Umat Islam saat ini terkesan “kepayahan”, bahkan cenderung pasif, ketika berhadapan dengan perkembangan peradaban yang signifikan. Selain itu, fundamentalisme dan ekstremisme masih sering dipandang sebagai ciri dominan dalam tradisi Islam, bahkan di era modern ini. Citra negatif Islam mencapai klimaksnya setelah tragedi 11 September 2001.
Meskipun semakin ke sini narasi anti-islamophobia semakin masif, citra Islam yang buruk tampak belum sepenuhnya hilang. WalaupunHollywood, misalnya, telah membuat film tentang representasi Islam yang positif, sentimen terhadap Muslim tetap masih ditemukan, utamanya di kawasan Eropa.
Citra ini tidak main-main. Pesantren menjadi disorot sebagai episentrum pendidikan Islam terbesar di Indonesia. Media Barat kerap menampilkan wajah pesantren sebagai “ladang” benih radikalisme Islam di Indonesia.
Selain itu, tradisi Islam klasik yang menjadi karakter pesantren, seringkali berbenturan dengan gagasan modernitas. Misalnya, soal kesetaraan manusia yang dibenturkan dengan sikapta’zhimpara santri kepada Kyai. Celakanya, tidak hanya Barat, beberapa kelompok Muslim juga skeptis terhadap relevansi pendidikan pesantren dan kapabilitasnya untuk mengikuti perkembangan informasi dan teknologi digital. Akibatnya, citra umat Islam hingga saat ini adalah umat yang tertinggal, konsumtif, dan tidak progresif.
Di tengah kegersangan ini, muncul sebuah oase yang menggemberikan. Di tengah upaya Indonesia memberantas radikalisme dan ekstremisme, muncul fenomena menarik dari beberapa pesantren yang dulu pernah terafiliasi dengan Jemaah Islamiyah (JI).
Pada perayaan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan RI ke-79 kemarin, beberapa pondok pesantren yang lekat dengan doktrin radikal terorisme mulai mengadakan upacara bendera dengan melibatkan santri-santrinya.
Contohnya, Pesantren Darusy Syahadah di Boyolali Jawa Tengah membuat langkah bersejarah dengan mengadakan upacara pengibaran bendera untuk pertama kalinya. Ini adalah simbol komitmen pesantren terhadap nasionalisme Indonesia, mencerminkan perubahan identitas yang signifikan dari afiliasi masa lalu dengan JI menuju penerapan prinsip-prinsip Pancasila dan persatuan nasional.
Pesantren lainnya, seperti Pondok Haji Miskin di Sumatera Barat juga melakukan upacara bendera. Kegiatan ini diikuti 200-an santri dan santriwati tingkat MTs dan MA serta 50-an guru PPI Haji Miskin.
Upacara bendera tersebut merupakan yang pertama kali diadakan di kompleks PPI Haji Miskin sejak ponpes ini berdiri tahun 1992. Ponpes yang pernah masuk daftar merah Densus 88 karena terafiliasi Jamaah Islamiyah (JI) ini mengadakan upacara setelah organisasi terlarang itu membubarkan diri pada 30 Juli 2024 di Sentul, Bogor, Jawa Barat.
Adapun 63 anggota JI Sumbar mendeklarasikan dukungan atas bubarnya JI dan mengikrarkan kembali ke NKRI di Bukittinggi, Minggu (28/7/2024). Dari 63 orang itu, 14 orang di antaranya pimpinan dan guru PPI Haji Miskin.
Beberapa santri yang menjadi petugas upacara di dua pondok tersebut mengaku bangga dapat terlibat dalam prosesi pengibaran bendera. Ini artinya, dari lubuk yang paling dalam, mereka pada dasarnya sudah nasionalis. Hanya saja mereka kadang salah menemukan guru sehingga rentan membelot dari NKRI.
Sebelumnya, Pondok Pesantren Al-Mukmin Ngruki sudah memulai upacara bendera pada tahun 2022. Ikrar Abu Bakar Ba’asyir terhadap Pancasila menjadi titik balik penerimaan Pondok Ngruki terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Para ustadz di pondok-pondok tersebut menunjukkan dedikasi untuk mencetak lulusan yang tidak hanya taat beragama, tetapi juga bangga menjadi orang Indonesia. Pesantren-pesantren itu kini memberikan kontribusi positif kepada masyarakat dengan membentuk generasi yang menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi, perdamaian, dan nasionalisme.
Transformasi ini menyoroti perubahan penting dalam lanskap pendidikan Islam di Indonesia. Pesantren-pesantren yang dulunya berada di bawah bayang-bayang pengaruh ekstremisme kini dapat memulai mencitrakan diri sebagai episentrum Islam moderat, berperan penting dalam upaya negara untuk melawan radikalisme dan mempromosikan persatuan nasional.
Melalui perubahan ini, pesantren-pesantren ini kembali ke khittah-nya, yaitu memberikan pengetahuan agama dan memperkuat pentingnya pendidikan dalam membentuk masa depan bangsa.
Secara garis besar, pesantren mempunyai tiga dharma besar, yaitu (1) Keimanan dan ketaqwaan terhadap Allah SWT; (2) Pengembangan keilmuan yang bermanfaat, dan (3) Pengabdian terhadap agama, masyarakat dan negara.
Kata “pengembangan” menjadi kata kunci bahwa keilmuan pesantren tidak stagnan dan ajarannya bukan sebuah dogma. Dalam tataran tertentu, ajaran pesantren yang dogmatis dan stagnan justru yang menjadi benalu masalah yang dibincang di awal tulisan. Potensi intelektualisme para santri dibungkam dengan dalih pemurnian Islam. Ini mengapa Islam terkesan gagap ketika berhadapan dengan peradaban modern.
Pondok pesantren yang pernah terafiliasi Jemaah Islamiyah tersebut kini dapat memenuhi tiga dharma tersebut. Mereka tidak hanya diajarkan untuk berislam secara progresif, tetapi juga dibekali dengan keilmuan modern serta kesadaran tentang nasionalisme.
Hal itu sebagai upaya menjaga komitmen pesantren untuk melahirkan santri yang memahami wawasan keislaman, taat beragama, dan moderat.
Dengan demikian, pesantren tidak berhenti pada mencetak santri yang religius semata, namun juga mempersiapkan santri agar tetap relevan dengan laju digitalisasi dan modernitas.
Jika pesantren tidak punya cukup sumber daya untuk mengaktualisasi gagasan semacam itu, paling tidak pesantren sudah memiliki kesadaran bahwa santri-santri perlu dikenalkan dengan peradaban luar untuk menghindari eksklusifisme yang mengarah pada ekstremisme.
Perubahan yang terjadi di pesantren-pesantren ini bukan sekadar permukaan, melainkan transformasi mendalam yang menunjukkan kesadaran dan penolakan terhadap ideologi ekstremis.
Mereka kini memilih jalan baru: mengabdikan diri pada pendidikan yang memadukan nilai-nilai religius dengan semangat nasionalisme. Kita berharap komitmen pembubaran Jemaah Islamiyah dapat terjadi secara menyeluruh. Kemerdekaan Indonesia adalah kemerdekaan dari paham trans-nasional yang merongrong kedaulatan bangsa dan negara.