. Fenomena ini tentu tidak bisa dianggap sepele. Penindakan teroris di level hilir boleh dikata berhasil dengan turunnya angka terorisme beberapa tahun terakhir.
Kini saatnya bangsa ini memberangus terorisme di level hulu. Yakni menganulir segala paham radikal-ekstrem yang menjadi akar terorisme. Salah satunya adalah dengan mengeliminasi gerakan NII sampai ke akar-akarnya termasuk membongkar institusi pendidikan yang selama ini mejadi kedok penyamarannya.