Semakin meroketnya angka persebaran covid-19 di Indonesia, menjadi alarm bersama bahwa pentingnya kebersamaan kita dalam melawan pandemi. Karena bukan hanya Tenaga Kesehatan yang harus menjadi garda terdepan dalam melawan pandemi, peran kita pun tak kalah pentingnya dalam mereduksi covid-19. Namun, di tengah semakin berkecamuknya perdebatan di ruang publik tentang pandemi, peran para agamawan sangat dibutuhkan sebagai solusi teologis melawan covid-19.
Sudah banyak rekomendasi ilmiah dari para dokter, misalnya penerapan “5M”, memakai masker, mencuci tangan pakai sabun dan air mengalir, menjaga jarak, menjauhi kerumunan, serta membatasi mobilitas dan interaksi. Namun, narasi teologis dari para tokoh agama tak kalah pentingnya dalam mengedukasi publik tentang bahaya corona dan bagaimana mengantisipasinya, apalagi di tengah gonjang-ganjing isu konspirasi pandemi covid-19 yang akhirnya menyebabkan sebagian masyarakat bingung tentang informasi pandemi dan bahkan banyak di antara mereka yang tidak mempercayainya.
Pada dasarnya peran agama sangat penting dalam mengatur kehidupan masyarakat. Karena agama adalah salah satu medium yang dapat dijadikan sandaran bagi setiap hidup individu maupun kelompok masyarakat dalam mengeliminasi persoalan kehidupan, dalam konteks ini adalah kasus penyebaran COVID-19 yang saat ini sudah berada dititik yang sangat mengkhawatirkan.
Untuk itu, peran agamawan perlu dioptimalkan, mengingat realitas masyarakat kecil umumnya lebih percaya dan menerima saran dari para agamawan. Peran agamawan atau ulama sangatlah krusial untuk menghadirkan pemahaman keberagamaan yang benar di antara lipatan-lipatan kompleksitas sosial masyarakat, khususnya di era pandemi ini.
Peran Tokoh Lintas Agama
Wabah atau pandemic sebenarnya sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari lipatan sejarah manusia. Namun, secara historis korban wabah pada gilirannya sangatlah banyak, mengingat ketika itu penanganan wabah masih menggunakan cara-cara yang tidak ilmiah dan masih belum adanya integrasi dan kontekstualisasi antara agama dan ilmu pengetahuan. Maka dari itu, saat ini kita membutuhkan peran agamawan untuk memberikan solusi teologis bagi masyarakat dalam menghadapi pandemi.
Secara sosio-historis, salam konteks agama Islam misalnya, menurut Sekjend PBNU, Prof. Dr. Endang Turmudi (2020) bahwa dalam sejarah umat Islam wabah virus pernah terjadi dan pada gilirannya bisa dihindari melalui ilmu pengetahuan, dengan melakukan beberapa hal, seperti: harus tenang dan tidak takut, menjauhi orang sakit, dan untuk beberapa saat perlu untuk menutup pasar, masjid, sembahyang di rumah.
Menurutnya, ada beberapa catatan sejarah islam dalam mengatasi penyebaran wabah pandemi. Pertama, ketika wabah penyakit terjadi di zaman Khalifah Umar bin Khattab, pada saat kunjungannya ke Damaskus, ia memutuskan untuk kembali ke Madinah karena di kota itu terdapat wabah. Ketika ditanya kenapa menghindari takdir Allah (tidak ke Damaskus),? Umar Berkata, “Ya, kita akan lari dari takdir Allah, menuju takdir Allah yang lainnya,”. Maksudnya yakni ia memilih menghidar dari takdir satu ke takdir yang lain supaya tidak tertular, yakni dalam rangka mencari keselamatan.
Kedua, seorang filsuf muslim dan dokter pertama yakni Ibnu Sina, yang mendesain metode karantina (lockdown) untuk menghilangkan suatu wabah. Pemikiran Ibnu Sina ini pernah direkomendasikan pada masanya sebagai pembatasan ruang dan gerakan manusia selama beberapa waktu. Efektivitas dan keberhasilan karantina untuk menekan penyebaran wabah, mengakibatkan metode ini terus digunakan hingga saat ini.
Dari kalangan agama Hindu, peneliti Yayasan Widya Kerthi Universitas Hindu Indonesia, Denpasar-Bali, Ni Made Putri Ariyanti (2020) menjelaskan bahwa filosofi agama Hindu yang diterapkan dalam menghadapi COVID-19 menggunakan konsep Tri Hita Karana, untuk menjaga keharmonisan hubungannya dengan menerapkan konsepNiskaladanSekala/ ‘Ngeneng dan Ngening’. “ Konsep ini bagi umat Hindu senantiasa menjaga keselarasannya antaraSekala(konsep yang terlihat) danNiskala(konsep yang tidak terlihat), baik secara vertikal hubungan manusia terhadap Tuhan, manusia dengan lingkungannya, maupun secara horizontal, hubungan manusia dengan manusianya.
Selain itu, menurut Sekretaris Umum Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI), Pdt. Jacklevyn Manuputty (2020), dalam sudut pandang Kristen mayoritas umat mengambil sikap rasional dan menggugurkan pandangan fatalistik dalam beriman. Mengingat pandangan fatalistik sangat tidak kontekstual jika dikorelasikan dengan pandemi, buktinya sampai hari ini sudah banyak kalangan agamawan yang awalnya tidak percaya corona justru banyak yang terinfeksi positif virus covid-19.
Sedangkan dari sudut pandang Budha, Bhikkhu Dhammasubho Mahathera (2020), perwakilan Dewan Sesepuh Sangha Theravada Indonesia, menjelaskan dalam pangdangan dasar cara berpikir Buddhis, ada tiga landasan dasar ajaran dan anjuran tentangDana,Sila,Samadhi. “Dana(kerelaan),Sila(pengendalian diri tertib bertata susila), danSamadhi/Meditasi/Semedhi(pengendalian batin dan pikiran).
Namun, dari berbagai perspektif para agamawan di atas, perlu ditegaskan bahwa idealnya solusi teologis harus berlandaskan fakta saintifik sebelum menimbangnya dengan perangkat agama atau bagaimana kontekstualisasi pemikiran para agamawan perlu selaras dengan perangkat ilmiah berbasis riset, sehingga nantinya legitimasi keagamaan ini akan benar-benar dapat memberikan rasa aman dan benar-benar membawa kemaslahatan bagi masyarakat dalam melawan pandemi.