Ulama memiliki posisi strategis baik dalam konteks keislaman maupun keindonesiaan. Dalam konteks keislaman, ulama memiliki kedudukan yang sangat tinggi sekaligus menjalani peran maha penting yakni sebagai para pewaris Nabi (warasatul anbiya’). Gelar itu bahkan tercantum dalam Alquran, tepatnya Surat al Jumu’ah.
Dalam perannya sebagai penerus Nabi, ulama memiliki tugas dan tanggung jawab untuk melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar. Dalam konteks ini, ulama memiliki setidaknya empat tugas besar. Pertama, mendidik umat di bidang agama dan sosial pada umumnya. Kedua, melakukan kontrol sosial terhadap masyarakat. Ketiga, memecahkan problem sosial yang terjadi di masyarakat. Keempat, menjadi agen perubahan sosial.
Dalam konteks keindonesiaan pun posisi ulama tidak kalah strategis. Ulama merupakan bagian penting dari sejarah perjalanan Republik Indonesia dari sejak era kolonial, hingga kemerdekaan. Di masa revolusi, ulama memiliki andil kuat dalam menentukan arah perjuangan kemerdekaan. Sumbangsih pikiran, tenaga dan fatwa-fatwanya menjadi salah satu bahan bakar utama revolusi kemerdekaan.
Begitu pula pasca-kemerdekaan, dimana peran ulama tidak pernah tergerus sedikit pun di tengah masyarakat. Di era kemerdekaan, ulama menjadi salah satu figur yang memiliki otoritas sosial sekaligus spiritual. Dalam bahasa Clifford Geertz, ulama merupakan cultural broker atawa pialang budaya yang menghubungkan umat dengan budaya luar.
Namun, dalam perkembangannya peran dan posisi ulama itu dalam banyak hal mulai mengalami pergeseran, atau bahkan penyelewengan. Jika diamati, setidaknya ada dua bentuk penyelewengan yang selama ini kita lihat.
Pertama, ulama yang secara terbuka menunjukkan keterlibatannya dalam politik praktis. Dalam sistem demokrasi, siapa saja memang boleh terlibat dalam politik praktis, tidak terkecuali ulama. Namun, keterlibatan ulama dalam politik praktis ini acapkali melahirkan residu persoalan, yakni berkembangnya politisasi Islam, dan corak dakwah yang partisan. Agama (Islam) lantas tidak lebih dari sekedar komoditas politik untuk meraup dukungan elektoral.
Kedua, ulama yang gemar berdakwah dengan mengumbar caci-maki dan kebencian terhadap kelompok lain dan menebar propaganda serta provokatif yang memecah belah masyarakat. Model dakwah yang demikian ini belakangan tengah menjadi semacam tren di negeri ini. Kemunculan sosok-sosok pendakwah yang minim pengetahuan namun memiliki basis massa yang kuat telah mengubah lanskap dakwah di Tanah Air. Alih-alih tampil sebagai sosok yang santun, sejuk dan menncerahkan, mereka justru tampil sebagai provokator yang membakar amarah publik dengan agitasi-agitasinya.
Ulama Sebagai Bagian Dari Gerakan Civil Society
Di tengah situasi yang demikian ini, kita membutuhkan sebuah gerakan untuk mengembalikan makna ulama ke esensi awalnya sebagai teladan dalam konteks keindonesiaan dan keislaman. Dalam konteks negara demokrasi seperti Indonesiaa saat ini, ulama idealnya merupakan bagian dari masyarakat sipil (civil society). Gerakan masyarakat sipil dicirikan dengan sifatnya yang independen (non-partisan) dan menjadi mantra kritis pemerintah. Sebagai bagian dari masyarakat sipil, ulama tentu tidak boleh diam melihat problem sosial yang dialami masyarakat.
Di titik ini, ulama tentu boleh bersikap kritis terhadap pemerintah. Namun demikian, kritisisme itu tetap dalam bingkai konstruktif, yakni mencari solusi atas problem yang terjadi, bukan sebaliknya melakukan manuver yang mendelegitimasi pemerintahan yang sah. Ini artinya, ulama tidak boleh apatis pada realitas dan problem sosial. Al- Ghazali bahkan menjuluki ulama yang apatis pada realitas sosial sebagai ulama al-su alias ulama dunia.
Dalam konteks Indonesia kekinian, figur ulama al su itu kiranya bukan saja tampak pada figur ulama yang apatis pada keadaan sosial, namun juga ulama yang gemar menebar caci-maki, kebencian, dan provokasi dalam setiap dakwahnya. Termasuk juga ulama-ulama yang menghendaki negeri ini jauh dari ketenteraman dan diserbu badai kerusuhan. Keberadaan ulama al sukontemporer ini sungguh berbahaya, lantaran sudah menyentuh aspek ketahanan nasional. Dengan perilakunya yang jauh dari aturan hukum dan etika tersebut, pantas kiranya untuk menyebut mereka sebagai ulama yang gagal menjalankan fungsinya sebagai warasatul anbiya’sekaligus cultural broker.
Untuk menjalankan misi penerus Nabi sekaligus penjaga moral masyarakat, bangsa Indonesia saat ini membutuhkan ulama berkarakter rausyan fikr. Istilah rausyan fikr pertama kali dipopulerkan oleh sosiologi Islam, Ali Syariati untuk menyebut sosok ulama atau intelektual yang benar-benar memahami persoalan agama dan sosial serta memiliki kesadaran kritis untuk menciptakan transformasi sosial. Menurut Syari’ati, sosok ulama atau intelektual rausyan fikr sangat diperlukan sebagai figur role modelbagi kehidupan beragama dan bernegara.
Dalam konteks Indonesia saat ini yang diwarnai oleh berbagai goncangan sosial akibat ulah para ulama-ulama provokatif, keberadaan ulama rausyan fikr sangat diperlukan. Sosok ulama rausyan fikr akan hadir di tengah umat dengan membawa solusi, bukan caci-maki, dan memberikan fatwa pencerahan bukan ujaran kebencian dan menyulut perpecahan.
Ulama berkarakter rausyan fikr inilah yang akan mampu menjadi teladan bagi keislaman dan keindonesiaan. Dalam konteks Islam, para ulama rausyan fikr akan mampu menerjemahkan universalitas pesan Islam ke seluruh kelompok masyarakat. Dalam konteks keindonesiaan, ulama rausyan fikr akan mampu menjadi sosok pengayom sekaligus pemersatu, terutama di tengah kondisi bangsa yang dilanda kecamuk ini.