Transformasi Sosial ala Nabi, Dari Fanatisme Sektarian ke Egalitarianisme Kebangsaan

Transformasi Sosial ala Nabi, Dari Fanatisme Sektarian ke Egalitarianisme Kebangsaan

- in Narasi
9
0
Transformasi Sosial ala Nabi, Dari Fanatisme Sektarian ke Egalitarianisme Kebangsaan

Paham sektarian adalah sebentuk fanatisme buta terhadap identitas primordial. Menempatkan golongan/kelompok lain sebagai rival, bukan saudara, enggan bersama dan bahkan disikapi sebagai musuh yang harus dilenyapkan. Jadi, ini menjadi satu penyakit sosial keumatan yang harus dibenahi oleh Nabi Muhammad SAW dalam misi dakwahnya.

Di saat Nabi Muhammad SAW Hijrah ke Madinah. Hal utama yang Beliau lakukan adalah membangun semacam transformasi sosial. Yakni, sebuah transformasi, dari kesadaran fanatisme sektarian, menuju kesadaran masyarakat yang egalitarian. Artinya, setiap kelompok, setiap suku atau setiap Bani disatukan dalam spirit kebangsaan (nasionalisme di Madinah).

Kita tahu bersama, Madinah yang dulunya bernama Yatsrib merupakan wilayah dengan realitas sosial yang majemuk (heterogen). Di dalamnya terdiri dari bangsa Arab (suku Aus-Khazraj). Begitu juga dengan bangsa Yahudi yang terdiri dari Bani Quraiza, Bani Qainuqa, Bani Nadzir dan Khaibar. Di antara suku, kelompok atau Bani, pada awalnya mereka gemar bermusuhan dan pertumpahan darah (berperang) seperti menjadi “kebanggaan sektarian” yang membudaya.

Oleh sebab itu, kehadiran Nabi Muhammad SAW di Madinah berupaya melepaskan paham-paham fanatisme sektarian semacam itu. Nabi mulai mempersaudarakan kelompok Anshar (penduduk asli Madinah) dengan kelompok Muhajirin (kaum muslimin dari Makkah). Begitu juga dengan suku Aus dan Khazraj (yang tidak beragama Islam) dan bangsa Yahudi dengan seluruh Bani di dalamnya. Nabi Muhammad SAW berupaya membangun semacam tali-ikatan (persaudaraan) yang dikenal dengan piagam Madinah itu.

Kebijaksanaan Nabi dalam Melepaskan Fanatisme Sektarian

Semua sepakat, bahwa fanatisme sektarian dalam bentang sejarah adalah warisan Jahiliah yang harus dihilangkan. Tentu, kebijaksanaan Nabi dalam melepas segala fanatisme sektarian bukan mereduksi (menghancurkan) kelompok lain mengatasnamakan persatuan. Tetapi, Beliau menyatukan semua kelompok, dengan prinsip persaudaraan dan kebersamaan di Madinah.

Sebagaimana dalam piagam Madinah itu, setiap kelompok tetap berpegang-teguh pada kelompok dan sukunya. Tetapi, semua kelompok pada hakikatnya bersaudara dalam kebangsaan. Jadi, bagaimana mungkin seorang saudara memerangi saudaranya sendiri? Sebagai saudara, tentu wajib untuk saling melindungi, bertanggung-jawab menjaga keamanan, kedamaian, kenyamanan dan kebersamaan. Sebagai saudara dalam kebangsaan di Madinah, semua kelompok saling bertanggung-jawab atas kota Madinah untuk memerangi siapa-pun yang berupaya untuk memporak-porandakan Madinah.

Kebijaksanaan Nabi dalam melepas fanatisme sektarianisme adalah berupaya membunuh segala “ego identitas” primordial dengan segala sentimental yang menjalar di dalamnya. Tentu, jangan sampai kita kembali ke era Jahiliah, di mana konflik berbasis sektarian sejak dulu berakar pada ego identitas. Fanatisme demikian terus menjadikan nyawa dan darah seperti “barang murah” yang mudah dibeli lewat pedang. Peperangan antar suku, antar golongan dan bahkan antar saudara seperti menjadi makanan sehari-hari jika fanatisme sektarian tidak kita lenyapkan.

Bagaimana Cara Mengeliminasi Fanatisme Sektarian Lewat Identitas Kebangsaan di Negeri ini?

Kehadiran Nabi dalam membangun transformasi sosial adalah pelajaran penting bagi kita untuk diteladani. Yakni pentingnya membangun transformasi sosial untuk melepaskan segala fanatisme sektarian, utamanya dalam beragama. Untuk ber-transformasi ke dalam semangat egalitarianisme kebangsaan itu. Lantas, bagaimana caranya?

Di negeri ini, kita memiliki identitas yang dikenal dengan semangat Bhinneka Tunggal Ika. Kita berhak berbeda secara suku, ras, bahasa atau agama. Tetapi, kita pada hakikatnya berakar pada satu tujuan, yakni (kebersamaan yang harmonis). Kita berhak berbeda dan kokoh dalam perbedaan dalam segi apa-pun. Tetapi orientasi perbedaan itu harus tumbuh dalam (ego identitas yang egalitarian) untuk saling menghargai, saling merawat dan saling menjaga satu-sama salin.

Seperti yang ditegaskan dalam (Qs. Al-Hujurat:13) “Hai Manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, supaya kamu saling kenal-mengenal”. Spirit dari saling kenal mengenal adalah jalan kita dalam melepas fanatisme sektarian. Sehingga, kita bebas dari segala prasangka, kecurigaan dan sentimental berbasis identitas primordial.

Hal yang paling fundamental bagi kita juga adalah bisa saling memahami. Serta, perlu membumikan dialog dan melestarikan semacam pertemuan lintas iman (upaya merawat perbedaan agama). Kebiasaan semacam ini niscaya akan mengeliminasi segala akar fanatisme buta berbasis sektarian itu.

Facebook Comments