Undang-undang ITE masih tetap menjadi kontroversi di masyarakat. Satu sisi ia dijadikan sebagai cambuk untuk menyerang yang mereka berbeda pendapat dengan kepentingan kelompok. Di lain sisi, ia dianggap sebagai momok demokrasi sebab menghambat kebebasan berpendapat.
Kedua sikap ini tentu sangat ekstrem. UU ITE dibuat bukan untuk menghantam lawan, serta ia bukan penghambat kebebasan. UU ITE tidak lain adalah pengatur lalu lintas percakapan, debat, dan komunikasi di media sosial.
UU ITE itu sama seperti lampu merah. Ia bersifat netral. Mengatur lalu-lintas komunikasi agar semuanya sesuai koridornya dan agar ruang publik sehat dan bersih dari caci-maki dan ujaran kebencian.
Layaknya lampu merah di persimpangan jalan, ia adalah pedoman yang baik, yang membuat lalu lintas jadi aman, tidak ada tabrakan dan kecelakaan, dan yang paling penting adalah terjadinya ketertiban dan keteraturan dalam berkendaraan.
Pun demikian dengan UU ITE, ia menjadi penengah agar di dunia maya tidak terjadi pelanggaran hak, agar setiap manusia terlindungi dari kezaliman, dan agar diskusi di ruang publik berjalan lancar, aman, dan tidak ada “kecelakaan” yang mengakibatkan pengguna media sosial dirugikan atau menjadi korban.
Edukasi dan Kesadaran
Hubungan yang damai, toleran, dan penuh kedekatan merupakan idaman setiap insan. Akan tetapi, di tengah gemerlap kemajuan teknologi, di tambah lagi adanya penetrasi media sosial, setiap insan dalam konteks tertentu lupa akan cita ideal itu. Membangun toleransi, kesalingpahaman, dan bentuk ke-saling-an yang lain adalah model dalam hubungan berbangsa dan bernegara.
Egoisme dan individualisme yang merebak menjadi salah satu pemicu maraknya tindakan yang jauh dari kata kesalingpahaman. Orang hanya memikirkan diri dan kelompoknya sendiri. Sikap mau membangun hubungan dengan orang jika itu menguntungkan, jika tidak akan ditolak mentah-mentah.
Pola hubungan manusia tidak lagi berbasis kemanusiaan dan penuh keikhlasan, melainkan berubah menjadi model transaksi. Setiap orang/pihak menghitung untung rugi yang didapat.
Jika untung, maka upaya untuk saling memahami, saling memberdayakan, dan saling merangkul, dilakukan. jika membawa rugi, maka caci-maki, fitnah, perundungan, dan segala macam ujaran kebencian menjadi bahan bual-bualan.
Hubungan seperti ini tentu tidak layak dalam hubungan manusia di ruang publik. Ruang publik adalah tempat perjumpaan dan titik temu antar dan antara manusia dari berbagai latar belakang yang bermacam-macam.
Ruang publik harus dibangun berdasarkan rasionalitas, kemanusiaan, dan penuh dengan keikhlasan, bukan dengan basis transaksi ala pedagang. Sebab hanya dengan tiga komponen itu, maka hubungan manusia dalam segala level akan berjalan mulus.
Dunia Maya, Ruang Publik Bersama
Ada satu ilustrasi yang sangat apik dari Gus Dur tentang membina hubungan di ruang publik. Gus Dur mengibaratkan negara itu seperti rumah besar nan megah. Rumah itu memiliki kama-kamar yang banyak, ruang tamu, dan halaman rumah yang luas.
Kamar-kamar yang banyak itu adalah ruang privat bagi setiap penghuni rumah. Kamar itu adalah simbolisasi dari agama, suku, etnis, dan segala macam primordialisme masing-masing penghuni rumah.
Di dalam kamar (ruang privat), setiap orang bisa bebas mengekspresikan pendapatnya, mengatakan kamilah agama yang paling benar, kamilah suku yang paling rajin, dan segala macamnya. Sebab itu adalah ruang privat bagi individu dan kelompok masing-masing.
Ketika di kamar, setiap penghuni bebas mengatur tata ruang kamarnya, mau bertindak kayak apa pun boleh, menonton sambil angkat kaki, mau menyetel TV sesuai dengan seleranya, semua bebas sesuai dengan kamauannya.
Akan tetapi kebebasan itu mempunyai batasannya ketika kita berada di ruang tamu dan halaman rumah. Sebab kedua ruang ini adalah simbol dari ruang publik. Tempat bertemunya bermacam latar belakang dari kamar-kamar yang berbeda.
Di ruang tamu, kita harus berusaha memahami penghuni kamar lain, bersikap toleran, dan akomodatif. Sebab ruang itu adalah ruang bersama. Tempat di mana segala macam bentuk primordialisme harus ditanggalkan.
Di ruang tamu kita tak bisa lagi pentantang-petenteng, bersikap seenaknya dewe, dan tak mau memahami penghuni lain, kebebasan kita dibatasi dengan kebebasan orang lain, adalah prinsip utama dalam membangun hubungan di ruang tamu dan halaman rumah.
Kesalingpahaman
Sesuatu yang bikin sesak adalah pemahaman level-level ini menjadi kacau di tengah masyarakat, terlebih-lebih di era media sosial sekarang. Banyak individu yang bertindak laiknya di ruang kamar, seenaknya sendiri, tak mau memperhatikan perasaan orang lain.
Sikap yang bisa menyakiti orang lain, istilah eksklusif yang membuat pihak lain tersinggung, dan identitas yang membuat terpolarisasi, seharusnya tidak terjadi du ruang tamu, ruang publik kita bersama.
Dalam konteks berbangsa dan bernegara, bagaimana agar kita bisa menjalin hubungan harmonis? Pertama, kita harus menyadari bahwa kita hidup bukan dengan diri dan kelompok kita saja, melainkan masih ada pihak, kelompok, dan agama lain di laur sana, yang sama-sama mempunyai hak yang sama.Kesadaran ini penting, sebab membangun hubungan harmonis tanpa ada kesadaran akan sulit.
Setelah adanya kesadaran akan keberagaman, baru melanjut kepada tahap yang kedua yang disebut dengan co-eksistensi, artinya saling memahami antara dan antar manusia dengan latar belakang yang beragam.
Co-eksistensi adalah mau hidup berdampingan dengan pihak lain dengan tetap berusaha untuk memahami segala macam perbedaan yang ada. Tindakan ini harus dimulai dengan membuka diri terhadap segala macam perbedaan. Inilah bentuk toleransi pasif.
Jika co-eksistensi bisa dilakukan, setiap individu harus berusaha masuk ke tahap ketiga: pro-eksistensi, yakni saling memberdayakan. Jika co-eksistensi hanya terbatas saling memahami, membuka diri, dan pasif, maka pro-eksistensi lebih tinggi, saling memberdayakan, jemput bola, dan aktif.
Pro-eksistensi ini dibuktikan dengan semangat saling membantu, gotong-royong, dan mau berbagi. Fondasi ketiga level ini, mulai dari harus adanya kesadaran, co-eksistensi, dan pro-eksistensi sudah terkristalisasi dalam lima sila Pancasila. Para pendiri bangsa ini dari awal sudah menyadari perlunya membangun hubungan harmonis dan saling memahami dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.