Ulama memang tidak semuanya lurus, mencerahkan, meneduhkan, mencerdaskan dan dapat menjadi teladan bagi umat. Dalam terminologi Imam Al-Ghazali, ulama tersebut—yang juga membanggakan banyaknya pengikut dan tidak mengedukasi tapi malah memprovokasi umat, disebut dengan istilah ulama su’.
Ulama su’atau tercela bisa saja kehadirannya tidak mudah diendus oleh umat karena ia pandai bersembunyi di balik retorika agama. Meskipun demikian, satu hal yang pasti adalah, bahwa ulama jahat itu merupakan bagian dari kelompok perusak agama. Dalam QS. Al-Baqarah [11-12] dicirikan sebagai orang yang mengaku melakukan kebaikan, tetapi sejatinya mereka yang merusak dan menghinakan agama.
Ulama su’dan kaum perusak agama harus dijauhi, jangan diikuti apalagi dipatuhi. Hal ini sebagaimana penuturan sahabat Hudzaifah ibnu Yaman yang bertanya kepada Nabi mengenai ciri dan perbuatan kaum perusak agama. Ketika sahabat Hudzaifah bertanya terkait hal ini, lantas Beliau menjawab, “Adanya suatu kaum yang memberikan petunjuk dengan selain petunjuk yang aku bawa. Engkau kenal mereka namun pada saat yang sama, engkau juga mengingkarinya.”
Sahabat Hudzaifah lantas membuntuti rasa penasarannya dengan cara mengajukan pertanyaan lagi kepada Rasulullah: “Adakah setelah kebaikan itu akan ada keburukan lagi?” Rasulullah pun menjawab: “Ya, yaitu adanya dai-dai yang menyeru menuju pintu Jahanam. Siapa yang memenuhi seruan mereka, niscaya mereka akan menghempaskan orang itu ke dalam Jahanam…”(HR. Bukhari dan Muslim).
Meresahkan, Bukan Menentramkan
Ulama su’memang jumlahnya tidak banyak. Artinya jika dibandingkan dengan ulama otentik dan sejuk, masih banyak ulama yang sejuk. Meskipun demikian, gerakan ulama su’ini sangat meresahkan umat, pun selalu ‘merecoki’ negara. Alih-alih menyerukan persatuan sebagai bagian dari amanat agama, mereka justru malah memecah belah umat dan bangsa.
Bahkan ulama su’, dalam konteks kehidupan kebangsaan, selalu menghembuskan narasi yang sangat tidak mendidik. Misalnya, ulama yang berada dalam pusaran kekuasaan (pemerintahan) dan selalu mendukung kebijakan pemerintahan disebut dengan ulama ‘gadungan’. Tentu saja, yang demikian itu sangat sesat dan fatal. Sebab, ulama dan politik, baik itu yang menjadi opisisi atau koalisi, sah-sah saja dan dibenarkan oleh agama serta sama-sama mulia, dengan catatan perannya untuk kepentingan dan kemajuan umat.
Ulama su’juga tidak hanya sekedar gemar memprovokasi dan menyebarkan narasi yang tidak benar, namun juga selalu mencari celah untuk selalu meracuni rakyat atau pengikutnya dengan argumentasi yang ‘kaleng-kaleng’, seperi kriminalisasi ulama, membenturkan ulama dengan TNI dan sejenisnya.
Intinya, tiada hari tanpa menabur kebencian terhadap kelompok yang tidak sependapat dengan mereka. Kata-kata kasar pun menjadi strategi mereka untuk menyulut emosi umat.
Ulama Sejuk: Ilmu Harus Dapat Melembutkan Perilaku
Ulama kenamaan dan mempunyai nama besar di muka bumi Asia Tenggara, yakni Imam Syafi’i pernah menegaskan bahwa menjadi pandai (ulama-red) atau belajar saja tidak cukup. Sebab, ilmu itu harus dapat melembutkan perilaku orang yang memilikinya, memperbaiki akhlaknya, dan memberi hidayah pada hatinya. Lebih lanjut, Imam Syafi’i mewanti-wanti bahwa jika orang yang terpelajar (ulama-red) ternyata tidak menunjukkan perilaku dan perangai yang baik, maka itu adalah suatu petaka. (dalam Bambang Irawan, 2018: 9).
Berkaitan dengan ulama sejuk, sebagian kalangan ada yang berpendapat bahwa ulama yang menempuh jalan menyampaikan pesan-pesan keagamaan, terutama berkaitan dengan perkara amar ma’ruf nahi munkar secara lembut dan sejuk, dinilai sebagai cara yang kurang tepat. Artinya strategi yang tepat menurut mereka adalah menggunakan cara yang tegas.
Harus diakui bahwa ketegasan adalah salah satu model dakwah yang harus dijalankan oleh para da’i-da’i atau ulama. Bahkan ketegasan ini pula yang dicontohkan oleh Nabi dalam membela Islam. Namun, bukan berarti tegas itu harus diejawantahkan dengan mengatakan sesuatu yang kotor-kotor dan kasar serta mudah tersulut (marah). Karena, marah akan menghantarkan orang pada kondisi di mana hawa nafsu lebih dominan menguasai dirinya.
Karena itulah, Nabi melarang untuk marah. Dari Abu Hurairah, Seseorah bertanya pada Rasulullah SAW, “Ya Rasulullah berilah saya nasihat,” Nabi kemudian berkata. “Jangan marah,” Dia mengulang pertanyaannya yang selalu dijawab dengan, “Jangan marah.” (HR Bukhari).
Kelembutan harus menjadi prinsip utama dalam dakwah. Tentu tanpa harus meninggalkan ketegasan. Kelembutan dan ketegasan sejatinya dua hal yang bisa dijalankan dan ada dalam diri seorang ulama sekaligus. Kelembutan dan ketegasan akan melahirkan kesejukan. Tapi mudah marah dan berkata kasar akan semakin mencemarkan nama Islam yang rahmatan lil ‘alamin.
Dalam Ihya’ ‘Ulumuddin, Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa; “Suatu negara hancur karena rakyatnya rusak. Rakyat rusak karena pemerintahnya rusak pula. Pemerintahnya rusak lantaran ulamanya rusak dan ulama rusak karena hukum tidak tegak.” Tentu kita tidak ingin apa yang dikatakan oleh Hujjatul Islam tersebut menimpa bangsa Indonesia. Oleh sebab itu, kita harus tegas mengatakan bahwa “ulama su’, no; ulama sejuk, yes!!”.. Dan yang tak kalah urgennya lagi—jika negara kita ingin tetap eksis dengan peradaban yang tinggi, kemajuan dan kemakmuran, maka negara ini harus benar-benar menegakkan hukum dengan adil, agar hak-hak rakyat terlindungi, kebaikan dihargai dan ketertiban serta kerukunan langgeng. Terutama penegakan hukum bagi oknum atau sekelompok perusak negara dan agama. Wallahu a’lam bi al-shawab.