Ulama itu Mencerahkan, Bukan Meresahkan

Ulama itu Mencerahkan, Bukan Meresahkan

- in Narasi
1198
0
Cara Islami dalam Menyampaikan Aspirasi

Ulama adalah pewaris nabi. Artinya, ia merupakan sosok yang mengemban amanah berat, yakni memiliki visi kenabian. Ia bukan hanya mengajarkan tata cara beribadah kepada Allah SWT semata, namun juga berakhlak kepada sesama. Amar makruf dan nahi mungkar yang dilakukan mesti dilakuan dengan adab yang mulia.

Nabi Muhammad SAW merupakan sosok yang sempurna. Ia dikenal sebagai sosok yang bukan hanya shalih kepada Allah SWT namun juga kepada seama. Bahkan, jamak di telingan kita kisah betapa orang-orang yang berbeda keyakinan dengannya ketika akan bepergian memilihnya untuk dititipi harta. Hal ini bisa terjadi lantaran Nabi Muhammad SAW memiliki akhlak mulia kepada siapa saja. Tidak mungkin seseorang akan menitipkan barang berharganya kepada orang yang tidak berakhlak baik kepada dirinya. Orang yang menitipkan dipastikan karena merasa nyaman dan berhubungan baik dengan dirinya.

Dalam pada itulah, ulama yang mewarisi perilaku nabi mesti terus belajar untuk meniru sosok segala apa yang ada dalam diri nabi. Jangan sampai seorang ulama atau yang mengaku ulama selalu meneriakkan penggalan kata-kata nabi dengan terus menghina dan merendahkan orang lain yang tidak sesuai dengan dirinya. Di satu sisi memang dirinya telah menyampaikan pesan lisan nabi, namun di sisi lain, ia sendiri melanggar sunnah nabi. Ia tidak bisa meniru akhlakul karimah sebagaimana yang diajarkan nabi.

Seorang ulama sangat peting untuk selalu berakhlakul karimah melebihi yang lain lantara ia menjadi corong umat yang segala apa yang dikerjakan akan berpengaruh besar keapadanya. Ia merupakan sosok figur otoritas yang para pengikut tidak akan banyak berpikir saat akan meniru segala gerak-geriknya. Sehingga, sosok ulama mesti memikirkan bahwa akhlak yang dilakukan akan ditiru oleh orang-orang yang “nyantri” kepada dirinya. Jangan sampai dirinya melakukan akhlak tercerla sehingga dirinya menabung amal jariyah akhlak tercela kepada para muridnya.

Di zaman sekarang, umat sering kali dibingungkan dengan keberadaan ulama. Karena, selama ini terdapat ulama yang konsen mengajarkan ilmu agama dan akhlak kepada nabi tanpa menyebut dirinya ulama. Mereka adalah sosok-sosok bersahaja di kampong. Dalam keseharian juga memiliki kesamaan. Yang membedakan, ia lebih giat dalam memakmurkan masjid, tirakat, serta berakhlak mulia. Ulama-ulama ini tidak pernah mengancam orang lain sehingga umat merasa tenang dengan keberadaannya.

Di sisi lain, terdapat sekelompok masyarakat yang mengagung-agungkan sosok pilihan sebagai ulama. Padahal, sosok yang diagungkan tersebut memang sering memekikkan ayat-ayat al-Qur’an atau mengutip sabda-sabda nabi. Namun demikian, perilakunya tidak selamanya mencerminkan akhlak nabi. Ia sering merong-rong pemerintah, bahkan memfirnah para “ulama asli” yang selama ini konsisten membina umat. Anehnya, ketika sosok yang diulama-kan ini melakukan pelanggaran hukum agama atau sosial, ketika penegak hukum berusaha menjalankan tugasnya, para pengikut menyuarakan kata “kriminalisasi ulama”.

Di sinilah ulama mesti terus selektif dalam memilih ulama. Karena, tidak selamanya orang yang diulama-kan merupaka ulama sungguhan. Mereka yang melakukan aktivitas hanya memperturutkan nafsu diri dan golongan, berarti bukan ulama. Seorang ulama merupakan sosok yang memiliki ilmu agama yang mendalam yang dengan ilmu agamanya tersebut mampu menjadikan diri semakin mencintai dan dicintai Allah SWT. Dengan ilmunya pula, ia mampu menyinari/mencerahkan umat sekitarnya.

Masyarakat mesti sadar bahwa sosok yang diulama-kan tidak selamanya ulama. Lihatlah, apakah mereka memiliki perilaku atau setidaknya belajar meniru perilaku Nabi Muhammad SAW atau tidak. Jika mereka adalah sosok yang suka memperkeruh keadaan, suka memprovokasi masyarakat untuk melakukan tindak anarkir, suka memfitnah, mereka dipastikan bukan ulama pewaris nabi.

Masyarat mesti sadar bahwa di dekat mereka ada ulama-ulama asli. Mereka tidak pernah berkoar-koar menyatakan diri sebagai ulama karena mereka merasa masih jauh dari perilaku Nabi Muhammad SAW. Mereka tidak percaya diri untuk mengatakan dirinya sebagai pewaris nabi. Dan sikap tawadhu seperti inilah yang sejatinya menunjukkan bahwa mereka merupakan pewaris nabi.Wallahu a’lam.

Facebook Comments